Puisi: Surat Carok (Karya Wahyu Prasetya)

Puisi "Surat Carok" mengeksplorasi konflik dan kekerasan dalam konteks budaya dan kemanusiaan, mengajak pembaca untuk merenung tentang dampak ....
Surat Carok


99 malam kuasah celurit melebihi sorot mata kekasih
di tengah peradaban yang dijejalkan sebagai simbol lenturnya lidah
kita telah berjanji akan berjumpa di tengah purnama. bias sinar
akan melengking menahan luka. luka. luka; orang dalam dirinya

99 bacokan terhadap nasib konyol dan lambaian maut
dan seorang lelaki santun bertanya, kenapa di jaman serba
benda-benda yang menimbuni kemanusiaan masing-masing
kita segera selesai.

kematian kehidupan seperti sayatan syair dangdut ataupun
teriakan tenggorokan musik cadas.
“mengapa kita mudah mengasah celurit, belati dan membunuh?”
99 kegelapan menemukan sinar ketika dua bayangan itu roboh.
siapa yang menganggap selingkuh dan khianat tak melahirkan darah.
seperti gadis-gadis remaja yang menjadi pelanggan aborsi.
kita mati?

airmata terkaca di kedua celurit yang terlepas dari genggaman,
lalu sepi benar. tapi tajamnya akan kekal menjelma perih bagi
yang dilukai oleh tindakan sekitar.
begitu yakinnya mereka si bodoh yang saling membunuh;
akan menggelepar dan meratap pada kekuasaan dan apalagi ya.


Sampang, 1997

Sumber: Gerbong (1998)

Analisis Puisi:
Puisi "Surat Carok" karya Wahyu Prasetya menggambarkan ketegangan, kekerasan, dan pertanyaan filosofis tentang kemanusiaan dalam konteks tradisi carok, yang merupakan suatu bentuk pertarungan atau konflik dengan senjata tajam di masyarakat Jawa.

Simbolisme Celurit: Celurit menjadi simbol kekerasan dan konflik dalam puisi ini. Penggunaan celurit sebagai senjata menghadirkan gambaran kekejaman dan pertumpahan darah dalam tradisi carok, yang sering kali menjadi bagian dari konflik interpersonal.

Pertanyaan Filosofis: Puisi ini memasukkan pertanyaan filosofis, seperti "mengapa kita mudah mengasah celurit, belati dan membunuh?" Pertanyaan ini merangkum ketidakmengertian terhadap kekerasan dan kematian dalam masyarakat modern yang seharusnya lebih maju.

Kontras Purnama dan Kegelapan: Purnama, yang seharusnya menjadi simbol kecerahan dan kedamaian, dihadapkan dengan kegelapan melalui "99 kegelapan." Ini menciptakan kontras yang kuat antara harapan dan kenyataan, menggambarkan konflik yang tak terelakkan.

Penyebutan Musik Dangdut dan Musik Cadas: Puisi ini mencantumkan "sayatan syair dangdut ataupun teriakan tenggorokan musik cadas." Merujuk pada dua genre musik yang berbeda ini menambahkan dimensi sosial dan kultural ke dalam narasi puisi, menyoroti keberagaman budaya di tengah konflik.

Gadis Remaja dan Aborsi: Penyair mengaitkan konflik fisik dengan dampak sosial dan psikologis. Penyebutan gadis-gadis remaja yang menjadi pelanggan aborsi memberikan lapisan tambahan tentang dampak negatif kekerasan terhadap masyarakat.

Kematian dan Kesepian: Penyair juga menciptakan gambaran kesepian setelah konflik selesai. Kematian membawa perpisahan dan sepi yang menyisakan pertanyaan akan arti dari pertarungan yang terjadi.

Bahasa yang Kuat dan Gambaran Realistis: Puisi ini menggunakan bahasa yang kuat dan gambaran yang realistis untuk mengekspresikan kekejaman dan ketidakpastian dalam tradisi carok. Kata-kata seperti "bacokan," "luka," dan "airmata terkaca" memberikan kesan kekerasan yang langsung dirasakan.

Ironi Kemanusiaan: Secara keseluruhan, puisi ini mengeksplorasi ironi kemanusiaan, di mana manusia yang seharusnya penuh rasa dan kebijaksanaan malah terjebak dalam kekerasan dan pertumpahan darah.

Puisi "Surat Carok" mengeksplorasi konflik dan kekerasan dalam konteks budaya dan kemanusiaan, mengajak pembaca untuk merenung tentang dampak negatif dan ironi yang mungkin muncul dari tindakan kekerasan dalam masyarakat.

Wahyu Prasetya
Puisi: Surat Carok
Karya: Wahyu Prasetya

Biodata Wahyu Prasetya:
  • Eko Susetyo Wahyu Ispurwanto (akrab dipanggil Pungky) lahir pada tanggal 5 Februari 1957 di Malang, Jawa Timur.
  • Wahyu Prasetya meninggal dunia pada hari Rabu tanggal 14 Februari 2018 (pada umur 61).
© Sepenuhnya. All rights reserved.