Tengah Malam Jam
duabelas malam jam
duabelas angin jam
duabelas sungai jam
duabelas riam jam
duabelas hunjam jam
duabelas rahang jam
duabelas mukul mukul duri
duabelas neriak kapak
ribubelas babi nyeruduk lengang badan
1977
Sumber: O Amuk Kapak (1981)
Analisis Puisi:
Puisi “Tengah Malam Jam” karya Sutardji Calzoum Bachri adalah gambaran puitik tentang waktu yang meledak menjadi kekacauan makna dan suasana batin. Sebagaimana puisi-puisi Sutardji lainnya, karya ini menghadirkan sebuah dunia di mana bahasa tidak lagi tunduk pada konvensi naratif dan logika biasa, tetapi menjadi bunyi, irama, dan simbol yang menantang persepsi dan tafsir. Pembaca diajak masuk ke dalam dimensi waktu yang tidak stabil, bahkan menyeramkan, dan hanya bisa dimengerti melalui intensitas bunyi serta daya imajinatif.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kegelisahan eksistensial terhadap waktu dan malam. “Tengah malam” menandai titik peralihan antara hari dan ketaksaan. Waktu di sini bukan hanya penanda jam atau angka, tetapi menjadi sumber tekanan psikologis, kekerasan batin, dan ketakutan yang membuncah. Puisi ini juga memuat tema kehancuran, kekacauan, dan absurditas yang menyertai pergulatan manusia di titik-titik senyap yang mencekam.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah penggambaran waktu sebagai kekuatan destruktif yang tak kasat mata, tetapi menghantui dan meluluhlantakkan ketenangan. Penyebutan berulang kata “duabelas” memberi kesan waktu yang terus berulang dan menghantam, seolah tengah malam bukan lagi sekadar momen, melainkan pusaran pengalaman traumatik dan viseral.
Dalam baris “ribubelas babi nyeruduk lengang badan”, tampak gambaran kekacauan dan invasi terhadap keheningan tubuh manusia. Babi sebagai simbol bisa dibaca secara liar: entitas destruktif, liar, atau bahkan sebagai metafora kebinatangan dalam diri yang bangkit pada saat-saat gelap.
Puisi ini juga dapat ditafsirkan sebagai representasi keresahan psikologis yang menyeruak di tengah malam—saat sunyi berubah menjadi ancaman batin yang tak terdefinisi.
Puisi ini bercerita tentang perjalanan waktu yang melewati titik tengah malam dan membangkitkan bayangan-bayangan kekerasan, ancaman, serta kekacauan jiwa. Setiap baris seperti menggoreskan lapisan-lapisan serangan dari “jam” yang tak hanya menghitung waktu, tapi juga menghunjam, memukul, hingga merobek keheningan tubuh.
Tidak ada narasi linear atau tokoh dalam puisi ini—sebagai gantinya, pembaca dibawa melalui sekuens pengalaman sensoris yang gelap, keras, dan membabi buta. Dalam dunia puitik Sutardji, jam bukan hanya waktu, tetapi makhluk yang berdenyut dan menghunus.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang diciptakan dalam puisi ini adalah ganjil, horor, dan penuh tekanan psikologis. Ketika waktu seharusnya memberi rasa keteraturan, dalam puisi ini justru menjadi sumber dari kekacauan dan teror. Repetisi kata “duabelas” memperkuat kesan monoton yang menghimpit, sementara baris terakhir menciptakan ledakan visual dan emosi yang menggetarkan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat yang bisa ditarik dari puisi ini adalah bahwa waktu tidak selalu membawa ketenangan; ia bisa menyeret manusia ke dalam ruang gelap penuh tekanan dan absurditas. Jam tak lagi bersifat netral, tapi menjadi entitas yang menghunjam kesadaran dan menghancurkan keheningan batin.
Puisi ini juga dapat dibaca sebagai seruan untuk menyadari dimensi batiniah waktu, yang tidak hanya diukur dengan angka, melainkan dialami secara emosional, simbolis, bahkan traumatik. Dengan demikian, pembaca diajak untuk merenungkan sisi lain dari waktu—yang liar, menakutkan, dan penuh kekacauan laten.
Imaji
Puisi ini menghadirkan sejumlah imaji yang tajam dan visceral:
- “duabelas hunjam jam” → imaji serangan tajam yang datang dari waktu itu sendiri.
- “duabelas rahang jam” → membangkitkan gambaran waktu sebagai makhluk buas yang menggigit.
- “duabelas mukul mukul duri” → imaji rasa sakit berulang yang menggores tubuh atau jiwa.
- “ribubelas babi nyeruduk lengang badan” → puncak kekacauan visual yang menggambarkan tubuh (atau batin) yang diserbu kekuatan liar dan tak terkendali.
Imaji dalam puisi ini bersifat sensoris dan mengguncang, membuat pembaca seperti berada di pusaran mimpi buruk yang surealis.
Majas
Puisi ini mengandalkan gaya repetisi dan simbolisme bunyi, khas Sutardji:
- Repetisi: Pengulangan frasa “duabelas … jam” memperkuat efek ritmis, menciptakan tekanan yang meningkat seiring baris.
- Metafora: Jam sebagai entitas yang menghunjam, memukul, dan memiliki rahang → menandakan waktu bukan benda mati, melainkan makhluk aktif yang menyerang.
- Personifikasi: Waktu dijelmakan memiliki rahang, bisa menghunjam, bisa memukul → waktu dipersonifikasikan sebagai sosok agresif.
- Hiperbola: “Ribubelas babi nyeruduk” → bentuk pembesaran jumlah untuk membangkitkan kekacauan ekstrem secara visual dan emosional.
- Onomatope (bunyi): Kata “mukul-mukul” atau “neriak kapak” mengandung efek bunyi yang keras dan menyayat, memperkuat dimensi aural puisi ini.
Puisi "Tengah Malam Jam" bukanlah sekadar permainan kata-kata atau irama belaka. Ia adalah simfoni kengerian puitik yang menyingkap dimensi gelap dari waktu, malam, dan batin manusia. Sutardji Calzoum Bachri, dengan kekuatan eksperimentalnya terhadap bahasa, menjungkirbalikkan makna dan struktur konvensional, lalu menciptakan puisi yang terasa seperti ledakan ke dalam tubuh dan kesadaran pembacanya.
Di tengah keterasingan, kengerian, dan absurditas yang ditampilkan, puisi ini justru menawarkan permenungan mendalam: bahwa bahkan waktu pun bisa menjadi ancaman, dan bahasa adalah satu-satunya senjata yang bisa menyuarakan kegelisahan itu.
Karya: Sutardji Calzoum Bachri
Biodata Sutardji Calzoum Bachri:
- Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau, pada tanggal 24 Juni 1941.
- Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu pelopor penyair angkatan 1970-an.
