Puisi: Larut Malam di Pantai Ancol (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Larut Malam di Pantai Ancol" menciptakan suasana malam yang penuh dengan keheningan dan rasa kesepian di tepi pantai.
Larut Malam di Pantai Ancol


laut memang tak pernah tidur
sedangkan langit selalu basah, bukan?
angin berembus dan gerimis pun tertabur
malam ini aku benar-benar kesepian

benarkah engkau itu berjalan sendiri
bergegas dalam samar cahaya?
mataku rabun mulutku kehilangan kata
sepotong puisi mendadak tersekat di hati

laut benar-benar hibuk semalaman
dalam kelam bayang-bayangmu menyelinap
lalu mengendap ke dalam kenangan
di pasir aku sia-sia mencari jejakmu gelap

larut malam di pantai ancol bulan tiada
aku melangkah di tepi menyusuri sepi
namun engkaukah itu, tuan, bertolak tiba-tiba
dengan wajah masai menembus kabut?


2020

Analisis Puisi:
Puisi "Larut Malam di Pantai Ancol" menciptakan suasana malam yang penuh dengan keheningan dan rasa kesepian di tepi pantai.

Gambaran Malam yang Tenang: Puisi ini membuka dengan gambaran malam yang tenang di Pantai Ancol, di mana laut tidak pernah tidur dan langit selalu basah. Deskripsi ini menciptakan suasana malam yang damai dan sepi.

Kesepian dan Kerinduan: Penyair menciptakan perasaan kesepian dan kerinduan yang mendalam. Dia merasa kesepian dan mencari seseorang yang hilang atau menjauh. Ini menciptakan suasana perasaan yang kuat dalam puisi.

Ketidakjelasan Identitas: Penyair merasa kebingungan tentang identitas orang yang dicari atau dipikirkannya. Pertanyaan-pertanyaan retoris seperti "benarkah engkau itu berjalan sendiri" mencerminkan ketidakpastian dalam pikiran penyair.

Bahasa Gambar yang Kuat: Puisi ini menggunakan bahasa gambar yang kuat, seperti "mataku rabun mulutku kehilangan kata," untuk menggambarkan perasaan penyair yang kacau dan penuh dengan emosi.

Penggunaan Metafora: Penyair menggunakan metafora, seperti "laut benar-benar hibuk semalaman," untuk menggambarkan suara laut yang terus-menerus mengiringi malam. Metafora ini menciptakan kesan bahwa alam juga merasa kesepian.

Pertanyaan Tanpa Jawaban: Puisi ini mengakhiri dengan pertanyaan retoris yang tidak terjawab, menciptakan kesan bahwa penyair tetap dalam kebingungan dan rasa kerinduan yang tidak terpecahkan.

Secara keseluruhan, puisi "Larut Malam di Pantai Ancol" menciptakan suasana malam yang tenang, sepi, dan penuh dengan perasaan kesepian. Penyair mencoba mencari makna dalam malam yang gelap dan mencari seseorang yang hilang atau menjauh, tetapi pertanyaan-pertanyaan ini tetap tak terjawab, menciptakan kesan ketidakpastian dan kerinduan yang mendalam.

Foto Gunoto Saparie
Puisi: Larut Malam di Pantai Ancol
Karya: Gunoto Saparie


BIODATA GUNOTO SAPARIE

Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.


Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).  Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019).

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi dan cerita pendeknya termuat dalam antologi bersama para penyair lain. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta).

Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.

Bersama keluarga tinggal di Jalan Taman Karonsih 654, Ngaliyan, Semarang 50181. Bisa dihubungi melalui email gunotosaparie@ymail.com
© Sepenuhnya. All rights reserved.