Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Mancing di Kali Cimanuk (Karya Dodong Djiwapradja)

Puisi "Mancing di Kali Cimanuk" menggambarkan pergantian generasi dan pencarian makna dalam kehidupan yang seiring waktu semakin terlupakan.
Mancing di Kali Cimanuk

Sehabis naik bukit ini, pohon loa
Belok kanan lalu lembah, akhirnya air

Batu dan pasir begini melulu dari dulu
Dan air terus saja mengalir
Tak peduli sudah berapa kali
Penduduk sini mati berganti

Anak-anak masih juga suka bermain
Di sini, telanjang bulat, berkelahi
Menggali pasir nyemplung di air
Hanya bukan yang dulu lagi!
Mereka telah lama pergi
Dari kampungnya, mengembara
Entah kemana

Lalu dunia mulai terdiam
Ujung juram bergerak-gerak!
Seakan tak ada lagi yang tampak
Selain juram, tali pancing, nafas sesak
Serta air riuh bergelucuk

Jika dunia hanya begini saja
Alangkah damainya!

Hanyalah takut
Kaki sebawah lutut
Lama akan membantu
Dan berlumut

1972

Sumber: Laut Biru Langit Biru (1977)

Analisis Puisi:

Puisi "Mancing di Kali Cimanuk" karya Dodong Djiwapradja menggambarkan sebuah perjalanan emosional yang penuh dengan perenungan, rasa kesendirian, dan perubahan. Melalui kata-kata yang sederhana, puisi ini menyiratkan banyak makna mendalam tentang kehidupan, alam, dan waktu yang terus berjalan.

Sebuah Perjalanan ke Masa Lalu

Puisi ini dimulai dengan gambaran perjalanan fisik yang penuh dengan perubahan. "Sehabis naik bukit ini, pohon loa / Belok kanan lalu lembah, akhirnya air" memberi gambaran tentang perjalanan menuju alam yang alami, seperti sebuah pencarian atau pelarian. Penyair membawa kita melalui bukit dan lembah, seolah menelusuri perjalanan batin yang penuh dengan kenangan dan perasaan yang terus berganti.

Namun, setelah sampai di tujuan, penyair menyadari bahwa alam ini tetap sama, "Batu dan pasir begini melulu dari dulu / Dan air terus saja mengalir." Meskipun manusia datang dan pergi, alam tidak terpengaruh. Air yang mengalir dan batu yang bertahan adalah lambang keteguhan alam, sementara manusia terus mengalami perubahan.

Manusia dan Waktu yang Bergulir

Penyair menyoroti kenyataan bahwa manusia sering kali berganti dan melupakan asal-usulnya. "Tak peduli sudah berapa kali / Penduduk sini mati berganti" mencerminkan pergantian generasi yang tak bisa dihentikan. Namun, meskipun kehidupan manusia berganti, alam tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Anak-anak yang bermain di tepi kali, meskipun dengan cara yang sama seperti dahulu, kini telah berubah. "Mereka telah lama pergi / Dari kampungnya, mengembara / Entah kemana" menunjukkan bahwa mereka yang pernah ada, kini telah meninggalkan tempat tersebut, berkelana mencari kehidupan baru. Hal ini menandakan bahwa perubahan waktu juga mengubah cara hidup manusia.

Kesunyian dan Keheningan Alam

Saat puisi semakin berlanjut, kita diajak untuk menyelami dunia yang lebih dalam. "Lalu dunia mulai terdiam / Ujung juram bergerak-gerak!" menggambarkan sebuah keadaan yang hampir hening, penuh dengan kesendirian. Tidak ada yang tampak selain alam dan kesunyian. Hanya ada juram, tali pancing, dan air yang riuh bergelucuk, yang seolah mewakili dunia yang berjalan tanpa henti.

Di tengah kegelisahan dan perubahan yang terus berlangsung, ada sebuah harapan untuk menemukan kedamaian dalam kesendirian. "Jika dunia hanya begini saja / Alangkah damainya!" Kalimat ini memberikan gambaran tentang keinginan untuk melarikan diri dari hiruk-pikuk kehidupan dan menemukan ketenangan di tengah alam yang tidak berubah.

Simbolisme dan Makna

Puisi ini mengandung berbagai simbol yang memperkaya makna dari pesan yang ingin disampaikan. Kali Cimanuk, misalnya, bukan hanya sekadar tempat fisik, tetapi juga menjadi simbol dari perjalanan hidup yang terus mengalir, tak terhentikan oleh apa pun. Tali pancing yang digunakan untuk memancing menjadi simbol pencarian atau usaha untuk menangkap makna dalam hidup.

Di sisi lain, kehadiran "takut" dan "kaki sebawah lutut" mencerminkan ketakutan dan kekhawatiran akan masa depan, meskipun pada akhirnya penyair mengungkapkan bahwa "lama akan membantu / Dan berlumut." Ini seolah-olah menunjukkan bahwa waktu dan alam memiliki cara mereka sendiri untuk membawa ketenangan dan penyembuhan, meskipun dalam keheningan yang lambat dan terkadang menyakitkan.

Puisi "Mancing di Kali Cimanuk" adalah sebuah karya yang mengajak pembaca untuk merenung tentang kehidupan, perubahan, dan waktu. Melalui gambaran alam yang penuh dengan ketenangan, penyair mengingatkan kita akan keteguhan alam yang tidak terpengaruh oleh perubahan manusia. Ia juga menggambarkan pergantian generasi dan pencarian makna dalam kehidupan yang seiring waktu semakin terlupakan. Di tengah-tengah kegelisahan, ada sebuah keinginan untuk menemukan kedamaian dalam kesendirian, dan meskipun dunia terus berubah, alam akan selalu menjadi tempat yang memberikan ketenangan dan pelajaran yang tak terucapkan.

Dodong Djiwapradja
Puisi: Mancing di Kali Cimanuk
Karya: Dodong Djiwapradja
    Biodata Dodong Djiwapradja:
    • Dodong Djiwapradja lahir di Banyuresmi, Garut, Jawa Barat, pada tanggal 25 September 1928.
    • Dodong Djiwapradja meninggal dunia pada tanggal 23 Juli 2009.
    © Sepenuhnya. All rights reserved.