Puisi: Jembatan (Karya Sutardji Calzoum Bachri)

Puisi "Jembatan" menghadirkan gambaran puitis tentang pemisahan dan kesenjangan dalam suatu masyarakat. Sutardji Calzoum Bachri mengajak pembaca ...
Jembatan


Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam ewuh pekewuh dalam isyarat dan kilah tanpa makna.

Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai palaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!

Tapi wahai saudara satu bendera kenapa kini ada sesuatu
yang terasa jauh diantara kita? Sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita?

Di lembah-lembah kusam pada pucuk tulang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-moyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu
mengucapkan kibarnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi
padamu negeri  
airmata kami.


1998

Analisis Puisi:
Puisi "Jembatan" karya Sutardji Calzoum Bachri adalah sebuah karya sastra yang menggambarkan pemisahan dan kesenjangan dalam suatu bangsa. Dengan gaya bahasa yang kuat dan puitis, penyair menyampaikan pesannya tentang ketidakharmonisan di tengah keberagaman.

Pemisahan dan Kesulitan Berkomunikasi: Puisi mengungkapkan pemisahan yang mendalam di antara anggota bangsa. Meskipun terdapat banyak jalan dan jembatan fisik yang menghubungkan kota-kota, namun terdapat jurang yang sulit diatasi dalam komunikasi dan pemahaman di antara warga.

Wajah-Wajah Jalanan: Dengan merinci berbagai wajah di jalanan, penyair menyoroti kesulitan dan penderitaan yang dialami oleh sebagian masyarakat. Mulai dari orang jalanan hingga para pemulung yang hanya bisa menjadi penonton etalase kekayaan di berbagai tempat mewah.

Pemisahan yang Terabaikan: Meskipun banyak jembatan fisik yang kokoh, masih terdapat sesuatu yang terabaikan, yaitu pemisahan di antara sesama manusia. Bahkan ketika di antara mereka terdapat jurang yang tak terlihat oleh mata, jembatan fisik tidak mampu mengatasi kesenjangan tersebut.

Bendera Hati yang Robek: Metafora tentang bendera hati yang koyak-moyak mencerminkan keretakan persatuan dan kesatuan. Penyair menyuarakan kekecewaan terhadap kenyataan bahwa meskipun simbol-simbol persatuan ada, namun hati rakyat masih terluka.

Panggilan kepada Negeri: Penyair menggunakan ungkapan hati yang menyentuh untuk memanggil negeri. Ungkapan "padamu negeri, airmata kami" menunjukkan kepedulian dan kecintaan yang mendalam kepada tanah air yang mengalami kesulitan dan penderitaan.

Gaya Bahasa Puitis: Gaya bahasa puitis tercermin dalam penyairan Sutardji Calzoum Bachri. Metafora seperti "remah-remah pembangunan," "jembatan-jembatan tumbuh," dan "bendera hati yang koyak-moyak" menambah kekuatan ekspresi dan mendalamkan makna puisi.

Puisi "Jembatan" menghadirkan gambaran puitis tentang pemisahan dan kesenjangan dalam suatu masyarakat. Sutardji Calzoum Bachri mengajak pembaca untuk merenungkan makna sejati dari persatuan dan kesatuan, serta menyoroti pentingnya menjembatani jurang yang terkadang tak terlihat di antara sesama manusia. Puisi ini menjadi sebuah karya yang meresapi jiwa, merangsang pemikiran, dan menyentuh hati pembacanya.

Puisi: Jembatan
Puisi: Jembatan
Karya: Sutardji Calzoum Bachri

Biodata Sutardji Calzoum Bachri:
  • Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau, pada tanggal 24 Juni 1941.
  • Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu pelopor penyair angkatan 1970-an.
© Sepenuhnya. All rights reserved.