Puisi: Cintamu Sepahit Topi Miring (Karya Sindhunata)

Puisi "Cintamu Sepahit Topi Miring" karya Sindhunata menggambarkan realitas kehidupan dengan cara yang mendalam dan menyentuh.
Cintamu Sepahit Topi Miring

Senja di desa Baron
matahari tenggelam dalam kemaron.
Lembu betina lari melompat-lompat
dikejar-kejar anaknya yang kecil meloncat.
Senja lucu dengan kasih sayang ibu dan anak
langit senja mengandung sapi beranak
terpesona Ranto melihat, ia tertawa bergelak
dan berubah jadi Ranto Gudel, sang pelawak.

Jadi Marmoyo di panggung ketoprak
Ranto Gudel meminum arak.
Terendam dalam ciu
birahinya berubah jadi biru.
Diajaknya Nyai Dasima bercinta
dengan cinta sepahit Topi Miring
Layar dibuka, turun hujan gembukan
Dewi Mlenukgembuk datang
membawa seguling roti cakwe.
Marmoyo rebah terguling
tidur di pangkuan Nyai Dasima
yang sekeras ciu cangkol buah dadanya.

Ke mana Ranto Gudel pergi
panggung selalu harum dengan arak wangi.
Di Sriwedari jadi petruk
Garengnya diajak mabuk
Bagongnya menggeloyor
Semarnya berjualan ciu cangkol.
Dengan terang lampu semprong
Pak Mloyo memukul kenong
nong ji, nong ro
giginya ompong menggerong:
Ranto Gudel Mendehem
Nyungsep di Bengawan Solo
di sana ia lalu menyanyi:
Itu perahu, riwayatmu dulu
kini sungaimu mengalirkan arak wangi
dengan harumnya aku mandi

Thuyul gundhul ke sana sini mengempit gendul
gendruwo thela-thelo, tampak loyo
jrangkong jalannya miring-miring dhoyong
dhemit setan wedhon
anak-anak Bathari Durga dari bukit Krendhawahana
semuanya mabuk menari-nari:
Sengkuni leda-lede
mimpin baris ngarep dhewe
eh barisane menggok
Sengkuni kok malah ndheprok

Belum selesai menabuh kenong
Nong ji, nong ro
Pak Mloyo pulang geloyoran.
Abu-abu wajahnya terendam ciu.
Dari jauh Ranto Gudel melihatnya
duduk berjongkok di Bengawan Solo:
Air mengalir sampai jauh
membawa botol-botol cangkol
yang mengapung-apung seperti lampion
nyalanya bundar, seperti kenong.
Pak Mloyo terguling ke Bengawan Solo
dengan irama nong ji nong ro.
Ranto Gudel tertawa:
Itu perahu botol cangkol
mengalir sampai jauh
akhirnya ke laut berombak ciu.

Malam berpayung hitam
hitam dibuka dengan bulan.
Ranto Gudel minum arak bekonang
mengantar gadis pulang, berdandan bidan
roknya putih, bajunya putih
serba putih lebih daripada peri.
Tiba di pinggir kali
Ranto Gudel diajak belok ke kiri.
Rumahnya temaram
kursinya sedingin batu bulan.
Birahinya menyentuh dingin
tergeletak ia di atas kijing.
Dhemit elek asu tenan
mengumpat Ranto Gudel geram.
Ia marah terendam arak bekonang:
Asu, hampir saja aku bercinta dengan setan

Cinta manusia seperti Umbul Penggung
dulu bening sekarang keruh
dulu kerajaan sekarang desa
Ranto Gudel dengan empat istrinya
tak pernah abadi cintanya.

Memang enak jadi wedhus daripada manusia
bila mati, manusia dikubur di gundukan tanah
kepalanya dikencingi wedhus yang merumput.
Nasib manusia hanyalah sengsara sampai akhirnya.
Mengapa kita mesti bersusah?
Hiduplah seperti Joko Lelur
siangnya melamun minum limun
malamnya bangun minum berminum
lapen ciu cangkol arak bekonang.

Sekarang di sudut-sudut rumah
botol-botol cangkol dipasangnya
untuk menolak dan menakut-nakuti tikus.
Di hari tuanya Mbah Ranto mengenang
bayangkan, ciu cangkol hanyalah spiritus
yang bisa mengusir tikus
padahal dulu aku minum sampai lampus:
Aku memang benar-benar wedhus!

Hueek.
Hueeeeek.
Hueeeeeeeek.
Wis wis......

2002

Sumber: Air Kata-Kata (2004)

Analisis Puisi:

Puisi "Cintamu Sepahit Topi Miring" karya Sindhunata merupakan karya sastra yang sarat akan simbolisme dan kritik sosial. Puisi ini menggambarkan realitas kehidupan sehari-hari dengan menggunakan metafora dan imajinasi yang kuat.

Metafora dan Simbolisme: Puisi ini menggunakan metafora yang kaya dan simbolisme yang kuat untuk menyampaikan pesan-pesan filosofis. Misalnya, "Malam berpayung hitam, hitam dibuka dengan bulan" menggambarkan kontras antara kegelapan dan cahaya, serta harapan yang muncul dari kegelapan.

Realitas Kehidupan Sehari-hari: Melalui gambaran panggung ketoprak dan kehidupan sehari-hari di desa, puisi ini menciptakan suasana yang hidup dan memikat. Penggambaran tokoh-tokoh seperti Marmoyo, Nyai Dasima, dan Ranto Gudel membawa pembaca ke dalam dunia yang penuh warna dan kehidupan.

Kritik Sosial dan Budaya: Puisi ini juga mengandung kritik sosial terhadap kebiasaan dan norma-norma budaya. Misalnya, penggambaran kehidupan yang dipenuhi dengan minuman keras dan perilaku yang tidak senonoh menggambarkan degradasi moral dalam masyarakat.

Penggunaan Bahasa yang Khas: Sindhunata menggunakan bahasa yang khas dan dialektika yang kuat dalam puisinya. Bahasa yang digunakan menciptakan ritme yang mengalir dan memikat pembaca, sementara dialektika yang ditampilkan memperkaya makna puisi.

Penutup yang Menyayat Hati: Dengan menggambarkan nasib Mbah Ranto yang akhirnya menyadari kehampaan hidupnya, puisi ini menutup dengan nada yang menyayat hati. Penutup yang pahit namun menyentuh mengajak pembaca untuk merenungkan arti sejati dari kehidupan.

Puisi "Cintamu Sepahit Topi Miring" adalah karya sastra yang kompleks dan menggugah. Melalui penggunaan metafora, simbolisme, kritik sosial, dan bahasa yang khas, Sindhunata berhasil menciptakan sebuah karya yang menggambarkan realitas kehidupan dengan cara yang mendalam dan menyentuh.

Puisi: Cintamu Sepahit Topi Miring
Puisi: Cintamu Sepahit Topi Miring
Karya: Sindhunata

Biodata Sindhunata:
  • Nama lengkap Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, S.J.
  • Sindhunata (juga dikenal dengan panggilan Rama Sindhu) lahir di Kota Batu, Jawa Timur, Indonesia, pada tanggal 12 Mei 1952.
  • Sindhunata adalah salah satu sastrawan angkatan 1980-1990an.
© Sepenuhnya. All rights reserved.