Puisi: Nyanyian Wangkang (Karya Ediruslan PE Amanriza)

Puisi "Nyanyian Wangkang" karya Ediruslan PE Amanriza membawa pembaca dalam sebuah perjalanan penuh warna dan makna.
Nyanyian Wangkang (1)


Dalam suatu pelayaran dari utara
Sebuah wangkang tersadai
Dihempas badai
Terkatung-katung berhari-hari
Di pesisir pulau yang sepi
Entah malam ke berapa
Seorang pelaut bermimpi
Dewa Laut datang
Menunjukkan jazirah yang mereka cari

Mereka berdebat berhari-hari
Ada yang percaya banyak yang tidak
Karena tak ada yang pandai menafsirkan mimpi
Mereka bertanya ke Dewa Api
Dengan membakar wangkang dan sekoci

Wangkang dikisar menghadapat matahari
Layar di kembang di tiang tinggi menjulang
panji-panji dipasang pada tali temali
Wangkang nampak semarak
Siap mengarungi lautan mimpi
Pelaut-pelaut cina itu tegak melingkar
Di gigir pantai yang sepi
Masing-masing memegang api

Seorang Saikong tua berjubah merah
Berdiri di depan memegang cemeti dan lonceng api
Cemetinya bertangkai tanduk
Hulunya berukir naga bertangkap
Jubahnya longgar dan dalam
Tepinya mencecah ke lumpur pantai

Setelah membaca doa
Dia melecutkan cemetinya ke langit
Suaranya seperti lautan api
Terasa pedih di hati

Dengan mudah
Ujung cemeti itu ditangkapnya kembali
Pelaut-pelaut cina itu terdiam
Merekan hanya mendengar desah nafas masing-masing

Tiba-tiba ada suara tinggi melengking
Bagai sebilah pedang tajam menebas gendang telingga

Perlahan-lahan suara itu lenyap ditelan gemuruh laut yang jauh
Lalu lengking jeritan itu terdengar kembali

Saikong tua memandang ke laut yang jauh
Dia menjura beberapa kali
Pelaut-pelaut cina itu mengikutinya
Menjura beberapa kali
Saikong tua kemudian melafaskan doa
Bacaanya makin lama semakin jelas
Pelaut-pelaut cina itu mengikutinya
Makin lama semakin keras
Sambil menggerakkan kepala
Seperti ratib
Ke kiri ke kanan
Suara bacaan semakin meninggi
Kian gemuruh
Kian gegap gempita
Saikong tua melecutkan cemetinya sekali lagi
Terasa pedih di hati
Terasa ngilu di tulang
Menyibak darah di dada
Suara bacaan tiba-tiba berhenti

Lalu sunyi
Seakan ditelan bumi
Pesisir pantai itu seakan mati
Tak ada desir angin
Tak ada debur ombak
Tak terdengar cicit burung laut
Sunyi

Saikong tua mengangkat dagunya
Mendongak ke langit yang tiada bertepi
Lalu menjura beberapa kali
Lonceng kecil di tangannya berbunyi
Pertanda Dewa Api mengiyakan
Pelaut-pelaut Cina itu pun
Satu per satu
Melemparkan api di tangan
Ke dalam wangkang

Mereka menatap api
Marak menjilat wangkang
Menyilam garang
Meletup-letup bagai bunyi cance dan genderang
Seakan khotbah Dewa Api
Yang mereka iyakan sembari menjura
Sambil meminta
tampuk
Sambil meminta
tampuk
Wangkang itu kini hitam jadi arang
Tiang-tiangnya tumbang ke laut dan ke darat
Saikong berseru
Benar inilah jazirah yang kita cari
Seperti yang dikatakan Dewa Laut
Pelaut-pelaut itu bersorak gemuruh
Lalu mereka rambah hutan bakau dan berembang
Mereka arung air sedalam pinggang
Mereka bangun rumah
pelantar
dan jermal

Laut kembali bergelora
Menenggelamkan bangkai wangkang ke dasar samudra
Angin berhembus kembali
Membawa suara cicit burung pantai
dan kulik elang pertanda pasang
Lalu terdengar suara gemuruh
Seperti seribu ekor kuda berlari dari laut yang jauh
Burung bangau pun terbang
Meninggalkan beting-beting lumpur yang hilang
Ditelan pasang


Nyanyian Wangkang (2)


Aku melihat badai di selat
Laut yang dahulunya tenang
Tiba-tiba kini penuh amarah
Dikirimnya lidah gelombang pasang yang garang
Menjilat pantai
Daratan dan
Desa kami yang diam

Percikan debur ombaknya
Menghempas dendam hingga ke malam sepi
Hingga ke dalam mimpi
Hingga basah bantal cintaku yang kekal

Aku melihat ada roh yang bangkit
Dari berjuta-juta raga yang sakit
Sembari menadahkan tangan
Dalam bayangan cahaya bulan

Oh duka laut
Berdarah kembali
Kilatan pedang dendamnya
Seperti kayu
Semakin dekat ke api


Nyanyian Wangkang (3)


Api unggun di pantai pun padam
Suara-suara roh yang terjaga terdiam
Asap yang mengepul dari sisa
Puntung yang hitam
Seakan terlihat seperti doa mereka
Memanjat awan
Dalam bayangan cahaya bulan

Bayangan cahaya bulan membiaskan gelap
Hutan-hutan bakau di pantai
Dari dalam sepinya ada berjuta suara mengerang
Meratapi raga mereka yang dibuai gelombang pasang
Lalu badai mengirimkan gerimis
Di tengah selat yang penuh amarah
Bagai air mata berjuta roh
Rindu akan laut yang teduh


Nyanyian Wangkang (4)


Air pasang adalah berkah kampung kami
Datang dan naik bersama bulan
Surut dan mati bersama bulan

Ketika mendengar suara bono
Berlari dari laut yang jauh
Burung-burung bangau ke beting
Terbang bersempiaran
Ikan-ikan kecil
Tempakul
Ketam
Menyuruk ke dalam lanyau
Selat dan sungai pun menggeliat
Seakan naga terjaga

Kehidupan pun seakan baru dimulai
Sampan-sampan nelayan
Tongkan atau wangkang
Toako atau cici
Tongkang besi
Sampan kotak
Dengan muatan sarat
Merapat dan
Bertolak

Gemuruh suara mereka
Carut marut
Sumpah seranah
Dalam bahasa Hok Kian
Tai Chu
Hai Lam dan
Melayu
Kulik elang
Suara lonceng
Sepeda atau beca
Semuanya memberi pertanda
Kampung kami terjaga

Air pasang adalah berkah kampung kami
Datang dan naik bersama bulan
Surut dan mati bersama bulan

Bila angin berhembus
Dari bangsal dan pelantar
Kau ciumlah bau samak
Rebus udang atau anyir ikan
Bau bumbu atau belacan
Aroma kampung kami yang silam


1996

Sumber: Nyanyian Wangkang (1999)

Analisis Puisi:
Puisi "Nyanyian Wangkang" karya Ediruslan PE Amanriza membawa pembaca dalam sebuah perjalanan penuh warna dan makna. Puisi ini terdiri dari empat bagian yang masing-masing mengeksplorasi tema kehidupan laut, kekuatan alam, dan spiritualitas.

Nyanyian Wangkang (1): Puisi dimulai dengan menggambarkan sebuah perjalanan wangkang yang tersadai dalam badai, menciptakan gambaran dramatis dan penuh ketidakpastian. Motif mimpi dan pertemuan dengan Dewa Laut menambah elemen mistis pada cerita.

Pertentangan antara para pelaut dalam menafsirkan mimpi menjadi simbol perbedaan pandangan dan keyakinan dalam hidup. Penggambaran adegan upacara dengan Saikong tua menunjukkan keberanian dan kesetiaan dalam menghadapi tantangan.

Api yang membakar wangkang diartikan sebagai elemen purifikasi atau pembersihan. Proses ini melambangkan pengorbanan dan transformasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Nyanyian Wangkang (2): Bagian kedua menggambarkan pemandangan badai yang mengamuk dan menunjukkan kekuatan alam yang dahsyat. Laut yang tenang menjadi marah, dan debur ombaknya menciptakan gambaran kehancuran yang menyentuh hati.

Adanya roh yang bangkit menunjukkan bahwa alam memiliki kekuatan spiritual yang mencerminkan perasaan kesedihan dan penderitaan manusia. Penggunaan bahasa metafora seperti "lidah gelombang pasang yang garang" memberikan warna emosional pada puisi.

Nyanyian Wangkang (3): Puisi ini melibatkan unsur keagamaan dengan api unggun yang padam sebagai simbol ritual keagamaan. Suara-suara roh yang terdiam menggambarkan ketenangan setelah peristiwa dramatis, sementara asap hitam menjadi doa yang naik ke langit.

Cahaya bulan dan suara gemuruh menciptakan atmosfer misterius dan sakral. Hutan bakau yang mengerang memberikan kesan bahwa alam memiliki rasa dan merasakan perubahan yang terjadi.

Nyanyian Wangkang (4): Bagian terakhir memperkenalkan aspek kehidupan masyarakat nelayan dan hubungannya dengan air pasang. Puisi menggambarkan kehidupan yang bergantung pada siklus bulan dan air pasang, menciptakan gambaran keharmonisan dengan alam.

Penggambaran sampan-sampan nelayan, suara gemuruh, dan berbagai aroma kampung menyoroti keragaman kehidupan masyarakat nelayan. Puisi ini menunjukkan pentingnya air pasang sebagai berkah dan sumber kehidupan bagi mereka.

Puisi "Nyanyian Wangkang" adalah sebuah karya puisi yang kaya akan simbolisme, metafora, dan warna kehidupan laut. Puisi ini menggambarkan perjalanan spiritual dan fisik, perubahan, serta hubungan manusia dengan alam. Dengan gaya bahasa yang indah dan penuh makna, Ediruslan PE Amanriza berhasil menciptakan karya yang menggugah perasaan dan meresapi keindahan alam serta kehidupan masyarakat nelayan.

Ediruslan PE Amanriza
Puisi: Nyanyian Wangkang
Karya: Ediruslan PE Amanriza

Biodata Ediruslan PE Amanriza:
  • Ediruslan PE Amanriza lahir pada tanggal 17 Agustus 1947 di  Bagan-siapiapi, Riau.
  • Ediruslan PE Amanriza meninggal dunia pada tanggal tanggal 3 Oktober 2001.
  • Ediruslan PE Amanriza adalah salah satu penulis puisi, cerita pendek, novel, dan esai sastra.
© Sepenuhnya. All rights reserved.