Puisi: Sungai Batu (Karya Nenden Lilis Aisyah)

Puisi "Sungai Batu" menggambarkan konflik antara manusia dan alam, di mana eksploitasi dan ketidakpedulian terhadap keberlanjutan menciptakan ...
Sungai Batu

aku tak memiliki apa-apa dalam tubuhku
tapi para petani menugalnya seakan tubuhku tanah
kami akan menanam benih, seru mereka

kau pun datang, begitu saja melinggis dadaku
aku haus tedas darah, desahmu

aku katakan padamu
di dadaku tinggal sungai kering berbatu
tak ada lagi yang mengalir

batu? batu pun tak apa-apa
tiba-tiba kau dan petani-petani itu berebut
"yang kita butuhkan sekarang memang batu!"

dan batu, satu-satunya milikku yang tersisa
mereka ambil

2000

Sumber: Maskumambang buat Ibu (2016)

Analisis Puisi:
Puisi "Sungai Batu" karya Nenden Lilis Aisyah adalah karya yang menghadirkan gambaran kuat tentang konflik dan perebutan sumber daya alam, dengan sungai batu sebagai metafora dari kehidupan dan keberlanjutan. Melalui penggunaan bahasa yang kaya dan simbolisme yang mendalam, puisi ini mengundang pembaca untuk merenung tentang eksploitasi alam dan dampaknya terhadap individu dan lingkungan.

Metafora Sungai Batu sebagai Tubuh dan Kehidupan: Puisi ini dimulai dengan pengakuan bahwa penutur puisi tidak memiliki apa-apa dalam tubuhnya. Namun, petani melihatnya seolah-olah tubuhnya adalah tanah yang bisa digarap. Metafora ini menggambarkan bagaimana manusia sering kali dianggap sebagai sumber daya atau lahan yang bisa dimanfaatkan tanpa mempertimbangkan hak-hak asasinya.

Desakan Petani untuk Menanam Benih: Penggambaran para petani yang ingin menanam benih di tubuh penutur puisi menciptakan citra kemaharajaan manusia atas alam. Para petani dengan seruan mereka menciptakan kontras antara pandangan manusia terhadap alam sebagai sumber daya eksploitatif dan keinginan alam untuk dihargai dan dilestarikan.

Rasa Haus Tedas Darah dan Desah dalam Kehidupan: Pengakuan bahwa penutur puisi haus tedas darah dan desahanmu menggambarkan kehausan akan kehidupan dan keaslian. Desahan alam yang seolah-olah ditangkap oleh penutur puisi memberikan sentuhan emosional dan menggambarkan hubungan yang lebih dalam antara manusia dan lingkungan.

Sungai Kering Berbatu sebagai Metafora Kekecewaan dan Kemarau Emosional: Pernyataan bahwa di dadaku tinggal sungai kering berbatu mengekspresikan kekosongan, kekecewaan, dan kemarau emosional. Sungai yang seharusnya penuh dengan kehidupan dan aliran menjadi kering dan berbatu, mencerminkan dampak eksploitasi dan kurangnya perhatian terhadap keberlanjutan.

Perebutan dan Eksploitasi Terhadap Batu: Pada akhir puisi, batu yang merupakan satu-satunya milik penutur puisi diambil oleh petani. Ini menciptakan gambaran dramatis dari persaingan dan eksploitasi sumber daya alam, di mana manusia dengan serakahnya berebut dan mengambil yang seharusnya adalah hak individu.

Puisi "Sungai Batu" menggambarkan konflik antara manusia dan alam, di mana eksploitasi dan ketidakpedulian terhadap keberlanjutan menciptakan dampak negatif pada kehidupan dan keberlanjutan lingkungan. Puisi ini memberikan suara kepada alam yang diabaikan dan dieksploitasi, membangkitkan kesadaran tentang pentingnya merawat dan menghormati kehidupan, serta mengecam tindakan manusia yang serakah. Melalui bahasa yang kuat dan simbolisme yang mendalam, Nenden Lilis Aisyah membangun narasi yang meresahkan tentang perjuangan manusia dengan alam dan satu sama lain.

Puisi: Sungai Batu
Puisi: Sungai Batu
Karya: Nenden Lilis Aisyah

Biodata Nenden Lilis Aisyah:
  • Nenden Lilis Aisyah lahir di Malangbong, Garut, Jawa Barat, pada tanggal 26 September 1971.
© Sepenuhnya. All rights reserved.