Puisi: Senja di Kadipaten (Karya Juniarso Ridwan)

Puisi "Senja di Kadipaten" karya Juniarso Ridwan menggambarkan suasana senja yang penuh dengan ketidakpastian, kehampaan, dan kegelapan dalam ....
Senja di Kadipaten


matahari tergolek di selangkangan bumi, asap memilin
udara di sepanjang jalan, api menjalar berbaris ke setiap
halaman rumah, ratusan mulut menganga di tengah
lapangan. Rumah-rumah menyembunyikan kebingungan,
mau beranjak ke mana? Gumpalan hati sudah menyebar
mengangkangi sudut-sudut kampung, embusan napasnya
menciptakan atmosfer golok baja yang terbius darah.
 
tak ada yang berani menatap waktu, jantung yang bergantung
dalam dada tak luput dicengkeram elmaut. Bayangan hitam
menutup tudung langit, sedangkan bintang hutan telah kehilangan
sarang. Hanya batu yang setia menunggu sisa lembaran tanah,
kekhawatiran dan kepedihan satu-satu menetes memenuhi kantung
usus yang hampa.
 
jiwa pun terbang meninggalkan badan, mencari sudut [mushola]
yang terasing, atau serpihan sajadah yang sudah gosong, hanya
angin senja yang terus mencakar wajah, menyempurnakan
riwayat yang terkalahkan.


Cirebon, 2000

Analisis Puisi:
Puisi "Senja di Kadipaten" karya Juniarso Ridwan adalah karya yang menggambarkan suasana senja yang penuh dengan ketidakpastian, kehampaan, dan kegelapan dalam sebuah lingkungan kampung. Puisi ini menciptakan suasana yang melankolis dan menceritakan tentang perubahan yang melanda lingkungan dan perasaan para penghuninya.

Lukisan Visual: Puisi ini memulai dengan gambaran matahari yang "tergolek di selangkangan bumi," menggambarkan proses senja dengan metafora yang kuat. Kata-kata seperti "asap memilin," "api menjalar berbaris," dan "ratusan mulut menganga" menciptakan gambaran visual yang dramatis dari keadaan lingkungan di senja hari.

Kehampaan dan Kekacauan: Puisi ini menggambarkan keadaan yang kacau dan kebingungan yang melanda kampung tersebut. Rumah-rumah yang menyembunyikan kebingungan mencerminkan perasaan kacau dan tak menentu. Pertanyaan "mau beranjak ke mana?" menggambarkan kebuntuan dan ketidakpastian dalam situasi tersebut.

Atmosfer Gelap: Puisi ini menciptakan atmosfer yang gelap dan mencekam. Bayangan hitam yang menutup langit dan hilangnya bintang-bintang menggambarkan suasana malam yang gelap dan suram. Gambaran tentang "atmosfer golok baja yang terbius darah" menciptakan suasana yang menegangkan dan mencekam.

Kematian dan Ketidakberdayaan: Puisi ini menyiratkan kematian dan ketidakberdayaan melalui penggunaan kata-kata seperti "elmaut," "bayangan hitam," dan "bintang hutan telah kehilangan sarang." Hal ini menciptakan nuansa kehilangan, kekosongan, dan akhir.

Melarikan Diri dari Kehampaan: Puisi ini menggambarkan upaya jiwa untuk melarikan diri dari kehampaan dan kegelapan dengan mencari "sudut [mushola] yang terasing" atau "serpihan sajadah yang sudah gosong." Hal ini mencerminkan keinginan untuk mencari tempat perlindungan atau makna dalam suasana yang suram.

Puisi "Senja di Kadipaten" karya Juniarso Ridwan adalah sebuah pernyataan tentang perubahan, ketidakpastian, dan kegelapan dalam suasana senja di lingkungan kampung. Dengan penggunaan gambaran visual dan metafora yang kuat, puisi ini menciptakan suasana yang melankolis dan menceritakan tentang perasaan kebingungan, kehampaan, dan perubahan yang dialami oleh penghuni kampung tersebut.

Puisi: Senja di Kadipaten
Puisi: Senja di Kadipaten
Karya: Juniarso Ridwan

Catatan:
  • Juniarso Ridwan lahir di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 10 Juni 1955.
© Sepenuhnya. All rights reserved.