Puisi: Warga Terbuang (Karya Mansur Samin)

Puisi "Warga Terbuang" menggambarkan perjuangan moral, pengorbanan, dan nilai-nilai budaya dalam konteks sebuah kerajaan yang dihadapkan pada krisis.
Warga Terbuang

Sebuah petaka
menimpa istana dan rakyatnya
putri jelita yang cantik itu
dijangkiti sampar telah seminggu

Di itu pagi
ketika gadis-gadis menumbuk padi
saling bertanya dalam hati
apakah akibat penyakit ini
bagi seluruh negeri?

Di labuhan nun, di pinggir kampung
para nelayan berkerumun
masihkah dikenal putri itu
jika sampar memenuhi tubuh?

Di bawah awan retak-retak
para menteri mupakat di teratak
apa disujudkan ke depan Baginda
agar segenap rakyat
terhindar dari bencana?

Menteri tua
merenung lama:
Betapa sedih Baginda
jika harus pisah
dengan putri jelita

Menteri muda
menjawab:
Raja yang bijaksana
tetap mementingkan rakyatnya
daripada
keuntungan dirinya

Dari sudut memutus:
Tak adakah jalan lain
agar putri jelita itu
jangan hidup terkucil?

Sampar adalah setan penyakit
jika berjangkit ke tengah rakyat
apa jadinya kerajaan Luwu ini
satu-satunya kebijaksanaan
putri jelita
harus dikucilkan!

Di malam yang penuh bintang
sujud menteri di balai dalam
mohon terbuka duli Baginda
keinginan rakyat kita
putri istana harus dikucilkan
karena di tubuhnya bersarang
penyakit menular yang mengerikan

Raja Luwu terdiam pekur
mengenang putri terbuang jauh
mengenang pribumi kena bencana
apa jadinya
memilih mana
putri seorang atau nasib rakyat
untuk membanding apakah jawab?

Bersujud pula menteri muda
patik maklumi beratnya cinta
haruskah menolak kasih
membuang darah sendiri
cuma sebab penyakit
yang akan merusak rakyat
yang akan menjangkiti rakyat

Antara cinta dan bijaksana
berbenturan di hati Baginda
sambil pekur bertitah:
Inilah undang Kuasa
inilah ujian Pencipta
menguji sikap seorang raja

Raja adalah pelita bagi rakyatnya
raja adalah tongkat bagi rakyatnya
kami menteri
cuma abdi pribumi
mohon maaf dan dimaklumi
kami pun tahu kebimbangan itu
kami pun tahu kesedihan tuanku

Dari barat sinar empuk keemasan
Baginda melangkah ke peraduan
direnungi tubuh putri yang terbujur
dinanapi kaki yang busuk bernanah
lalar menghitam karena bau busuk
duka mengguncang dada:
Nasibmulah itu anakku
harus terbuang jauh
apa jadinya Ayah ditinggal nanti
bersunyi sendiri sepanjang hari?

Perlahan terbuka mata bengkak
nyalang tapi tak dapat berkata
tinggal hati berbisik
menjeritkan pedih
antara kasih Ayah yang dijunjung
dan nasib diri yang busuk
ditentukan oleh hukum kampung

Di malam yang menentukan itu
telah hadir para menteri di balairung
Baginda bertitah:
Atas nama rakyat
atas kepentingan rakyat
putusan yang kupilih
membuang anak sendiri!

Hilirmudik para menteri
malam kerja malam ini
sebuah rakit besar
disiapkan untuk berlayar
bagi putri dan inang pengasuh
menjelang subuh
akan bertolak meninggalkan Luwu

Langit subuh pucat mendung
rakit pun dibawa arus
tinggallah kerajaan Luwu
tinggallah Baginda seorang
akan pergi anak terbuang
entah ke mana mengembara jauh
membawa pilu!

Mentari pagi menyemburat
di bukit nun, rakyat berjejal
melepas putri tak dapat melihat
akan bertolak warga terbuang
karena tuntutan
harapan rakyat
keselamatan rakyat

Setelah berbulan dimainkan gelombang
rakit terdampar di pintu karang
turunlah dayang-dayang
mencari daratan
mencari tempat berlindung
untuk melanjutkan hidup

Pagi yang amat sibuk
pontang panting para inang pengasuh
mendirikan sebuah bangsal
mencari tempat berladang
untuk napkah kehidupan
warga terbuang

Di atas tanah gembur
segalanya tumbuh subur
padi menjadi
kentang dan ubi
oleh berkah kehidupan
melimpah seharian

Setelah bertahun duka berlalu
di terik siang tengah hari
di sebuah dangau
putri yang sendiri
menjaga jemuran padi

Tiba-tiba dari semak hutan
merangkak kerbau putih
mendekati padi jemuran
menanapi putri yang sendiri

Terkejut sang putri
cepat menghalau kerbau putih
telah dilempar berulang kali
tapi makin mendekati

Digerakkan oleh kecemasan
berlari kencang sang putri
sebab kegugupan
tersandung rubuh ke bumi

Maka kuasa takdir
kerbau putih
menjilati tubuh putri
hingga bersih
bersinar lagi

Hari kedua berlaku pula
kerbau putih mendekati putri
menjilat tubuh berulang kali
hingga berbinar
oleh segala sinar
jadi rupawan gemilang

Telah tercipta hukum kuasa
tubuh putri tambah jelita
menyinar ke seluruh rimba
menyuburkan mayapada
oleh kecantikan parasnya

Di pagi dingin langit bersih
lahirlah sumpah sang putri
Untuk anak cucuku nanti
jangan dibunuh
jangan diganggu
kerbau putih sibaik hati
kerbau putih yang penuh kasih!

Sampai kini di sekitar Palu
sumpah putri masih berlaku
melarang tiap pribumi
menyembelih sikerbauputih

Bukankah kasih
harus bertimbang
dengan kasih?

Sumber: Dendang Kabut Senja (1985)

Analisis Puisi:

Puisi "Warga Terbuang" karya Mansur Samin adalah sebuah kisah yang menggambarkan konflik moral dan pengorbanan di dalam kerajaan Luwu.

Latar Belakang Kerajaan: Puisi ini menggambarkan kerajaan Luwu yang sedang dihadapkan pada suatu krisis, di mana seorang putri jelita terjangkit penyakit yang menular. Hal ini menjadi sumber kegelisahan dan dilema bagi raja dan menteri-menterinya.

Konflik Moral: Dalam puisi ini, terdapat konflik moral yang kompleks antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik. Raja harus memutuskan antara mencintai putrinya dan memikirkan keselamatan rakyatnya. Ini mencerminkan konflik yang sering muncul dalam kepemimpinan, di mana pemimpin harus membuat keputusan yang sulit demi kepentingan umum.

Pengorbanan: Pengorbanan menjadi tema penting dalam puisi ini. Raja Luwu harus mengorbankan cintanya pada putrinya demi kepentingan rakyatnya. Pengorbanan ini juga terlihat dari keputusan untuk mengucilkan putri tersebut demi mencegah penyebaran penyakit yang mematikan.

Penggambaran Budaya: Puisi ini mencerminkan budaya dan tradisi yang kuat dalam kerajaan Luwu. Sumpah putri yang melarang pembunuhan kerbau putih menjadi bagian dari warisan budaya yang dihormati dan dijunjung tinggi oleh masyarakat.

Resolusi yang Bermakna: Meskipun konflik dan pengorbanan, puisi ini menawarkan resolusi yang penuh makna. Sumpah sang putri untuk melindungi kerbau putih menggambarkan kebaikan hati dan kasih sayang yang dalam. Ini menyoroti nilai-nilai moral yang kuat dalam masyarakat Luwu.

Secara keseluruhan, puisi "Warga Terbuang" adalah puisi yang menggambarkan perjuangan moral, pengorbanan, dan nilai-nilai budaya dalam konteks sebuah kerajaan yang dihadapkan pada krisis. Dengan menggunakan bahasa yang kaya dan gambaran yang mendalam, Mansur Samin berhasil menciptakan kisah yang menggugah dan memikat pembaca.

Puisi Mansur Samin
Puisi: Warga Terbuang
Karya: Mansur Samin

Biodata Mansur Samin:
  • Mansur Samin mempunyai nama lengkap Haji Mansur Samin Siregar;
  • Mansur Samin lahir di Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara pada tanggal 29 April 1930;
  • Mansur Samin meninggal dunia di Jakarta, 31 Mei 2003;
  • Mansur Samin adalah anak keenam dari dua belas bersaudara dari pasangan Haji Muhammad Samin Siregar dan Hajjah Nurhayati Nasution;
  • Mansur Samin adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.