Analisis Puisi:
Puisi "Lelaki Itu" karya Oka Rusmini menggambarkan kompleksitas hubungan antara laki-laki, perempuan, dan identitas gender dalam sebuah konteks yang penuh dengan simbolisme dan imajinasi.
Konflik Identitas Gender: Puisi ini menggambarkan konflik identitas gender yang kompleks. Penyair menyajikan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk-makhluk yang saling berlawanan, dengan laki-laki diwakili oleh api dan perempuan diwakili oleh gelap. Namun, ketika adiknya lahir, identitas gender menjadi kabur. Adik pertama yang lahir, seorang laki-laki, memiliki api di dalam dirinya, sementara adik keduanya, seorang perempuan, tidak memiliki api. Hal ini mengacu pada pemahaman tradisional tentang maskulinitas dan femininitas, tetapi penyair menantang stereotip ini dengan menunjukkan bahwa identitas sebenarnya lebih kompleks daripada sekadar atribut fisik.
Simbolisme Api dan Gelap: Penyair menggunakan simbolisme api dan gelap untuk menggambarkan konflik antara laki-laki dan perempuan, serta kompleksitas identitas gender. Api sering kali diasosiasikan dengan kekuatan, kemarahan, atau semangat, sementara gelap sering kali diasosiasikan dengan kelemahan atau ketidaktahuan. Penyair menggambarkan adik laki-laki sebagai penuh dengan api, sementara adik perempuan diwakili oleh gelap. Namun, keduanya tidak sepenuhnya sesuai dengan stereotip gender yang umum.
Pertanyaan tentang Identitas: Puisi ini juga mengangkat pertanyaan tentang identitas dan bagaimana kita mengenali diri kita sendiri dan orang lain. Ketika adik-adik lahir, kebingungan dan ketidakpastian muncul. Orang tua, yang seharusnya menjadi otoritas dalam menentukan identitas anak-anak, juga menjadi bingung dalam menentukan esensi laki-laki dan perempuan. Ini menyoroti kerumitan dan keragaman identitas gender yang ada di dalam masyarakat.
Puisi "Lelaki Itu" menyoroti kompleksitas hubungan antara laki-laki, perempuan, dan identitas gender. Dengan simbolisme yang kuat dan gambaran yang mendalam, penyair mengeksplorasi konflik identitas gender dan kompleksitas manusia dalam konteks sosial dan budaya yang dipenuhi dengan stereotip. Puisi ini menantang pembaca untuk mempertanyakan asumsi mereka tentang gender dan membuka ruang untuk refleksi tentang identitas dan keberagaman manusia.
