Puisi: Rakaat Sembahyang Tengah Malam (Karya Karno Kartadibrata)

Puisi "Rakaat Sembahyang Tengah Malam" memperlihatkan betapa sulitnya menemukan harapan atau cahaya di tengah keadaan yang suram dan ...
Rakaat Sembahyang Tengah Malam


Rakaat sembahyang tengah malam
kubawa dalam pelukan
Ah, apa yang dapat dicapai dengan tangan
ketika berlari-larian
apa yang dapat dikejar
apa yang dapat sekarang?

Dari tengah kota telah ubanan
tahang-tahang air di pinggir jalan
seorang tua datang
– dengan wajah putus asa –
bawa linggis menggali lubang
“Kami besok semua binasa
rumah sakit itu
ranjang dan ranjang”

Dan daun gugur
dibawa angin
dari pulau ke pulau
“Masih adakah harapanmu pada benih
terkubur jauh di bawah palung
bayi memejam di kegelapan kandang
cahaya jatuh dari daun
ke daun bakung?
Tahu kau, besok kota akan binasa
datang angin dan banjir?”

Sudah dibawa burung
kematian ada di lidah
darah di tahang-tahang.

Rakaat sembahyang tengah malam
gemetar dalam pelukan.


Bandung, 1970

Sumber: Picnic (2009)

Analisis Puisi:
Puisi "Rakaat Sembahyang Tengah Malam" karya Karno Kartadibrata adalah karya yang sarat dengan nuansa reflektif dan pesimistis terhadap kondisi sosial dan kehidupan manusia. Puisi ini menggambarkan perasaan keputusasaan, pesimisme, serta kegelisahan atas kondisi kota dan masa depannya.

Simbolisme Sembahyang dan Keputusasaan: Judul puisi, yang menyebutkan "Rakaat sembahyang tengah malam," membawa konotasi tentang upaya spiritual di tengah kegelapan malam. Namun, penutupan puisi dengan "Rakaat sembahyang tengah malam gemetar dalam pelukan" menunjukkan keputusasaan dan kegelisahan yang terdalam.

Gambaran Kota yang Memudar: Puisi menggambarkan kondisi kota yang memudar, dengan gambaran ubanan di tengah kota, air di pinggir jalan, dan keputusasaan seorang tua yang merasa bahwa kebinasaan akan segera tiba. Semua ini menandakan kehancuran dan keputusasaan di tengah kota.

Pesimisme akan Masa Depan: Ada pesan pesimistis mengenai masa depan dalam puisi ini. Penyair menyinggung tentang kebinasaan yang akan terjadi di kota dan menggambarkan betapa sulitnya menemukan harapan akan masa depan, baik untuk anak-anak (benih terkubur di bawah palung) maupun bagi kota itu sendiri.

Kematian dan Kehidupan yang Terkubur: Puisi menyinggung tema kematian melalui gambaran "kematian ada di lidah" dan menggambarkan kehidupan yang terkubur di bawah lapisan kesulitan, keputusasaan, dan ancaman kehancuran yang menimpa kota dan masyarakatnya.

Resonansi Emosional yang Kuat: Puisi ini membawa resonansi emosional yang kuat, menyampaikan kegelisahan, keputusasaan, dan pesimisme yang dirasakan terhadap kondisi kota dan kehidupan manusia.

Puisi "Rakaat Sembahyang Tengah Malam" karya Karno Kartadibrata adalah sebuah ungkapan pesimisme, keputusasaan, dan kegelisahan yang dalam terhadap kondisi kota dan masa depannya. Melalui simbolisme dan gambaran yang kuat, puisi ini memperlihatkan betapa sulitnya menemukan harapan atau cahaya di tengah keadaan yang suram dan keputusasaan yang melilit.

Karno Kartadibrata
Puisi: Rakaat Sembahyang Tengah Malam
Karya: Karno Kartadibrata

Biodata Karno Kartadibrata:
  • Karno Kartadibrata lahir pada tanggal 10 Februari 1945 di Garut, Jawa Barat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.