Puisi: Urbanisasi dari Meja Makan (Karya Wahyu Prasetya)

Puisi "Urbanisasi dari Meja Makan" merupakan ekspresi dari perasaan kebingungan, konflik identitas, dan kesulitan dalam menjaga nilai-nilai dan ...
Urbanisasi dari Meja Makan
bagi: goenawan muhamad


anak-anakku menggelar peta dunia di wajahku
mencari syair samudra dan reruntuhan perang
juga menebak dongeng sebuah porselin yang fana,
ketika mereka jumpai alamat rumahnya sendiri,
dengan mengepal pisau lipat di sela tawanya
entah, aku harus berkata apa,
musik mozart, chopin atau keroncong kini jadi irama aneh

mereka mencari dalam diriku, siapa yang menelan impiannya
karena di sekolah, mereka belajar menghafal dan mengeja puisi
ketika rumah menjadi tumpah ke arah yang tak menentu
aku menahannya dengan lengan, jari-jari dan lutut,
tapi jaman membentak dari spiker yang mereka keraskan
agar melahirkan gempuran dan mencopot telinga bersama

aku kini sudah terbiasa. bersembunyi di buku, koran atau
bisikan tengah malam. setiap gelap menghampiriku
dengan mereka, kulihat juga asyik menjalin bayang-bayang
tentang gaya hidup amerika atau manapun
begitu aku memulai menulis sebaris kalimat
tentang makan pagi, malam, siang juga dalam tidur
sesaat ingin kutaruh batu di meja ini, di kepala mereka,
juga di dada dan tenggorokannya
dan memecah porselin yang menyimpan dongengan dunia modern.


1995

Sumber: Sesudah Gelas Pecah (1996)

Analisis Puisi:
Simbolisme Peta Dunia di Wajah: Puisi dimulai dengan gambaran anak-anak yang "menggelar peta dunia di wajah" sang penutur puisi. Ini dapat diinterpretasikan sebagai upaya anak-anak dalam memahami dunia yang berkembang, menemukan kebenaran, dan mencari identitas di tengah urbanisasi yang mewakili kebingungan dan kompleksitas dunia modern.

Pemaknaan Tumpah Menuju Arah yang Tak Menentu: "Ketika rumah menjadi tumpah ke arah yang tak menentu" mencerminkan kemerosotan dan kebingungan di tengah urbanisasi. Hal ini menyiratkan kesulitan dalam menjaga kestabilan dan tradisi di tengah perubahan yang cepat.

Konflik Identitas dan Perubahan: Penggunaan simbol-simbol musik seperti Mozart, Chopin, dan keroncong menggambarkan pergeseran dan perubahan yang terjadi dalam budaya, gaya hidup, dan nilai-nilai keluarga di tengah urbanisasi modern. Konflik identitas terasa nyata, antara yang tradisional dan modern.

Penggunaan Bahasa Metaforis: Puisi ini menggunakan bahasa yang metaforis, memberikan gambaran keadaan batin dan kegelisahan penutur puisi di tengah perubahan drastis dalam kehidupan keluarga akibat urbanisasi.

Porselin yang Fana dan Menciptakan Gempuran: Penggunaan porselin sebagai metafora menggambarkan ketidakteraturan dan ketidakpastian yang terkait dengan urbanisasi. "Mencopot telinga bersama" mungkin merujuk pada tekanan dari luar yang menyebabkan stres dan kebingungan.

Konflik Antara Tradisi dan Modernitas: Puisi ini menyoroti ketegangan antara kehidupan tradisional dan modern di era urbanisasi, yang terkadang menyebabkan konflik batin dan kehilangan jati diri.

Puisi ini merupakan ekspresi dari perasaan kebingungan, konflik identitas, dan kesulitan dalam menjaga nilai-nilai dan identitas tradisional di tengah perubahan dan modernisasi yang cepat. Simbolisme dan bahasa metaforis digunakan untuk menyampaikan kekacauan dan konflik yang muncul di tengah urbanisasi dan perubahan zaman.

Wahyu Prasetya
Puisi: Urbanisasi dari Meja Makan
Karya: Wahyu Prasetya

Biodata Wahyu Prasetya:
  • Eko Susetyo Wahyu Ispurwanto (akrab dipanggil Pungky) lahir pada tanggal 5 Februari 1957 di Malang, Jawa Timur.
  • Wahyu Prasetya meninggal dunia pada hari Rabu tanggal 14 Februari 2018 (pada umur 61).
© Sepenuhnya. All rights reserved.