Bapak
bapak yang kakimu bengkok sehingga begitu susah melangkah bapak yang kukasih lima perak dari lima ribu-uangku bapak yang kumuh dan bau yang tak ada penolongmu untuk mandi bapak yang membaringkan kepala di batu bukan daerahmu bapak yang disangga tongkat tak ada tempat buat hidupmu bapak yang tersingkir tanah airmu di kelak bapak yang terjungkir keretamu di tuhan tempat di mana kami tak bisa pulang.
1980
Sumber: Horison (April, 1980)
Analisis Puisi:
Puisi “Bapak” karya Emha Ainun Nadjib adalah sepotong sajak pendek namun sarat makna yang menyentuh hati pembaca. Dengan bahasa yang lugas dan emosional, penyair menyuguhkan sosok seorang bapak yang bukan hanya pribadi, melainkan simbol dari keterasingan sosial dan kehilangan martabat dalam sebuah negeri. Puisi ini menggambarkan luka sosial, sekaligus merangkum cinta anak kepada ayahnya yang tertindas oleh keadaan.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah kemiskinan dan keterasingan sosial, yang dilihat dari sudut pandang seorang anak terhadap figur ayah. Bapak dalam puisi ini bukan hanya seorang individu, melainkan representasi dari kelas sosial yang termarjinalkan, terpinggirkan oleh sistem dan kehidupan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini sangat mendalam. Bapak bukan sekadar sosok ayah secara biologis, tetapi melambangkan kaum miskin, kaum tua, dan mereka yang telah bekerja keras namun akhirnya dibuang oleh sistem. Kalimat-kalimat seperti:
“bapak yang membaringkan kepala di batu bukan daerahmu”“bapak yang tersingkir tanah airmu di kelak”
mengandung kritik sosial yang tajam, bahwa bahkan di tanah airnya sendiri, si bapak tak memiliki tempat. Ia adalah orang asing di negeri sendiri—ditolak oleh sistem dan masyarakat.
Puisi ini bercerita tentang seorang bapak tua yang sakit-sakitan, miskin, tersingkir, dan hidup dalam kesendirian serta keterbatasan, namun tetap menjadi sosok yang dikenang dan disayangi oleh si aku-lirik, yang kemungkinan besar adalah anaknya sendiri.
Puisi ini juga menceritakan tentang kondisi seseorang yang kehilangan tempat berpijak secara literal maupun simbolik. Dari penggunaan tongkat hingga berbaring di atas batu, semuanya mengisyaratkan kehilangan tempat berlindung, baik secara fisik maupun spiritual.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini murung, getir, dan tragis. Pembaca dibawa ke dalam perasaan simpati dan haru, melihat penderitaan seorang bapak yang begitu rentan, lusuh, dan dilupakan.
Kalimat terakhir,
“keretamu di tuhan tempat di mana kami tak bisa pulang.”
menyiratkan perpisahan yang kekal. Mungkin si bapak telah wafat, dan sang anak menyadari bahwa kehilangan itu adalah bentuk paling pedih dari ketidakberdayaan manusia.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa:
- Manusia bisa menjadi asing di negeri sendiri, bahkan bagi orang-orang yang telah mengabdi dan bekerja keras seumur hidupnya.
- Kita mesti peduli pada orang-orang yang terpinggirkan, terutama para lansia, kaum miskin, dan mereka yang tak lagi produktif di mata sistem ekonomi.
- Kasih anak kepada orang tua tidak bisa digantikan dengan materi, karena luka batin dan kehancuran martabat jauh lebih dalam dari sekadar kekurangan uang.
- Kematian bukanlah akhir penderitaan, melainkan pemisahan total yang membawa penyesalan jika kita terlambat memahami makna kehadiran seseorang.
Imaji
Puisi ini dipenuhi oleh imaji visual dan sentuhan emosional yang kuat. Beberapa di antaranya:
Visual:
- “kakimu bengkok sehingga begitu susah melangkah”
- “membaringkan kepala di batu”
- “disangga tongkat”
Emosi dan empati:
- “kumuh dan bau yang tak ada penolongmu untuk mandi”
- “bapak yang tersingkir tanah airmu”
Imaji ini berhasil menghadirkan gambaran nyata tentang penderitaan fisik dan psikologis seorang ayah, serta empati seorang anak yang merasa tidak mampu berbuat lebih.
Majas
Meskipun menggunakan bahasa yang sangat lugas, puisi ini tetap mengandung beberapa majas penting:
Metafora:
“keretamu di tuhan tempat di mana kami tak bisa pulang”
menggambarkan kematian sebagai perjalanan dengan kereta menuju Tuhan, sebuah metafora spiritual tentang perpisahan dan ketidakberdayaan manusia menghadapi ajal.
Simbolisme:
Bapak menjadi simbol dari ketidakadilan sosial, ketertindasan, dan kehilangan martabat dalam kehidupan modern.
Ironi:
“bapak yang tersingkir tanah airmu”
mengandung ironi tragis, karena seseorang yang harusnya dilindungi oleh negara justru menjadi yang disingkirkan.
Puisi “Bapak” karya Emha Ainun Nadjib adalah puisi pendek dengan kepadatan makna luar biasa, yang mengajak pembaca merenungkan wajah-wajah yang terpinggirkan oleh kehidupan, terutama para orang tua, bapak-bapak yang dulu mungkin menjadi tulang punggung, namun kini terbaring sendiri dan tak lagi dianggap penting.
Dengan gaya tutur yang sangat manusiawi dan sarat empati, Emha mengajak kita untuk tidak melupakan mereka yang telah berjuang namun akhirnya tersingkir diam-diam dari sistem. Puisi ini menyentuh luka kolektif bangsa, tentang mereka yang kalah, yang tak mendapat ruang layak, bahkan untuk meninggal dengan martabat.
