Malam Pengantin
sia sia segala
kau dan aku
dinding yang menangkupkan kita
adalah ribuan biji mata
daun pintu penipu
dan lubangkunci
mengintip hati
kita benarbenar taklagi bisa bersendiri
sementara mereka berpura membiarkan kita
bertelanjang
dikamar
tak ada guna
karena kamar sudah telanjang sendiri
beribu mata dari dindingdinding ini ketawa
lebar
sia sia saja
kau dan aku
meski kulipat kau dalam dadaku
meski kaulipat aku dalam pahamu
sia sia
kau dan aku
jangan menangis kasih
sementara siang kan datang
penghibur sia sia kita
siang kan datang
dan
kita
kan membuka pintu
— selamat pagi —
kata mereka
kata siang
sang penghibur itu
kasih,
teguhlah
mari kita berikan kembali
— selamat pagi — itu
pada siang
sang penghibur yang
sia sia
Sumber: Horison (April, 1970)
Analisis Puisi:
Puisi "Malam Pengantin" karya Sutardji Calzoum Bachri adalah sebuah karya yang mengusik dan penuh dengan ironi serta kritik terhadap ekspektasi sosial dalam hubungan intim dan pernikahan. Sutardji, yang dikenal sebagai penyair dengan gaya eksperimental dan bebas, menggunakan permainan kata dan simbolisme untuk mengungkapkan kegelisahan dan kekosongan yang bisa muncul bahkan di momen-momen yang dianggap sakral seperti malam pengantin.
Struktur dan Gaya Bahasa
Puisi ini terdiri dari beberapa bait dengan baris-baris yang tidak beraturan, mencerminkan kebebasan ekspresi Sutardji yang terkenal dalam karyanya. Struktur yang tidak konvensional ini mencerminkan kekacauan emosional dan ketidakpastian yang ingin disampaikan oleh penyair. Penggunaan spasi, pengulangan, serta perpindahan baris yang tidak biasa memberikan efek visual dan ritmis yang memperkuat pesan dari puisi ini.
- "sia sia segala / kau dan aku": Pembukaan puisi ini langsung memberikan nada pesimis dan nihilistik. Frasa "sia sia" menunjukkan bahwa apa yang seharusnya menjadi momen yang bermakna—kebersamaan antara dua insan—dilihat sebagai sesuatu yang tidak berarti. Penggunaan kata "kau dan aku" menekankan dualitas yang ada dalam hubungan ini, namun dengan nuansa bahwa keduanya tidak mampu mencapai makna yang diharapkan.
- "dinding yang menangkupkan kita / adalah ribuan biji mata": Dinding yang seharusnya memberikan privasi bagi pasangan pengantin justru digambarkan sebagai entitas yang mengintai, dengan "ribuan biji mata". Ini bisa diartikan sebagai metafora untuk tekanan sosial atau ekspektasi publik yang memantau dan menghakimi kehidupan pribadi seseorang. Dinding-dinding yang seharusnya melindungi justru menjadi saksi bisu yang menghakimi.
- "daun pintu penipu / dan lubangkunci mengintip hati": Pintu dan lubang kunci, yang biasanya melambangkan akses atau batasan, di sini menjadi alat penipuan dan pengawasan. Lubang kunci yang "mengintip hati" menambah kesan bahwa tidak ada yang bisa disembunyikan, bahkan perasaan terdalam sekalipun tidak aman dari pengamatan.
- "tak ada guna / karena kamar sudah telanjang sendiri": Baris ini menegaskan ironi dari situasi yang digambarkan. Meskipun pasangan mungkin merasa mereka memiliki privasi, kenyataannya kamar mereka sudah "telanjang" dan terbuka untuk dipantau. Tidak ada yang bisa disembunyikan, baik fisik maupun emosional.
- "beribu mata dari dindingdinding ini ketawa / lebar": Tawa ini menunjukkan ejekan atau penghinaan dari "dinding-dinding" tersebut. Tawa yang lebar mungkin mengisyaratkan ketidakpedulian atau bahkan kegembiraan atas penderitaan dan kegelisahan yang dirasakan oleh pasangan.
- "siang kan datang / dan / kita kan membuka pintu": Siang di sini bisa diartikan sebagai kembalinya realitas sehari-hari, di mana segala sesuatu yang terjadi di malam sebelumnya harus dihadapi. Pembukaan pintu adalah simbol penerimaan terhadap kenyataan, meskipun kenyataan itu pahit.
- "selamat pagi / kata mereka / kata siang / sang penghibur itu": Ucapan "selamat pagi" yang seharusnya memberikan harapan baru justru digambarkan sebagai sesuatu yang sia-sia, penghibur yang tidak berarti. Ini menunjukkan bahwa rutinitas dan ekspektasi sosial sering kali hanya menutupi kekosongan yang sebenarnya.
- "kasih, teguhlah / mari kita berikan kembali / — selamat pagi — itu / pada siang": Akhir puisi ini mengajak untuk menghadapi kenyataan dengan keteguhan hati, meskipun dengan sadar bahwa "selamat pagi" ini hanyalah bentuk dari penghiburan yang sia-sia. Ada rasa menerima, tetapi juga ada kesadaran tentang kekosongan yang ada di balik rutinitas tersebut.
Makna
Puisi "Malam Pengantin" adalah kritik terhadap konstruksi sosial tentang pernikahan dan intimasi, di mana ekspektasi dan pengawasan publik sering kali menghancurkan makna sejati dari hubungan tersebut. Sutardji menggunakan simbolisme mata yang mengintip, dinding yang menertawakan, dan lubang kunci yang mengintip hati untuk menggambarkan tekanan eksternal yang terus memantau dan menilai hubungan personal.
Kesan sia-sia yang diulang-ulang dalam puisi ini menegaskan bahwa kebahagiaan dan kebersamaan yang diharapkan dalam pernikahan sering kali terganggu oleh ekspektasi sosial dan realitas yang pahit. Bahkan momen-momen yang seharusnya paling intim bisa berubah menjadi kosong dan tidak berarti ketika dihadapkan pada penilaian eksternal dan kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan.
Puisi "Malam Pengantin" karya Sutardji Calzoum Bachri adalah puisi yang penuh dengan ironi dan kritik terhadap pandangan tradisional tentang pernikahan dan hubungan intim. Melalui penggunaan gaya bahasa yang eksperimental dan simbolisme yang kuat, Sutardji mengungkapkan kekosongan dan ketidakberdayaan yang sering kali dirasakan dalam hubungan yang seharusnya sakral. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan kembali makna sejati dari kebersamaan dan bagaimana ekspektasi sosial dapat merusak keintiman dan kejujuran dalam hubungan.
Karya: Sutardji Calzoum Bachri
Biodata Sutardji Calzoum Bachri
- Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau, pada tanggal 24 Juni 1941.
- Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu pelopor penyair angkatan 1970-an.