Puisi: Malioboro-Bulaksumur (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Malioboro-Bulaksumur" karya Gunoto Saparie menggambarkan jarak antara dua tempat yang berbeda secara fisik, namun juga mengeksplorasi ...
Malioboro-Bulaksumur


di antara Malioboro dan Bulaksumur
terbentang jarak puisi dan esai
namun kau acuh tak acuh, abai
justru menulis namamu yang mengabur

di langit ada bulan pucat dan demam
cahaya purba, dari zaman tak terhingga
menjadi penyair terkutuk dalam duka
ada yang salah dengan rindu dendam

di antara cinta, cita, dan hasrat
apakah yang kekal, fragmen tanpa makna?
potongan-potongan memori pun berkarat
terlena mimpi, umbu, harapan yang sirna


2020

Analisis Puisi:
Puisi "Malioboro-Bulaksumur" karya Gunoto Saparie menggambarkan jarak antara dua tempat yang berbeda secara fisik, namun juga mengeksplorasi perbedaan konseptual di antara aspek-aspek kehidupan dan emosi.

Kontras Geografis dan Metafora Emosional: Puisi mengilustrasikan jarak antara Malioboro dan Bulaksumur, dua lokasi yang berbeda. Namun, penulis menggunakan jarak fisik ini sebagai metafora untuk perbedaan yang lebih dalam, termasuk perbedaan antara puisi dan esai, serta perbedaan dalam emosi dan pengalaman manusia.

Ketidakjelasan Emosional: Puisi menyoroti ketidakpastian dan kebingungan dalam perasaan. Bulan pucat dan demam di langit melambangkan perasaan kegundahan dan kebingungan yang bisa dirasakan seseorang dalam menghadapi kehidupan dan hubungan.

Keironisan Kehidupan: Puisi mengekspresikan perasaan penyair yang terkutuk dalam duka, menyoroti sifat tragis atau ironi kehidupan di mana rindu dan dendam seringkali menjadi perasaan yang tidak produktif dan menyakitkan.

Keabadian Emosi dan Kehampaan: Penyair merenungkan tentang apa yang benar-benar kekal di antara cinta, cita, dan hasrat. Fragmen-fragmen memori yang berkarat menggambarkan bagaimana kenangan-kenangan itu menjadi usang dan kehilangan makna seiring waktu.

Makna dari Harapan dan Mimpi: Puisi menyatakan tentang bagaimana mimpi, umbu, dan harapan tampaknya hilang dan lenyap, menekankan ketiadaan harapan yang telah sirna dan kehilangan makna dalam kehidupan.

Puisi "Malioboro-Bulaksumur" kaya akan metafora dan menyajikan perbandingan antara jarak fisik dan keadaan emosional manusia. Gunoto Saparie menggunakan perbandingan geografis antara dua tempat untuk menggambarkan perbedaan abstrak yang mencerminkan kerumitan dan kebingungan emosional manusia. Puisi ini menimbulkan refleksi tentang keabadian, kekosongan, dan kekecewaan dalam kehidupan dan hubungan.

Gunoto Saparie
Puisi: Malioboro-Bulaksumur
Karya: Gunoto Saparie


BIODATA GUNOTO SAPARIE

Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).  Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.  Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif  (Jakarta).

Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah. 

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Indonesia, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.

Beliau bisa dihubungi melalui email gunotosaparie@ymail.com.
© Sepenuhnya. All rights reserved.