Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Sebuah Pantai (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Di Sebuah Pantai" karya Gunoto Saparie menggambarkan dengan kuat bagaimana pantai, yang seharusnya menjadi tempat ketenangan dan keindahan, ...
Di Sebuah Pantai

pada pesisir di malam-malam sepi
hanya lengang, hampa, dan tak berarti
ada gemerlap ombak bias cahaya bulan
ada wajahmu sayup di keluasan lautan

namun bayang-bayangku kabur di pantai
ketika kemudian gerimis jatuh menderai
tak ada siapa-siapa di sini
ketika udara dingin menggigilkan hati

2020

Analisis Puisi:

Puisi "Di Sebuah Pantai" karya Gunoto Saparie menawarkan sebuah gambaran yang mendalam tentang kesendirian dan perasaan keterasingan, diwarnai dengan atmosfer yang suram. Melalui pilihan kata yang penuh makna, puisi ini menyampaikan pengalaman batin yang penuh dengan kesepian, perasaan kehilangan, dan ketidakpastian. Pantai, yang sering kali diasosiasikan dengan keindahan dan ketenangan, dalam puisi ini berubah menjadi simbol dari kehampaan dan kesendirian yang mendalam.

Pantai Sebagai Simbol Kesendirian

Puisi ini dibuka dengan gambaran sebuah pantai pada malam hari: "pada pesisir di malam-malam sepi / hanya lengang, hampa, dan tak berarti". Frasa "malam-malam sepi" menciptakan suasana yang sunyi, di mana tidak ada kehidupan atau aktivitas yang mengganggu ketenangan. Pantai yang biasanya dikaitkan dengan ketenangan dan keindahan alam, dalam puisi ini justru menjadi tempat yang sepi dan tanpa makna. Ini menggambarkan perasaan kosong atau hampa yang dirasakan oleh pembicara. Malam dan pesisir menjadi simbol dari kehampaan batin yang menghantui pemikiran dan perasaan si pembicara.

Selain itu, penggunaan kata "lengang" dan "tak berarti" semakin memperjelas rasa kehilangan atau ketidakberdayaan yang hadir. Pantai yang luas seolah-olah tidak memberikan jawaban atau arti apapun bagi pembicara, melainkan justru memperkuat kesan kesendirian yang mendalam.

Gemerlap Ombak dan Bayangan Wajah

Meskipun ada gambaran tentang kesepian, terdapat juga unsur lain yang memberikan dimensi emosional pada puisi ini: "ada gemerlap ombak bias cahaya bulan / ada wajahmu sayup di keluasan lautan". Di sini, laut dan bulan berperan sebagai simbol keindahan yang tetap ada meskipun dalam konteks kesendirian. "Gemerlap ombak" memberikan gambaran yang lebih positif dan lebih hidup, namun tetap berada dalam kerangka kesepian. Ombak yang memantulkan cahaya bulan memberi efek visual yang indah, namun juga jauh dan tak dapat dijangkau.

Begitu juga dengan frasa "wajahmu sayup di keluasan lautan", di mana wajah seseorang yang penting bagi pembicara tampak jauh dan kabur, seolah berada di luar jangkauan. Wajah ini mungkin melambangkan seseorang yang pernah dekat, namun sekarang menjadi hal yang jauh dan tidak dapat diraih. Kehadiran "wajahmu" dalam konteks ini memberikan nuansa kerinduan atau perasaan yang hilang, yang terus mengganggu pembicara meski tidak dapat digapai secara fisik.

Ketidakpastian dan Kehilangan yang Mencolok

Pada bagian selanjutnya, puisi ini menggambarkan dengan lebih jelas tentang ketidakpastian yang menyelimuti perasaan pembicara: "namun bayang-bayangku kabur di pantai / ketika kemudian gerimis jatuh menderai". Bayang-bayang yang kabur mencerminkan perasaan kebingungan atau ketidakjelasan tentang identitas dan posisi pembicara di dunia ini. Seperti bayang-bayang yang tidak bisa dipastikan, pembicara merasa kehilangan arah atau tujuan dalam hidupnya.

Gerimis yang "jatuh menderai" membawa suasana melankolis dan menambah kesan hampa yang sudah ada. Gerimis di sini bisa dianggap sebagai metafora dari perasaan yang "menderai" atau terpecah-pecah, dan kesedihan yang terus menerus turun tanpa henti. Setiap tetesan hujan yang jatuh menjadi lambang dari perasaan yang tak terungkapkan, yang semakin menambah kesendirian pembicara di pantai tersebut.

Dingin yang Menggigilkan Hati

Akhir dari puisi ini mengakhiri perjalanan emosi pembicara dengan sebuah perasaan yang mendalam: "tak ada siapa-siapa di sini / ketika udara dingin menggigilkan hati". Kalimat ini mengungkapkan bahwa meskipun pantai dan sekitarnya mungkin tampak hidup dengan elemen alam seperti ombak dan hujan, yang sebenarnya hadir di sana adalah kesepian yang tak terelakkan. Dingin yang menggigilkan hati bukan hanya sekedar suhu fisik, tetapi juga perasaan yang menusuk dan membekukan hati, yang semakin memperburuk rasa kesendirian yang sudah ada.

Puisi "Di Sebuah Pantai" karya Gunoto Saparie menggambarkan dengan kuat bagaimana pantai, yang seharusnya menjadi tempat ketenangan dan keindahan, justru menjadi ruang bagi perasaan kesendirian dan kehilangan. Dengan menggunakan simbolisme alam seperti ombak, bulan, hujan, dan udara dingin, puisi ini menggambarkan kesepian yang mendalam serta perasaan ketidakpastian yang menghantui si pembicara. Bahkan dalam keheningan malam yang tampaknya damai, ada rasa hampa yang menyelimuti, dan segala yang pernah ada kini hanya menjadi kenangan yang kabur.

Puisi ini dengan apik menggambarkan bagaimana alam, khususnya pantai, bisa menjadi latar yang memperkuat tema-tema emosional yang lebih besar. Melalui penggunaan kata-kata yang cermat, pembicara berhasil menciptakan atmosfer melankolis yang resonan dengan perasaan kesendirian, kerinduan, dan kehilangan yang universal.

Gunoto Saparie
Puisi: Di Sebuah Pantai
Karya: Gunoto Saparie


Biodata Gunoto Saparie:

Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).  Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.  Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya.

Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif  (Jakarta).

Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).

Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah. 

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah. Selain itu, di tengah kesibukannya menulis, ia kadang diundang untuk membaca puisi, menjadi juri lomba kesenian, pemakalah atau pembicara pada berbagai forum kesastraan dan kebahasaan, dan mengikuti sejumlah pertemuan sastrawan di Indonesia dan luar negeri.
© Sepenuhnya. All rights reserved.