Puisi: Potong Bebek Angsa (Karya Hamid Jabbar)

Puisi "Potong Bebek Angsa" karya Hamid Jabbar menggambarkan keadaan sosial yang kompleks dan penuh ironi. Melalui kecerdasan bahasa dan pilihan ...
Potong Bebek Angsa


Tanpa pisau, seseorang bernyanyi: "Potong bebek angsa ..."
Pinggulnya bergoyang bagai bebek pulang petang.
Orang-orang bergendang dan bebek-bebek berdansa:
"Dansa saban hari sampai sakit pinggang..."

Tetapi kegawatan selalu saja datang ke negeri ini.
Musim panas yang keras begitu kering-kerontang.
Sawah jadi kuburan, pematang jadi batu nisan; sunyi.
Hanya tikus-tikus yang terus berdansa sampai kejang.

Di manakah kucing? Kucing mengeong dalam karung berdebu.
Karung? Ya, karung yang memakan habis semua mentimun itu.
Mentimun? Ya, mentimun yang meninabobokkan para kancil itu.
Kancil? Nah, kancillah yang bernyanyi: "Potong bebek angsa" itu.

Tetapi kegawatan selalu saja menerjang rimba belantara ini
Bila kancil kehilangan akal dan tak sempat lagi bernyanyi.
Saat itulah harimau mengaum dan serigala menerkam.
Sementara buaya menganga sambil tidur-tiduran.

Di manakah pawang-pawang kita yang penuh wibawa dan jantan?
Mereka telah jadi bebek, siap dipotong sambil berdansa-dansa:
"Sikat ke kiri sikat ke kanan sampai mabok segala perhitungan..."
Ya, sampai mati pingsan segala taman margasatwa di kota-kota.


1977

Sumber: Wajah Kita (1981)

Analisis Puisi:
Puisi "Potong Bebek Angsa" karya Hamid Jabbar merupakan karya sastra yang sarat akan metafora dan simbol, menggambarkan keadaan sosial yang kompleks dan penuh ironi. Melalui kecerdasan bahasa dan pilihan kata yang tajam, penyair menghadirkan kritik sosial terhadap keadaan masyarakat yang tengah dilanda kegawatan.

Metafora "Potong Bebek Angsa": Judul puisi ini, "Potong Bebek Angsa," menciptakan gambaran awal yang bersifat paradoks. Potongan bebek angsa yang seharusnya bersifat lucu dan menghibur malah dihadirkan sebagai sebuah tindakan yang mengundang kegelisahan. Ini bisa diartikan sebagai pemikiran ironis terhadap suatu kenyataan yang seharusnya disadari oleh masyarakat.

Rona Kesenangan yang Terselubung: Deskripsi awal tentang seseorang yang bernyanyi tanpa pisau, bebek-bebek yang berdansa, dan orang-orang yang bergendang memberikan gambaran kebahagiaan dan kegembiraan. Namun, realitas pahit kemudian menghampiri, mengungkapkan bahwa kesenangan tersebut hanyalah ilusi yang berlangsung sampai munculnya kenyataan yang keras.

Kegawatan dan Kekeringan: Metafora musim panas yang keras dan kering-kerontang menciptakan gambaran keadaan sulit dan kegawatan dalam masyarakat. Sawah yang menjadi kuburan dan pematang yang berubah menjadi batu nisan mencerminkan kehilangan vitalitas dan kehidupan.

Perubahan Tak Terduga: Puisi ini menggambarkan perubahan tak terduga dalam kehidupan. Kancil yang pada awalnya bernyanyi "Potong bebek angsa" menjadi mangsa kemudian, dan harimau, serigala, serta buaya muncul sebagai simbol ketidakpastian dan bahaya yang selalu mengintai.

Ironi dan Kritik Sosial: Pemilihan kata-kata seperti "kucing yang mengeong dalam karung berdebu" dan "pawang-pawang yang jantan yang telah jadi bebek" membawa nuansa ironi dan kritik sosial. Pawang-pawang yang semestinya melindungi malah menjadi korban, dan hewan-hewan seperti kucing dan tikus menjadi simbol ketidakpastian dan kerentanan.

Akhir yang Pahit: Puisi ini mencapai puncaknya dengan gambaran akhir yang pahit, di mana taman margasatwa di kota-kota mati pingsan. Ini bisa diartikan sebagai metafora untuk kerusakan lingkungan dan kehilangan keanekaragaman hayati akibat dari perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab.

Puisi "Potong Bebek Angsa" bukan hanya sebuah karya sastra, tetapi juga cerminan kritis terhadap realitas sosial. Hamid Jabbar menghadirkan gambaran yang indah namun penuh ironi tentang kegembiraan palsu dan konsekuensi dari tindakan manusia terhadap lingkungan dan masyarakat. Melalui puisinya, Jabbar mendorong pembaca untuk merenung tentang perubahan dan dampaknya terhadap kehidupan manusia dan alam.

Puisi: Potong Bebek Angsa
Puisi: Potong Bebek Angsa
Karya: Hamid Jabbar

Biodata Hamid Jabbar:
  • Hamid Jabbar (nama lengkap Abdul Hamid bin Zainal Abidin bin Abdul Jabbar) lahir 27 Juli 1949, di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat.
  • Hamid Jabbar meninggal dunia pada tanggal 29 Mei 2004.
© Sepenuhnya. All rights reserved.