Puisi: Pidato Seorang Petani Menjelang Akhir Hayatnya (Karya Dodong Djiwapradja)

Puisi "Pidato Seorang Petani Menjelang Akhir Hayatnya" menghadirkan momen refleksi yang dalam tentang kehidupan, kematian, dan penerimaan takdir.
Pidato Seorang Petani
Menjelang Akhir Hayatnya

Teman-teman setetangga
Akhirnya kita berpisah juga,
domba-domba pulang ke kandang
burung-burung pulang ke sarang
cuma, inilah bedanya:
aku tidak akan kembali
ke ladang seperti biasa
karena jagung punya umur
kacang punya usia
dan akulah padi
yang tidak berbenih lagi.

Semua karena tiba waktunya
jalan sudah sampai di batas
sungai sudah tiba di muara
begitulah usia, begitulah manusia
apalagi aku
petani yang ketiban penyakit.

Kuucapkan terima kasih
kepada kalian, teman seperjuangan
yang telah berjalan bersama
bekerja bersama, menggarap tanah
bukan punya kita.

Namun demikian kita tetap gembira
atau seakan-akan gembira
demi terlihat oleh anak cucu kita
yang juga akan seperti kita
ataukah lebih dari kita?

Namun sebagai orang tua mengharap
supaya kata-kata lebih
tidak dalam arti lebih buruk
kuharap mereka lebih baik dari kita.

Sekali lagi kuucapkan
terima kasih
kepada teman-teman
yang sudi menengok waktu sakit
meski tak punya duit.

Hanya, dalam pada itu
maafkan jika keterlaluan
bukan tidak tahu aturan
cuma karena desakan hati
yang tak tertahankan.

Maaf, bila ku berkata:
apakah maknanya ini
upacara setengah keramat
atau puji-pujian mengantar mayat?

Bila ada yang menangis
silahkanlah, menangis
sepuas suka -
karena malaikat, datang bagaikan kuat
tidak seperti penarik pajak
yang dengan teliti cermat
menagih rakyat melarat...

(Ketika jam tiga lewat
maka, setelah kakinya tersentak
sejenak
lalu mata pun tertutup
dan nafasnya berhentilah)

Sumber: Kastalia (1997)

Analisis Puisi:

Puisi "Pidato Seorang Petani Menjelang Akhir Hayatnya" karya Dodong Djiwapradja menggambarkan momen pengucapan terakhir seorang petani yang mendekati akhir hayatnya.

Tema Kehidupan dan Kematian: Puisi ini mengangkat tema tentang siklus kehidupan dan kematian. Petani sebagai representasi kehidupan yang penuh dengan kerja keras dan keterbatasan manusia, pada akhirnya harus menghadapi kematian sebagai bagian dari keberadaannya.

Sikap Penerimaan: Meskipun menghadapi kematian, sang petani menyampaikan pidatonya dengan sikap penerimaan yang tenang. Dia menerima takdirnya dengan lapang dada, mengenali bahwa waktu telah tiba untuk mengakhiri perjalanannya di dunia ini.

Rasa Syukur dan Penghargaan: Petani menyampaikan rasa syukur dan penghargaannya kepada teman-teman seperjuangannya yang telah menemani dan bekerja bersamanya. Dia mengakui bahwa tanah dan hasil pertaniannya bukan milik pribadi, melainkan milik bersama.

Harapan untuk Generasi Berikutnya: Dalam pidatonya, petani menyampaikan harapan agar generasi berikutnya bisa lebih baik daripada mereka. Dia menginginkan agar anak cucunya mampu melampaui pencapaian mereka dan hidup dengan lebih baik.

Pertanyaan Filosofis: Puisi ini menghadirkan pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang makna hidup dan kematian. Sang petani merenungkan apakah upacara pemakamannya hanya seremonial belaka atau memiliki makna yang lebih dalam dalam perjalanan rohnya setelah meninggal.

Kesimpulan yang Tenang: Puisi berakhir dengan gambaran yang tenang saat sang petani menghembuskan nafas terakhirnya. Dia meninggalkan dunia dengan ketenangan dan keberanian, menghadapi malaikat maut seperti datangnya saat yang tak terelakkan.

Puisi "Pidato Seorang Petani Menjelang Akhir Hayatnya" menghadirkan momen refleksi yang dalam tentang kehidupan, kematian, dan penerimaan takdir. Melalui kata-kata yang sederhana namun sarat makna, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti hidup dan menghadapi kematian dengan sikap yang bijaksana dan tenang.

Puisi
Puisi: Pidato Seorang Petani Menjelang Akhir Hayatnya
Karya: Dodong Djiwapradja
    Biodata Dodong Djiwapradja:
    • Dodong Djiwapradja lahir di Banyuresmi, Garut, Jawa Barat, pada tanggal 25 September 1928.
    • Dodong Djiwapradja meninggal dunia pada tanggal 23 Juli 2009.
    © Sepenuhnya. All rights reserved.