Puisi: Ziarah Tanah Ayah (Karya Alex R. Nainggolan)

Puisi "Ziarah Tanah Ayah" karya Alex R. Nainggolan menggambarkan perasaan penulis ketika mengunjungi kuburan ayahnya. Dalam puisi ini, ada nuansa ....
Ziarah Tanah Ayah

Rumput sudah meninggi
Nisan yang berkilau
Kenangan menebal
Udara yang parau

Jejak sakitmu
Masa kanak membeku
Suara batukmu
Menghimpun sedih yang menyerpih

Jeritmu hanya igau
Aku yang yatim
Melangkah sendiri
Di lantai perih

Mestinya tak ada ilalang
Di tanahmu
Supaya kenangan acap tergenang
Sebab airmata cuma lintah luka
Menjerat dengan tuba

Gemetar ingatan
Melebar di ceruk retina
Aku terpapah
Melangkah
Sebagai lelaki

Tangis larut di lumpur percakapan
Engkau sendirian kini, Ayah
Kepanasan dan Kehujanan
Dan aku berkunjung hanya sekali waktu
Tanpa alas kaki

Harum rumah
Tapi cuaca tak mau berbenah
Hanya pusara
Gemerincing doa
Ilalang itu kucabuti
Menyeka nisanmu dengan air mawar

Aku gemetar
Mengeja doa
Menyulam kata
Barangkali langit akan terbuka

Biru yang beku
Sesak tubuh
Bayangan dirimu
Lantai rumah sakit
Yang dingin
Maut yang bergelut

Suaramu menikam
Seperti pecahan kaca yang tajam
Membelah dadaku

Dan aku tak tuntas
Mengingatmu
Yang telah lepas


Edelweis, 2015

Analisis Puisi:
Puisi "Ziarah Tanah Ayah" karya Alex R. Nainggolan menggambarkan perasaan penulis ketika mengunjungi kuburan ayahnya. Dalam puisi ini, ada nuansa nostalgia, kesedihan, dan kenangan yang kuat yang berhubungan dengan sosok ayah yang telah tiada. Puisi ini membawa pembaca pada perjalanan emosional penulis saat melihat kuburan ayahnya dan merenungkan kenangan mereka.

Kenangan dan Nostalgia: Puisi ini terbuka dengan penggambaran visual tentang kuburan ayah yang penuh dengan kenangan. "Rumput sudah meninggi," menunjukkan bahwa waktu telah berlalu sejak kematian ayah. Namun, nisan yang "berkilau" menciptakan gambaran bahwa kenangan tentang ayah masih bersinar dan kuat.

Emosi yang Mendalam: Penulis mengekspresikan perasaan yang mendalam atas kehilangan ayahnya melalui baris-baris seperti "Suara batukmu/Menghimpun sedih yang menyerpih" dan "Jeritmu hanya igau." Puisi ini menggambarkan bagaimana kenangan dan rasa kehilangan menghampiri penulis seperti hantu dalam pikiran dan ingatannya.

Kehadiran yang Abadi: Walaupun fisik ayah telah pergi, kenangannya masih hidup dan "kenangan menebal." Ini menciptakan gambaran bahwa hubungan antara penulis dan ayahnya tidak terputus oleh kematian, tetapi tetap hadir melalui memori dan pengalaman bersama.

Kontras Alam dan Perasaan: Kontras antara alam sekitar (rumput, ilalang, nisan) dengan perasaan penulis (kenangan, kesedihan, kehilangan) menciptakan atmosfer perenungan yang kuat. Ilalang di tanah ayah menjadi simbol dari rintangan yang harus diatasi untuk mendekati kenangan dan perasaan yang muncul saat mengunjungi kuburan.

Proses Berduka: Puisi ini juga menggambarkan proses berduka yang dialami oleh penulis setelah kematian ayahnya. Ada momen penerimaan ("Hanya getar takbir yang menelikung") dan momen kesulitan ("Jeritmu hanya igau"), yang mencerminkan kompleksitas emosi yang muncul selama proses berduka.

Harapan dan Pengharapan: Penulis mencoba merenungkan perasaannya dan memohon harapan di akhir puisi. "Barangkali langit akan terbuka" menciptakan gambaran bahwa penulis mencari pengharapan atau pemahaman melalui proses ziarah dan merenungkan kenangan ayahnya.

Puisi "Ziarah Tanah Ayah" oleh Alex R. Nainggolan adalah perenungan yang kuat tentang hubungan antara seorang anak dengan ayah yang telah tiada. Melalui gambaran visual dan perasaan yang mendalam, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang kenangan, kehilangan, dan proses berduka yang dialami oleh penulis saat mengunjungi kuburan ayahnya.

Puisi Ziarah Tanah Ayah
Puisi: Ziarah Tanah Ayah
Karya: Alex R. Nainggolan
© Sepenuhnya. All rights reserved.