Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Berguru ke Gurun, Bergurau pada Anggun (Karya A. Muttaqin)

Puisi “Berguru ke Gurun, Bergurau pada Anggun” karya A. Muttaqin bercerita tentang proses kontemplasi seseorang di tengah lanskap gurun yang sunyi ...
Berguru ke Gurun,
Bergurau pada Anggun

Alangkah hiruk bila gatal kuduk kugaruk. Alangkah buruk bila bilur nyamuk kusibuk. Biar ular tetap mengajar arti kelenjar dan bisa liar. Biar burung-burung besar terus menebar siul kasar dan samar. Biar juga kekaktus tumbuh dan menghijau. Tapi seperti puisiku, tak usah kauharap ia sanggup menyanggupi sesuatu dalam hausmu. Tiap pagi embun datang dan terlinang, serupa tangis Isa di bawah pohon subuh yang renta. Tak ada yang mendengarnya, kecuali pasangan codot yang diam-diam malih iba pada pentil buah-buah. Semut- semut tengah berencana pindah rumah. Seekor pungguk yang semalam meringkuki sarang gerhana, telah terbang ke selayang terang. Sembilan kunang rimang melayang, sembari mengkhayali diri berderai bagai bayi bebintang, menerangi jalan kafilah yang kian entah dan patah-patah. Angin dan angan masih saling kelindan. Seekor ketungging hanya mengintip-intip dari ujung sengatnya yang sengit. Dan seekor laba-laba terus berputar dan berputar terus. Memintal ujung rima di putit bokongnya, menjadi selingkar rumah jaring nan miring, semiring sajak ini yang begitu sungguh, menaksir bulir-bulir getir dari pasir ke pasir.

2009

Analisis Puisi:

Puisi “Berguru ke Gurun, Bergurau pada Anggun” karya A. Muttaqin adalah karya yang sarat dengan simbolisme alam, pencarian makna hidup, dan filosofi kehidupan dalam balutan diksi yang lincah namun tak sembarangan. Melalui struktur yang tampak eksperimental, sang penyair menghidangkan lanskap imaji yang kaya, diselipkan humor gelap, dan menyiratkan perjalanan batin dalam dunia yang kian absurd dan paradoks.

Tema

Puisi ini mengangkat tema pencarian makna dan kebijaksanaan di tengah kekacauan dan absurditas dunia. Gurun dalam puisi bukan sekadar tempat fisik, tetapi menjadi metafora tentang kekosongan, kesepian, dan tempat untuk mencari pencerahan atau pelajaran hidup. Sementara kata "bergurau pada Anggun" adalah antitesis dari "berguru ke gurun", seolah menunjukkan bahwa hidup adalah kombinasi antara serius dan canda, getir dan indah, belajar dan melupakan.

Puisi ini bercerita tentang proses kontemplasi seseorang di tengah lanskap gurun yang sunyi dan liar, sambil memerhatikan elemen-elemen alam yang tampak biasa namun menyimpan filosofi dalam. Tokoh liris dalam puisi ini seolah berdialog dengan fenomena kecil—dari semut, pungguk, hingga laba-laba—yang menjadi lambang dari perjalanan hidup manusia yang penuh rintangan dan kejutan. Ini bukan cerita linier, tetapi lebih seperti untaian fragmen-fragmen realitas yang membentuk keseluruhan kesadaran tentang eksistensi.

Makna Tersirat

Secara tersirat, puisi ini menyampaikan bahwa kehidupan adalah akumulasi pengalaman getir, keheningan, perenungan, dan absurditas yang saling bersilangan. Setiap makhluk, dari ular hingga semut, memiliki "tugas"-nya masing-masing, dan manusia belajar dari semua itu. Namun, pada akhirnya, seperti yang ditegaskan penyair: “seperti puisiku, tak usah kauharap ia sanggup menyanggupi sesuatu dalam hausmu.” Ada batas antara harapan dan kenyataan. Puisi tak mampu memberi air pada dahaga eksistensial, tapi ia bisa mengajak berpikir, menghayal, dan kadang... menertawakan semuanya.

Imaji

Imaji dalam puisi ini sangat kuat dan menyebar di hampir setiap larik. Imaji tersebut antara lain:
  • Visual: “kekaktus tumbuh dan menghijau”, “semut-semut tengah berencana pindah rumah”, “kunang rimang melayang”, “laba-laba terus berputar dan berputar terus”.
  • Auditori: “burung-burung besar terus menebar siul kasar dan samar”.
  • Taktil: “alangkah hiruk bila gatal kuduk kugaruk”.
  • Spiritual/Simbolik: “tangis Isa di bawah pohon subuh yang renta”, yang bisa diasosiasikan dengan spiritualitas atau penderitaan seorang nabi.
Imaji-imaji ini tidak hanya memperkaya puisi secara estetis, tetapi juga memperluas medan tafsir tentang perenungan manusia terhadap dirinya dan dunia.

Majas

A. Muttaqin menggunakan sejumlah majas yang membuat puisinya terasa hidup, antara lain:
  • Personifikasi: “semut-semut tengah berencana”, “angin dan angan masih saling kelindan”, “seekor ketungging hanya mengintip-intip”.
  • Metafora: “menaksir bulir-bulir getir dari pasir ke pasir” menggambarkan penderitaan atau kesadaran hidup yang terus berulang.
  • Paradoks dan ironi: “tak usah kauharap ia sanggup menyanggupi sesuatu dalam hausmu”—menggambarkan keengganan puisi untuk menjanjikan solusi, meskipun ia penuh makna.
  • Permainan bunyi pun terasa sangat eksploratif di larik awal: “Alangkah hiruk bila gatal kuduk kugaruk. Alangkah buruk bila bilur nyamuk kusibuk.” Ini adalah bentuk paronomasia, permainan kata yang membuat teks terasa “nakal” tapi bermakna.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan bahwa belajar dari kehidupan tidak selalu hadir dari tempat megah atau guru bijak, tetapi bisa datang dari kesunyian gurun, dari binatang kecil, dari fenomena biasa yang diam-diam memberi makna. Namun, dalam pencarian itu, tidak semua hal bisa memberi jawaban. Bahkan puisi sendiri pun punya keterbatasan untuk menjadi obat bagi dahaga manusia. Ia hanya bisa menyajikan keragaman makna, bukan kepastian.

Puisi “Berguru ke Gurun, Bergurau pada Anggun” adalah puisi kontemplatif sekaligus eksperimental yang mengajak pembaca untuk tidak hanya menelusuri gurun fisik, tapi juga gurun batin yang sunyi namun penuh hikmah. Ia memperlihatkan bagaimana sebuah karya sastra bisa menjadi medium pengembaraan jiwa, tempat perenungan, bahkan ruang bermain bagi absurditas. Dalam gurau yang anggun, pembaca justru menemukan keseriusan.

A. Muttaqin
Puisi: Berguru ke Gurun, Bergurau pada Anggun
Karya: A. Muttaqin

Biodata A. Muttaqin:
  • A. Muttaqin lahir pada tanggal 11 Maret 1983 di Gresik, Jawa Timur.
© Sepenuhnya. All rights reserved.