Puisi: Sepasang Sepatu Tambang (Karya Wahyu Prasetya)

Puisi "Sepasang Sepatu Tambang" karya Wahyu Prasetya menggambarkan pengalaman para pekerja tambang dan kehidupan mereka.
Sepasang Sepatu Tambang


Lelaki lelaki biasa itu meninggalkan pintu rumah sebagai kepompong
Kini, ke sudut masa kini, mereka menjelma kupu-kupu baja,
Merenangi hamparan tebing berlapis tebing matahari
Lengan lengan tangan kedua kaki jelmalah dump truk dan
Eskavator membuncah gerak ke batu-batu
Dan api terus menumpahkan panas dari setiap bahu
Batubara lava beku mematangkan puluhan ton jelaga
Sangit nafasmu bertukar hingga kelenjar paru-paru atau jantung

Sinar siang hari masih berapi, menciptakan gumpalan debu
Penglihatan cepat kabur untuk menemukan namamu namaku
Tabir debu hidup
Tirai keemasan yang membentangkan cakrawala kebiruan
Tabir debu pada mati
Melepas derum mesin untuk membawamu pergi,
Berputar tulang besi ke tulang-tulang terjal jurang di sini
Ketika ada yang selalu tiba, selain gemuruh tubuh bergelombang
Ditempa bebatuan, senyap yang berbenturan

Kita bertemu lagi, aku dan kau relung besi atau api
Api yang menjulang dari jiwa setengah matang
Ribuan hektar bayang-bayang bertebing tebing tak sampai
Tegak di kedua sepatu tambang kita kelak akan datang
Ke pintu-pintu rumah yang jauh sekali
Tabir debu hidup
Tabir debu pada setiap hati
Setangkai bunga tumbuh di dataran besi


Gunung Timang, 2012

Analisis Puisi:
Puisi "Sepasang Sepatu Tambang" karya Wahyu Prasetya adalah karya yang menggambarkan pengalaman para pekerja tambang dan kehidupan mereka.

Metafora Sepatu Tambang: Sepatu tambang dalam puisi ini merupakan simbol dari pekerja tambang dan pengalaman mereka. Sepatu tambang digambarkan sebagai "sepasang sepatu" yang digunakan oleh "lelaki biasa" yang berubah menjadi "kupu-kupu baja." Metafora ini menggambarkan perubahan dan transformasi yang dialami pekerja tambang selama bekerja di tambang, di mana mereka beradaptasi dengan lingkungan yang keras dan menuntut.

Rasa Sengsara dan Ketahanan: Puisi ini menciptakan gambaran tentang ketahanan fisik dan mental para pekerja tambang. Mereka dihadapkan pada "tebing matahari" dan "hamparan tebing berlapis tebing," yang menggambarkan tantangan fisik yang harus mereka hadapi. Mereka juga harus menghadapi panas, debu, dan beban kerja yang sangat berat. Meskipun begitu, mereka bertahan ("ketahanan berjalan dalam sepatu tambang mereka") dan terus bekerja keras.

Simbolisme Api: Api digunakan sebagai simbol dalam puisi ini. Ini dapat melambangkan semangat dan kegigihan para pekerja tambang yang terus berjuang di tengah tebing berbatu dan lingkungan yang keras. Api juga menciptakan kontras dengan gambaran debu, menggambarkan perasaan panas dan semangat yang terus menyala di dalam diri para pekerja.

Tabir Debu Hidup: "Tabir debu hidup" adalah gambaran tentang debu yang ada di sekitar pekerja tambang. Debu menggambarkan pekerjaan yang kotor dan berat, dan "tabir" ini bisa menggambarkan bagaimana debu melindungi identitas mereka atau mungkin bahkan menyembunyikannya, karena ketika bekerja di tambang, mereka mungkin tidak mudah dikenali oleh orang lain.

Tabir Debu Pada Mati: Pada bagian ini, puisi menggambarkan pengorbanan dan risiko yang dihadapi oleh para pekerja tambang. Mereka adalah orang-orang yang bekerja di bawah kondisi berat dan berisiko tinggi, dan puisi ini menciptakan gambaran tentang "tabir debu" yang mungkin terakhir kali mereka alami jika terjadi bencana di tambang.

Ketemu Kembali: Puisi ini diakhiri dengan harapan untuk bertemu kembali, menggambarkan ketekunan para pekerja tambang yang selalu kembali ke tambang mereka. Hal ini mencerminkan siklus pekerjaan mereka dan keberanian mereka dalam menghadapinya.

Dengan menggunakan metafora, simbolisme, dan gambaran visual yang kuat, puisi ini menggambarkan pengalaman unik para pekerja tambang dan tantangan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Wahyu Prasetya
Puisi: Sepasang Sepatu Tambang
Karya: Wahyu Prasetya

Biodata Wahyu Prasetya:
  • Eko Susetyo Wahyu Ispurwanto (akrab dipanggil Pungky) lahir pada tanggal 5 Februari 1957 di Malang, Jawa Timur.
  • Wahyu Prasetya meninggal dunia pada hari Rabu tanggal 14 Februari 2018 (pada umur 61).
© Sepenuhnya. All rights reserved.