Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Air Terjun Bantimurung (Karya Juniarso Ridwan)

Puisi “Air Terjun Bantimurung” bercerita tentang perjalanan manusia dalam mencari sumber kehidupan. Bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga ...
Air Terjun Bantimurung

mengikuti jejak purba
mencari sumber kehidupan:
menimbang rasa dan harapan

di bawah naungan pohon
di dalam ceruk gua gelap
menerawang masa depan: putih

air mengalir mengubah nasib
seperti darah dalam nadi:
memandu hidup

gerak satwa dalam hutan
senantiasa mengukur
peradaban manusia

1990

Analisis Puisi:

Air terjun bukan hanya sekadar gejala alam yang memukau mata, tetapi juga sumber renungan dan kontemplasi yang dalam. Dalam puisi "Air Terjun Bantimurung", Juniarso Ridwan menghadirkan lebih dari sekadar lanskap alam Sulawesi Selatan yang terkenal itu. Ia menyulap tempat wisata menjadi ruang spiritual dan filosofis, tempat di mana manusia mencoba memahami takdir, mencari harapan, dan menafsirkan makna kehidupan.

Puisi ini singkat, namun kaya akan simbol, dan memberikan ruang luas bagi pembaca untuk merenung. Mari kita telaah puisi ini dengan lebih saksama.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan manusia dalam mencari sumber kehidupan. Bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga spiritual dan reflektif. Kalimat awal “mengikuti jejak purba / mencari sumber kehidupan” mengisyaratkan suatu gerak menuju asal-usul, ke akar eksistensi. Air terjun, dalam konteks ini, bukan hanya benda mati, melainkan simbol dari keberlanjutan hidup, dari energi alam yang terus memberi.

Penyair menempatkan subjek lirik (yang bisa kita bayangkan sebagai manusia pencari) di tengah bentang alam yang purba: pohon, gua gelap, hutan. Semua elemen ini berfungsi bukan hanya sebagai latar, tetapi sebagai penjaga ingatan dan penguji harapan.

Tema: Eksistensi, Alam, dan Kesadaran Diri

Tema utama puisi ini adalah eksistensi manusia dalam hubungannya dengan alam dan waktu. Ada pencarian terhadap makna hidup, terhadap “sumber kehidupan”, yang tak lepas dari ketertundukan manusia di hadapan alam yang lebih tua dan lebih bijak.

Puisi ini juga menggambarkan relasi ekologis: bahwa manusia adalah bagian dari sistem alam, dan bahwa satwa, air, pepohonan, bahkan gua—semuanya adalah cermin dari kehidupan manusia sendiri. Alam tidak hanya menjadi tempat tinggal, tapi juga menjadi penuntun nilai-nilai dan arah moral.

Makna Tersirat: Alam Sebagai Penuntun Nasib dan Peradaban

Di balik kata-kata sederhana dan baris yang pendek, puisi ini menyimpan makna tersirat yang sangat kuat. Penyair ingin menyampaikan bahwa alam tidak hanya menyediakan kehidupan secara biologis, tetapi juga secara spiritual. “Air mengalir mengubah nasib / seperti darah dalam nadi” merupakan baris yang menunjukkan bagaimana alam menjadi bagian dari ritme manusia—memandu arah hidup, menentukan jalan, bahkan mengubah takdir.

Puisi ini secara halus juga mengkritik peradaban manusia yang sering menganggap dirinya pusat segalanya. Baris terakhir—“gerak satwa dalam hutan / senantiasa mengukur / peradaban manusia”—menegaskan posisi manusia bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai refleksi dari alam itu sendiri. Satwa menjadi pengamat. Hutan menjadi pengukur. Manusia bukan di atas, melainkan di antara.

Suasana dalam Puisi: Hening, Kontemplatif, dan Penuh Kewaspadaan

Suasana dalam puisi ini tenang dan hening, namun bukan ketenangan kosong. Ia seperti keheningan di dalam hutan: penuh detak yang nyaris tak terdengar, tapi membawa pesan mendalam. Suasana ini sangat cocok dengan kontemplasi tentang hidup, nasib, dan hubungan manusia dengan lingkungan.

Kita bisa membayangkan seseorang berdiri di bawah air terjun, dalam pelipir gua, dikelilingi oleh bayang-bayang dedaunan dan hewan-hewan liar. Ia tak sedang berwisata, melainkan sedang menimbang kehidupan.

Imaji: Alam, Tubuh, dan Gerak

Puisi ini kuat dalam imaji, meski disampaikan dengan bahasa yang minimalis:
  • “mengikuti jejak purba”: menggambarkan gerakan menelusuri masa lalu atau asal-usul.
  • “di bawah naungan pohon / di dalam ceruk gua gelap”: membawa pembaca pada suasana hutan yang lebat dan penuh misteri.
  • “air mengalir mengubah nasib / seperti darah dalam nadi”: imaji yang menyatukan alam dan tubuh manusia.
  • “gerak satwa dalam hutan”: memperlihatkan alam yang hidup dan dinamis.
Semua imaji ini berpadu menjadi lukisan sunyi tentang pencarian eksistensial manusia di tengah hutan kehidupan.

Majas: Metafora, Simile, dan Personifikasi

Puisi ini memanfaatkan beberapa majas yang kuat dan mendalam:
  • Metafora: “mengikuti jejak purba” sebagai metafora untuk pencarian spiritual atau perjalanan menuju makna sejati.
  • Simile (Perbandingan): “seperti darah dalam nadi” adalah simile yang sangat indah, menunjukkan bahwa air (alam) dan darah (manusia) memiliki fungsi yang serupa—mengalirkan kehidupan.
  • Personifikasi: “air mengalir mengubah nasib” memberi air kekuatan untuk memengaruhi takdir, seolah-olah ia memiliki kesadaran dan kehendak.

Amanat / Pesan yang Disampaikan: Temukan Arah Hidup Lewat Alam

Ada pesan spiritual sekaligus ekologis yang kuat dalam puisi ini. Amanat yang dapat ditarik adalah bahwa manusia perlu kembali menyadari peran alam sebagai penuntun kehidupan, bukan sekadar objek eksploitasi. Alam—dalam bentuk air, satwa, gua, dan pepohonan—bisa menjadi cermin untuk memahami nasib dan masa depan kita.

Di tengah dunia yang semakin bising oleh teknologi dan kegilaan kota, puisi ini seolah mengajak kita untuk berhenti sejenak, memejamkan mata, dan mendengarkan bisik air terjun yang telah ada sejak purba. Di sana, mungkin, kita menemukan diri kita yang paling jujur.

Bantimurung Sebagai Titik Renung

Puisi “Air Terjun Bantimurung” bukan sekadar catatan tentang keindahan alam, melainkan sebuah meditasi puitik tentang keberadaan, harapan, dan masa depan. Dengan gaya bahasa yang tenang tapi penuh makna, Juniarso Ridwan mengajak kita untuk menengok ke dalam diri sendiri melalui jendela alam yang telah ada jauh sebelum manusia hadir.

Ia menyadarkan kita bahwa air terjun bukan hanya tempat wisata, tapi juga tempat bertanya: tentang hidup, nasib, dan siapa kita sebenarnya dalam arus besar waktu.

Puisi: Air Terjun Bantimurung
Puisi: Air Terjun Bantimurung
Karya: Juniarso Ridwan


Catatan:
  • Juniarso Ridwan lahir di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 10 Juni 1955.
© Sepenuhnya. All rights reserved.