Puisi: Sosok Semalam dalam Salju (Karya Mochtar Pabottingi)

Puisi "Sosok Semalam dalam Salju" karya Mochtar Pabottingi mengeksplorasi tema nostalgia, kehadiran, dan ketidakhadiran melalui gambaran salju yang ..
Sosok Semalam dalam Salju

A

Bagai kudengar serumu dari luar jendela ketika semua suara
sirna dan lanskap putih beku
Bagai kulihat sosokmu melintas di jajaran timbunan salju
menjelang petang, meniti kembang-kembang kristal
di pucuk-pucuk cemara
Bagai ada bisikmu sampai: “Aku adalah bagian dari hidupmu
ribuan tahun silam. Ketika sekujur wujudmu masih bersit
cahaya dan kalbumu belum dirasuk dahaga raga
yang menggayuti seluruh pikiranmu.”

B

Engkaukah yang memanggil-manggil dari arah telaga sembari
melayangkan senyum yang jauh menembus jasadku
Engkaukah yang memegang kanvas dan bersila di udara
sembari menatap deretan cemara
Engkaukah yang mendesirkan dingin angin purbawi
dan menghubungkan duniaku dengan duniamu
Lalu yang tertinggal hanyalah kesenyapan
Dan aku ganti berseru:
“Wahai! Sambungkan aku lagi ke ribuan tahun silam itu agar kita
bisa kembali berselancar di puncak-puncak gunung salju. Dan
dari tebing-tebing curamnya melesat turun pada ketinggian
ratusan kaki.”

C

Hari sudah pagi kala aku terbangun. Di luar suhu minus dua
puluh lima derajat. Alangkah pasi sinar mentari berusaha
menembus lanskap salju. Dengan mata tetap terpejam,
kubiarkan diriku terus terbaring pada sisi kasur pegas yang
dihangatkan oleh panas tubuhku. Teringat sosokmu,
kupastikan ia sebagai semata mimpi
Tapi segera aku bergegas ke jendela kaca. Seperti ada rabun
entah di mana. Kupandangi keluasan hamparan salju pagi
hari, mencari sosokmu kembali pada rimbun kembang
kristal putih-putih di pucuk-pucuk deretan cemara
Dan engkau tiada
Lalu aku pun tersadar. Aku tak bermimpi. Di kaca jendela mengkristal
berkilap-kilap sederet pohon cemara. Tiap batangnya bermahkota
garis-garis tegak segitiga piramida yang bertingkat-tingkat. Belum pernah
kusaksikan deretan cemara tertatah begitu indah di kaca jendela
Dan bisik lirih itu terlepas begitu saja dari bibirku:
“Datanglah lagi ke dalam mimpiku.”
Eagle Heights

Madison, WI, Desember 2001

Sumber: Konsierto di Kyoto (2015)

Analisis Puisi:

Puisi "Sosok Semalam dalam Salju" karya Mochtar Pabottingi mengeksplorasi tema nostalgia, kehadiran, dan ketidakhadiran melalui gambaran salju yang mengingatkan akan sosok yang telah berlalu.

Keberadaan Sosok Semalam: Puisi ini menciptakan suasana nostalgia dan kerinduan akan sosok yang telah berlalu. Sosok tersebut muncul melalui imaji salju, dan dalam bayangan tokoh utama, sosok tersebut adalah bagian dari kenangan yang jauh.

Imaji Salju dan Lanskap: Salju dalam puisi ini bukan hanya sebagai fenomena alam, tetapi juga sebagai metafora dari kesunyian dan kesepian. Lanskap salju menciptakan gambaran yang megah namun sepi, mencerminkan perasaan hampa dan kekosongan yang dirasakan oleh tokoh.

Keinginan untuk Kembali: Tokoh dalam puisi ini merindukan keberadaan sosok yang telah berlalu. Dia berharap bisa kembali bersama sosok tersebut ke masa lalu yang indah, di mana mereka bisa bersama-sama menikmati keindahan puncak-puncak gunung salju.

Kehilangan dan Kebangkitan: Meskipun sosok yang dicari tidak hadir dalam kenyataan, tokoh terus merindukannya dan bahkan berharap untuk bertemu dengannya dalam mimpi. Kesadaran akan kehilangan yang diungkapkan dalam puisi menciptakan lapisan emosional yang dalam.

Mimpi dan Realitas: Puisi ini membingkai perbedaan antara mimpi dan realitas, di mana sosok yang dicari hanya ada dalam dunia mimpi tokoh. Realitas kekosongan dan ketidakberadaan sosok tersebut menambahkan lapisan tragis pada keseluruhan narasi.

Dengan menggunakan gambaran salju sebagai simbol, Mochtar Pabottingi berhasil menghadirkan suasana nostalgia, kehilangan, dan kerinduan yang kuat dalam puisi ini. Penggunaan imaji dan metafora yang kaya menciptakan pengalaman membaca yang mendalam dan memukau bagi pembaca.

Mochtar Pabottingi
Puisi: Sosok Semalam dalam Salju
Karya: Mochtar Pabottingi

Biodata Mochtar Pabottingi:
  • Mochtar Pabottingi lahir pada tanggal 17 Juli 1945 di Bulukumba, Sulawesi Selatan.
© Sepenuhnya. All rights reserved.