Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sebelum Senja Selesai (Karya Moh. Wan Anwar)

Puisi "Sebelum Senja Selesai" karya Moh. Wan Anwar menyuguhkan suasana perpisahan yang mendalam dengan latar senja. Melalui metafora yang kaya, ...
Sebelum Senja Selesai

di sebuah senja pertemuan kita, kaulekat kutatap
dari seluruh penjuru mata. Perlahan kau menurun
ke laut dan ikan-ikan memasang jaring
menjerat tubuh molekmu yang panas
di antara jeruji besi, rangka pinisi, dan tiang-tiang
kau kuintip dari kerimbunan rindu
- sebuah pulau begitu saja tumbuh dari pelupukmu -
dan ketika sedikit kureguk kopi, kau balik mengintip
dari sela-sela pohon di pulau itu
seperti kata-kata selamat berpisah, cahayamu
merebak ke cakrawala bagai lukisan
memancarkan usia pelukisnya. Kupegang erat
pagar besi di sampingku setelah rokok dimatikan
berjalan ke sebuah sudut tempat sepasang remaja
- dari dunia berbeda - khusyuk menerjemahkan
nyala senyummu. Mungkin di dasar laut
kau malah berpeluk dengan gugusan karang
ketika kusadari kopi di meja mengubur waktu
- sebenarnya aku tak biasa minum kopi -
mamang tak ada lagi yang perlu ditunggu
juga liku-liku jazz - mengapa bukan losquin - di kafe
sebelah sana, atau alunan adzan yang pada setiap baitnya
bersembunyi puisi - tempat jantungku
memompakan kata-kata ke sekujur kepulanganku

Makasar, 2001

Sumber: Sebelum Senja Selesai (2002)

Analisis Puisi:

Puisi "Sebelum Senja Selesai" karya Moh. Wan Anwar menyuguhkan suasana perpisahan yang mendalam dengan latar senja. Melalui metafora yang kaya, puisi ini menggambarkan bagaimana waktu, perasaan, dan kenangan berkelindan dalam satu momen transisi antara terang dan gelap.

Senja sebagai Metafora Perpisahan

Puisi ini diawali dengan gambaran pertemuan di waktu senja:

"di sebuah senja pertemuan kita, kaulekat kutatap / dari seluruh penjuru mata."

Senja di sini bukan sekadar latar waktu, tetapi simbol dari sebuah momen menjelang perpisahan. Penggunaan diksi "kaulekat kutatap dari seluruh penjuru mata" menunjukkan betapa intensnya momen ini bagi penyair, seakan ingin menyimpan seluruh detail dalam ingatannya sebelum semuanya berakhir.

Ketika senja mulai meredup, suasana berubah:

"Perlahan kau menurun ke laut dan ikan-ikan memasang jaring / menjerat tubuh molekmu yang panas."

Metafora "ikan-ikan memasang jaring" dapat diartikan sebagai bagaimana kenangan atau perasaan berusaha menangkap dan mengabadikan momen tersebut. Namun, seperti senja yang terus menurun ke cakrawala, segalanya tetap akan berlalu.

Rindu yang Terpendam dalam Imaji Alam

Puisi ini menampilkan imaji alam yang kuat, terutama dalam baris berikut:

"di antara jeruji besi, rangka pinisi, dan tiang-tiang / kau kuintip dari kerimbunan rindu / - sebuah pulau begitu saja tumbuh dari pelupukmu -"

Keberadaan "jeruji besi" dan "rangka pinisi" mungkin melambangkan batas atau keterbatasan dalam hubungan manusia. Sedangkan "pulau yang tumbuh dari pelupuk" menunjukkan bagaimana rindu bisa menghadirkan dunia baru dalam imajinasi.

Momen Minum Kopi sebagai Simbol Perjalanan Waktu

Bagian tengah puisi menggambarkan penyair yang menyeruput kopi sambil memperhatikan senja:

"dan ketika sedikit kureguk kopi, kau balik mengintip / dari sela-sela pohon di pulau itu / seperti kata-kata selamat berpisah."

Minum kopi dalam puisi ini bisa ditafsirkan sebagai metafora untuk menikmati dan merenungkan waktu yang berlalu. Kopi, yang mungkin pahit, mencerminkan perasaan getir dalam menghadapi perpisahan.

Penyair juga menyadari bahwa kopi tersebut tidak hanya mengisi cangkir, tetapi juga "mengubur waktu", mengisyaratkan bahwa segala sesuatu akhirnya akan tenggelam dalam ingatan.

Musik, Adzan, dan Kepulangan

Bagian akhir puisi mempertemukan berbagai elemen kehidupan: musik jazz di kafe, adzan yang bergema, dan perjalanan pulang:

"mamang tak ada lagi yang perlu ditunggu / juga liku-liku jazz - mengapa bukan losquin - di kafe sebelah sana, atau alunan adzan yang pada setiap baitnya / bersembunyi puisi."

Di sini, musik jazz melambangkan kebebasan dan improvisasi, tetapi pada saat yang sama, penyair mempertanyakan kenapa bukan Losquin, sebuah genre musik klasik, yang mengiringi momen ini. Mungkin ini adalah refleksi dari pergulatan batin antara menerima kenyataan atau berharap pada sesuatu yang lebih tetap dan teratur.

Sementara itu, adzan digambarkan sebagai sesuatu yang menyimpan puisi, menandakan bahwa spiritualitas juga menjadi bagian dari perjalanan batin penyair dalam menghadapi perpisahan.

Puisi "Sebelum Senja Selesai" adalah refleksi puitis tentang waktu, perpisahan, dan kenangan yang melekat dalam momen-momen kecil kehidupan. Senja menjadi simbol dari sesuatu yang akan berlalu, kopi mencerminkan waktu yang mengalir, dan musik serta adzan menjadi representasi dari dualitas duniawi dan spiritual.

Moh. Wan Anwar berhasil menciptakan puisi yang penuh dengan simbolisme dan makna tersembunyi, mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana kita menghadapi perpisahan dalam berbagai bentuknya—baik dalam hubungan, waktu, atau bahkan diri sendiri.

Puisi: Sebelum Senja Selesai
Puisi: Sebelum Senja Selesai
Karya: Moh. Wan Anwar

Biodata Moh. Wan Anwar:
  • Moh. Wan Anwar lahir pada tanggal 13 Maret 1970 di Cianjur, Jawa Barat.
  • Moh. Wan Anwar meninggal dunia pada tanggal 23 November 2009 (pada usia 39 tahun) di Serang, Banten.
© Sepenuhnya. All rights reserved.