Aku Bertanya
Aku bertanya siapa yang sebenarnya gerimis
Mendung di luar, hati kita, atau Tuhan di dalamnya
(Kau tak menyahut). Itulah celakanya!
Jawablah sekedarnya barang sepotong kata, desah, atau kilat mata
Jawablah sekedarnya, sekedar untuk tidak membuat kita beku dan mencoba bunuh diri
Aku bertanya siapa yang sebenarnya bersedih dan menangis
Kerecah hujan ini? Ai, bukan! Jika ia berhenti pun —
akan terus terdengar hujan di ruang sukma atau di denyut-denyut darah
Jadi jelas hujan ini hanya mau meledek dan meniru-nirukan sentimentalitas kita
Jadi jelas hujan ini suatu permainan yang disengaja
Aku bertanya Siapa? Jawablah agar aku tak bertanya
"Siapa kau?" sedang kemudian aku takut
terkapar oleh "Siapa aku?"
Aku bertanya Siapa? Jawablah misalnya dengan meman-
tulkan "Siapa" lewat sikap dan warna mukamu.
Cirebon, 1975
Sumber: Horison (Maret, 1976)
Analisis Puisi:
Puisi "Aku Bertanya" karya Emha Ainun Nadjib merupakan ekspresi batin yang intens dan eksistensial. Dalam larik-lariknya, tersimpan pergolakan jiwa seorang penyair yang tengah mencari jawaban tentang kesedihan, hujan, dan keberadaan. Emha, yang kerap dikenal sebagai penyair sufistik dan filosofis, menggunakan metafora gerimis dan hujan untuk menyampaikan kegelisahan spiritual dan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang diri dan Tuhan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah pencarian jati diri dan makna eksistensi manusia. Melalui pertanyaan-pertanyaan yang terus diulang, Emha menunjukkan betapa manusia sering kali terjebak dalam kebingungan batin tentang siapa dirinya, siapa Tuhan, dan apa arti dari perasaan yang dialaminya. Selain itu, puisi ini juga menyentuh tema kesepian, komunikasi yang gagal, dan keinginan untuk dipahami.
Makna Tersirat
Di balik pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan penyair, tersirat kerinduan akan pemahaman dan keterhubungan—baik dengan sesama manusia maupun dengan Tuhan. Ketika ia bertanya "Siapa sebenarnya gerimis?", sesungguhnya yang ia tanyakan adalah: siapa yang menciptakan rasa sedih dan kosong ini—diriku sendiri, dunia luar, atau Tuhan?
Makna tersirat lainnya adalah kekhawatiran manusia modern yang kehilangan pusat spiritual. Ketika tidak ada jawaban dari luar, ia mulai takut pada pertanyaan yang lebih menakutkan: "Siapa aku?"—pertanyaan yang membuka jurang kesadaran eksistensial.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang sedang berada dalam keadaan batin yang gundah, mempertanyakan kesedihan dan hakikat hujan, yang tak hanya turun di luar jendela, tapi juga dalam ruang jiwanya. Ia berdialog (atau mencoba berdialog) dengan seseorang—mungkin orang lain, mungkin Tuhan—namun jawaban tak kunjung datang. Hujan menjadi simbol perasaan yang membanjiri kesadaran, sekaligus menjadi cermin dari konflik batin yang tak kunjung usai.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini sangat melankolis, gelap, dan sarat kegelisahan. Ada rasa keputusasaan yang lembut, seperti seseorang yang sudah terlalu lama menunggu jawaban. Ketegangan emosional hadir melalui hujan yang tak henti-henti dan kesunyian yang membeku, menciptakan suasana seperti terperangkap di dalam ruang sepi yang tak bisa ditembus suara.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat utama dari puisi ini adalah:
- Pentingnya memahami diri sendiri sebelum mencari makna di luar diri.
- Kegelisahan batin adalah bagian dari spiritualitas dan pencarian kebenaran.
- Komunikasi—baik antar manusia maupun dengan Tuhan—adalah kunci untuk keluar dari kebekuan jiwa.
- Hujan dan kesedihan tidak selalu nyata di luar, melainkan tercipta dari dalam batin kita sendiri.
Imaji
Emha menciptakan banyak imaji batiniah dan atmosferik dalam puisi ini, di antaranya:
- “gerimis / Mendung di luar, hati kita, atau Tuhan di dalamnya” → menciptakan imaji hujan sebagai simbol dari perasaan yang kelabu, samar, dan suci sekaligus.
- “hujan di ruang sukma atau di denyut-denyut darah” → memberikan gambaran bahwa kesedihan bukan sekadar fenomena cuaca, tetapi mengakar dalam tubuh dan jiwa.
- “terkapar oleh ‘Siapa aku?’” → membentuk imaji kehancuran identitas diri ketika tidak menemukan jawaban dari pertanyaan dasar eksistensial.
Majas
Puisi ini kaya dengan majas simbolik, metafora, personifikasi, dan repetisi, antara lain:
Metafora:
- “Hujan di ruang sukma” → hujan sebagai metafora untuk kesedihan atau gejolak batin.
- “Siapa yang sebenarnya gerimis” → gerimis menjadi lambang kompleksitas perasaan.
Personifikasi:
- “hujan ini hanya mau meledek dan meniru-nirukan sentimentalitas kita” → hujan diberi sifat seperti manusia yang mengejek dan meniru perasaan kita.
Repetisi:
- Pengulangan frasa “Aku bertanya Siapa?” menciptakan efek intens dan dramatis, memperkuat kegelisahan dan pencarian makna.
Paradoks:
- “jawablah agar aku tak bertanya 'Siapa kau?'... lalu takut oleh 'Siapa aku?'” → menciptakan kontradiksi yang memicu refleksi mendalam tentang identitas dan eksistensi.
Puisi "Aku Bertanya" karya Emha Ainun Nadjib adalah refleksi puitik tentang kegelisahan eksistensial manusia modern. Dalam larik-larik pendek dan penuh daya ledak makna, Emha menunjukkan bahwa pencarian makna adalah jalan panjang yang penuh kesunyian, kecurigaan, dan kadang ketakutan.
Hujan bukan sekadar gejala alam, tapi gema dari suara batin yang terperangkap. Pertanyaan “Siapa?” menjadi penanda keinginan manusia untuk memahami—bukan hanya dunia dan Tuhan, tapi juga dirinya sendiri. Dalam dunia yang serba cepat dan bising, puisi ini mengajak kita diam sejenak dan mendengarkan suara jiwa, barangkali di sanalah jawabannya ditemukan.
Karya: Emha Ainun Nadjib
Biodata Emha Ainun Nadjib:
- Muhammad Ainun Nadjib (Emha Ainun Nadjib atau kerap disapa Cak Nun atau Mbah Nun) lahir pada tanggal 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur, Indonesia.
