Puisi: Pesona Kurusetra (Karya Isma Sawitri)

Puisi "Pesona Kurusetra" tidak hanya menggambarkan kehancuran fisik tetapi juga mengajukan pertanyaan filosofis tentang makna kehidupan dan akibat ...
Pesona Kurusetra
- memo renungan peristiwa berdarah Tanjung Priok


Sesudah isu
sesudah air selokan
tiba-tiba khotbah
lalu darah

Berbekal surat perintah
El Maut datang menjarah
beringas kalap
konsultasi tak sempat

Musnah katanya musnah
rata katanya rata
terbujur terbelintang
esa hilang tak satu terbilang

Malam pun berderak lewat
tiba waktu sang penakluk berangkat
diam-diam
laut datar dan bumi senyap
hanya moncong-moncong mencuat
di bawahnya genangan pekat

Saat fajar menyibak
gejolak di pesisir tumpas sudah
tinggal pesona Kurusetra
kelu kaku kehilangan makna


Sumber: Horison (Desember, 1985)

Analisis Puisi:
"Pesona Kurusetra" membawa pembaca ke medan peperangan yang penuh kehancuran dan kematian. Puisi ini menciptakan suasana tragis dan mencekam seiring dengan berkembangnya konflik di Kurusetra.

Gaya Bahasa dan Imaji Kuat: Isu, Air Selokan, dan Darah: Isma Sawitri menggunakan gaya bahasa yang kuat untuk menyampaikan pesannya. Penggunaan kata-kata seperti "isu," "air selokan," dan "darah" menciptakan imaji keras dan mencolok, merujuk pada kondisi kehidupan yang sulit dan penuh kekerasan.

Surat Perintah dan Kedatangan El Maut, Kegelapan dan Kematian: Dengan merinci kedatangan El Maut dengan surat perintah, puisi ini menyoroti ketidakpastian dan ketakutan di tengah-tengah konflik. El Maut di sini mewakili kematian yang mendatangi tanpa pandang bulu.

Bunyi Khotbah dan Kalapnya El Maut, Kepanikan dan Kekacauan: Khotbah yang terdengar sebelum datangnya El Maut menciptakan gambaran kepanikan dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat. El Maut yang datang dengan kalap menunjukkan kebrutalan dan kekejaman saat perang berlangsung.

Musnah dan Rata, Kehancuran dan Kesetaraan Kematian: Penggunaan kata "musnah" dan "rata" menggambarkan betapa parahnya kehancuran di Kurusetra. Tidak ada yang terhindar, dan semua menjadi sama di hadapan kematian, menciptakan kesetaraan di antara mereka yang terbunuh.

Malam yang Berderak dan Penakluk yang Berangkat, Perubahan dan Perjalanan: Deskripsi malam yang berderak menciptakan gambaran suasana perubahan dan ketidakpastian. Kedatangan sang penakluk yang berangkat pada fajar menandai awal dari perjalanan baru, meskipun sebelumnya terjadi kehancuran.

Laut Datar dan Bumi Senyap, Ketenangan Setelah Kekacauan: Gambaran laut yang datar dan bumi yang senyap menyiratkan ketenangan setelah kekacauan. Ini mungkin mencerminkan situasi pasca-perang, di mana ketenangan datang setelah kerusuhan dan kehancuran.

Moncong-Moncong Mencuat dan Genangan Pekat: Simbolisme Hancurnya Alam: Moncong-moncong yang mencuat dan genangan pekat menciptakan simbolisme kehancuran alam. Alam yang dulunya hidup dan subur, sekarang hancur dan tergenang oleh darah dan kekerasan.

Fajar yang Menyibak dan Pesona Kurusetra, Kehancuran dan Kehilangan Makna: Fajar yang menyibak membawa pembaca melihat kehancuran di pesisir. Pesona Kurusetra, yang dulunya mungkin memiliki keindahan dan arti, kini menjadi kaku dan kehilangan makna di tengah-tengah kehancuran.

Puisi "Pesona Kurusetra" tidak hanya menggambarkan kehancuran fisik tetapi juga mengajukan pertanyaan filosofis tentang makna kehidupan dan akibat dari tindakan perang. Puisi ini mengingatkan kita pada kerentanan dan kehilangan yang diakibatkan oleh konflik bersenjata.

Isma Sawitri
Puisi: Pesona Kurusetra
Karya: Isma Sawitri

Biodata Isma Sawitri:
  • Isma Sawitri lahir pada tanggal 21 November 1940 di Langsa, Aceh.
© Sepenuhnya. All rights reserved.