Puisi: Nyanyian Tanah Kelahiran (Karya Ediruslan PE Amanriza)

Puisi "Nyanyian Tanah Kelahiran" menciptakan gambaran yang kompleks dan mendalam tentang perubahan drastis di tanah kelahiran. Dengan menggunakan ...
Nyanyian Tanah Kelahiran


Bom Bagan
Di zaman sebelum perang
Empat puluh empat anak tangganya
Sayup mata memandang

Berdiri di ujung ketika petang
Angin selat Melaka masih segar
Mengirimkan aroma ikan dan udang
Dari bangsal dan pelantar
Jauh di seberang
Antara kaki langit dan lidah bergelombang
Ada cahaya menyibak langit malam

Bila air timpas
Perahu nelayan berleret bagai dalam lukisan
Di tengah arung
Lampu jermal kerlap-kerlip kedinginan

Di pangkal bom
Melintang jalan perdagangan
Antara gudang
Toko
Dan pusat perkantoran
Ada pajak kios batu berpetak-petak
Di sebuah hailam
Tempat aku makan rujak Ucin
Atau mi rebus Alibab
Dan menghirup kopi Ling
Sambil membaca surat Ah Hwa
Ai Cing

(Datanglah ke gang kecil
di sebelah rumah Bin Bie Can
Aku ingin berbincang
Tapi hati-hati
Bangsa kita baru saja selesai perang)

Selalu aku menggigil
rindu ke zaman itu
Bila pulang
Dan melintas jalan perdagangan
Ketika menoleh ke kiri
Bom itu tak nampak lagi

Wahai
Bertahun-tahun pasang datang
Meninggalkan bom kami empat kilometer
Dari bibir lautan

Lalu segalanya berubah
Segalanya telah raib ditelan zaman
Segalanya
Dendang nelayan tak terdengar lagi
Karena seribu sungai
Seribu teluk
Telat tumpat
Dan di atasnya hutan tumbuh melebat
Tak lagi tampak cahaya kota di tanah seberang
Yang menyibak langit ketika petang
Kecuali kini
Cahaya kunang-kunang yang malap
Beterbangan di celah-celah pohon berembang

Pajak kios batu berpetak-petak
Tak lagi sebising dulu
Kini sepi dan penuh lalat
Di depannya seribu becak menunggu
Penariknya kawan-kawan masa kanakku

Wahai
Semuanya terasa asing kini
masuk ke hailam
Kupilih meja paling pojok
Kuminta kopi o
Tak ada lagi yang kumakan
Tak ada lagi yang kubaca
Tak ada
Selain sepi

Karena Ucin sudah tiada
Alibab juga
Ah Hwa entah di mana
Syakdiah entah di mana
Syamsiah entah di mana
Ain entah di mana
Hartati entah di mana
Ayahbundaku entah di mana
Tanah kelahiranku entah di mana
Semuanya entah di mana

Keluar Hailam
Melintas jalan perdagangan
Malam telah jatuh
Aku kembali ke hotel
Sebelum tidur
Aku merasakan sesuatu yang asing
Dan semakin asing


1984

Sumber: Horison (Maret, 1986)

Analisis Puisi:
Puisi "Nyanyian Tanah Kelahiran" menciptakan gambaran yang puitis dan merenung tentang tanah kelahiran yang telah berubah akibat perang dan perubahan zaman.

Nostalgia dan Kenangan: Puisi ini dimulai dengan menggambarkan kehidupan di masa lalu, sebelum perang. Puisi ini menyiratkan perasaan nostalgia dan kerinduan akan masa kecil yang penuh dengan kenangan.

Imaji Tempat dan Suasana: Penggambaran tentang Bagan, langit Melaka, dan aktivitas sehari-hari di jalanan perdagangan memberikan citra visual yang kaya dan mendalam, menghadirkan suasana hidup di tanah kelahiran penyair.

Pergeseran Zaman: Pergeseran dari kehidupan yang hidup dan penuh aktivitas ke keadaan sekarang yang sunyi dan sepi menyoroti dampak perubahan zaman. Penghilangan bom dari pandangan menciptakan kontras antara masa lalu dan kini.

Hilangnya Identitas Lokal: Puisi ini menyoroti hilangnya identitas lokal dan kekayaan budaya yang dahulu meramaikan kota. Pajak kios yang sepi dan penuh lalat mencerminkan perubahan dramatis dalam kehidupan sehari-hari.

Pilihan Kata yang Kuat: Penggunaan kata-kata seperti "segalanya telah raib," "semua terasa asing kini," dan "tak ada lagi selain sepi" menggambarkan kesedihan dan kekosongan yang dirasakan oleh penyair.

Metafora Cahaya Kota yang Padam: "Cahaya kota" yang tak lagi tampak menciptakan metafora yang kuat untuk kehilangan vitalitas dan semangat kota. Hal ini mencerminkan hilangnya kehidupan dan keceriaan yang dulu dihadirkan oleh cahaya kota.

Kesepian dan Kehampaan: Pada akhir puisi, penyair merasakan "sesuatu yang asing" dan "semakin asing." Hal ini menciptakan kesan kesepian dan kehampaan dalam menghadapi perubahan drastis di tanah kelahiran.

Kembali ke Hotel: Mengakhiri puisi dengan kembali ke hotel memberikan kesan kesendirian dan perasaan terasing di tengah-tengah perubahan yang tak terelakkan.

Identifikasi dengan Tokoh-Tokoh: Nama-nama seperti Ucin, Alibab, Ah Hwa, dan lainnya memberikan kedalaman karakter dan menunjukkan bahwa perubahan ini bukan hanya berdampak pada tempat, tetapi juga pada hubungan dan identitas personal.

Puisi "Nyanyian Tanah Kelahiran" menciptakan gambaran yang kompleks dan mendalam tentang perubahan drastis di tanah kelahiran. Dengan menggunakan bahasa yang kaya dan metafora yang kuat, puisi ini menyampaikan kehilangan dan kesepian yang menyertainya.

Ediruslan PE Amanriza
Puisi: Nyanyian Tanah Kelahiran
Karya: Ediruslan PE Amanriza

Biodata Ediruslan PE Amanriza:
  • Ediruslan PE Amanriza lahir pada tanggal 17 Agustus 1947 di  Bagan-siapiapi, Riau.
  • Ediruslan PE Amanriza meninggal dunia pada tanggal tanggal 3 Oktober 2001.
  • Ediruslan PE Amanriza adalah salah satu penulis puisi, cerita pendek, novel, dan esai sastra.
© Sepenuhnya. All rights reserved.