Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Riau (Karya Ediruslan PE Amanriza)

Puisi "Riau" karya Ediruslan PE Amanriza menghadirkan gambaran yang kuat tentang bencana banjir di wilayah Riau. Dengan bahasa yang sederhana namun ..
Riau


Di Riau
Banjir jadi pantun sepanjang sungai
Air menjilat lantai rumah kami
Air padamkan api di tungku kami
Air basahkan tikar
Dan bubung dalam kelambu kami
Banjir menghanyutkan mimpi-mimpi kami

Di Riau
Kami tak sempat lagi bernyanyi


Sumber: Surat-Suratku kepada GN (1983)

Analisis Puisi:
Puisi "Riau" karya Ediruslan PE Amanriza menghadirkan gambaran yang kuat tentang bencana banjir di wilayah Riau. Dengan bahasa yang sederhana namun penuh makna, puisi ini menggambarkan penderitaan dan kerugian yang dialami oleh masyarakat setempat akibat banjir.

Metafora Banjir Sebagai Pantun: Puisi dibuka dengan menyatakan bahwa "Banjir jadi pantun sepanjang sungai." Metafora ini menciptakan gambaran bahwa banjir bukan hanya suatu peristiwa alam biasa, tetapi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari di wilayah Riau. Pantun sebagai bentuk puisi tradisional Indonesia memberikan nuansa budaya lokal pada penggambaran bencana.

Air sebagai Elemen Vital dan Musibah: Penggunaan air sebagai elemen utama dalam puisi menggambarkan kontras antara air sebagai sumber kehidupan dan air sebagai musibah. Air yang menjilat lantai rumah, memadamkan api, dan membawa kerugian menciptakan rasa ironi dan ketidakseimbangan dalam hubungan manusia dengan alam.

Gambaran Kehancuran dan Kehilangan: Deskripsi air yang membasahi tikar, kelambu, dan menghanyutkan mimpi-mimpi menciptakan gambaran penderitaan dan kehilangan. Bencana banjir tidak hanya merusak properti fisik, tetapi juga menciptakan dampak psikologis yang mendalam pada masyarakat.

Kecepatan dan Kekuatan Banjir: Puisi menggunakan kata-kata yang menggambarkan kecepatan dan kekuatan banjir, seperti "menghanyutkan" dan "menjilat," menciptakan citra bahwa banjir tidak terelakkan dan dapat menghancurkan segala sesuatu dengan cepat dan tanpa ampun.

Ketidaksanggupan untuk Bernyanyi: Puisi ditutup dengan pernyataan bahwa "Kami tak sempat lagi bernyanyi." Ini menciptakan nuansa kesedihan dan keputusasaan, menggambarkan bahwa banjir telah merampas tidak hanya harta benda, tetapi juga kegembiraan dan semangat hidup.

Pendekatan Sederhana dan Puitis: Ediruslan PE Amanriza menggunakan bahasa yang sederhana, tetapi penuh dengan makna. Pendekatan ini memberikan kekuatan ekspresif pada puisi, sehingga pembaca dapat merasakan langsung dampak emosional dari bencana yang digambarkan.

Puisi "Riau" bukan hanya sekadar kisah tentang bencana alam, tetapi juga merupakan panggilan untuk merenung dan bertindak dalam menghadapi perubahan iklim dan dampaknya terhadap kehidupan manusia. Melalui kata-kata yang sederhana namun kuat, puisi ini memberikan suara bagi masyarakat yang menghadapi bencana dan menciptakan kesadaran akan kerentanan dan keberanian mereka di tengah-tengah alam yang tidak dapat diprediksi.

Ediruslan PE Amanriza
Puisi: Riau
Karya: Ediruslan PE Amanriza

Biodata Ediruslan PE Amanriza:
  • Ediruslan PE Amanriza lahir pada tanggal 17 Agustus 1947 di  Bagan-siapiapi, Riau.
  • Ediruslan PE Amanriza meninggal dunia pada tanggal tanggal 3 Oktober 2001.
  • Ediruslan PE Amanriza adalah salah satu penulis puisi, cerita pendek, novel, dan esai sastra.
© Sepenuhnya. All rights reserved.