Bisik Malam
Dengarlah manis, malam melangkahkan kakinya pelan-pelanmenusuk hati paling dalam,begitu sayu begitu rindu pandang kedamaiankutahu semua mata memandangnya, kutahu semua hati merindunya
tapi sedemikian keras duri-duri hati manusiakutahu anak-anak yang tak berdosa ibu-ibu yang cinta anaknyamendoa mendamaikan hati pada malam sunyi beginidi mata tergetar hati murni nurani manusiawi.
di seberang sana manis mendendam kita, mungkinmulut senjata telah dipasangnya,jauh di benua lain orang-orang hitam memperjuangkan haknyadipulau sana manusia-manusia mengusir penjajah ladangnyadimana-mana manusia mendendam atas sesamanya, atas bangsa danbangsa, tembok-tembok sengsara yang didirikannyaapa benarkah yang membedakan mereka dengan kitakulitnya? rambutnyakah?
setiap hari melahirkan jenderal manistapi bukan nabi,setiap hari melahirkan dewa manistapi bukan Tuhan,yang lahir saban hari bukan nabimanusia biasa sajaseperti kita
dengarlah manis, malam terus melangkahkan kakinyake lubuk hati paling murni,ke lubuk tenang mengaca bayangbesok matahari yang tua itu kan datang jugakemudian kisah kemarin berulang kembali.
serdadu-serdadu sibuk dengan senjatanyajenderal-jenderal penakluk sibuk dengan taktiknyasama saja, mereka bukan Tuhanpetani-petani membalik tanah, anak-anak naikkan layang-layangburuh-buruh di pabrik, pertambangan semua bekerjasemua untuk hidup,untuk kebahagiaan hidup yang gelitamengapa tak damai saja?
apakah manusia tak dapat hidup tanpa pembunuhan?apakah manusia tak dapat hidup tanpa penindasan?bukankah semua kita rindukan kebahagiaan dan kedamaian?
berdoalah kau manis sebelum kau tutupkan kelopak matamuarti manusia bukan pada kulitnya,arti manusia bukan pada ladangnya,tapi pada kemanusiaannya.
berdoalah manis,hanya dalam tidur dunia bisa dilupahanya dalam tidur, kelaparan, pembunuhan, kemiskinanketakutan bisa dilupakan,tidurlah badan yang lelahbesok hidup menuntut kerja.
Rawamangun, Desember 1963
Puisi: Bisik Malam
Karya: Djawastin Hasugian
Catatan:
- Djawastin Hasugian lahir di Sigalapang-Pakkat, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, pada tahun 1943.
- Djawastin Hasugian menganut agama Islam.