Analisis Puisi:
Puisi "Kata-Kata Bersayap" karya Gunoto Saparie menggugah rasa dan menantang pembaca untuk menggali lebih dalam makna tersembunyi di balik kata-kata yang mengalir seperti sebuah aliran sungai yang tak bisa diprediksi. Dalam sajak ini, penyair seolah mengajak pembaca untuk merenung tentang peran dan esensi seorang penyair dalam menciptakan karya seni yang menggugah jiwa.
Kesunyian dan Keabstrakan Kata
Pembukaan puisi ini memunculkan sebuah pertanyaan filosofis yang menarik: benarkah penyair hanya mencintai kata-kata bersayap tak jelas artinya? Kalimat ini menekankan pada pencarian makna dalam ketidakjelasan, yang sering kali hadir dalam karya-karya sastra. Kata-kata bersayap bisa diartikan sebagai kata-kata yang tidak bersifat konkret, tetapi melambangkan gagasan atau perasaan yang lebih abstrak. Penyair seakan berkata bahwa dalam kebebasan berimajinasi dan mencari makna, ia tidak selalu menemukan jawaban yang pasti. Ini adalah karakteristik khas dalam banyak karya sastra yang menggambarkan emosi dan pemikiran yang kompleks.
Selain itu, kalimat benarkah penyair hanya menyayangi kesunyian dan bayang-bayang rahasia? menggambarkan bagaimana penyair seringkali berada dalam kesendirian, mencari inspirasi dari bayang-bayang yang tersembunyi. Kesunyian menjadi ruang bagi pemikiran dalam mengeksplorasi kehidupan, memberikan ruang bagi kata-kata untuk muncul dari kedalaman hati yang penuh misteri.
Penyair sebagai Pencatat Kenangan
Penyair, dalam puisi ini, digambarkan sebagai seorang pencatat yang menulis catatan-catatan kabur penuh kenangan. Ketika mengkristal dendam serta kangen, ketika subuh bangkit dalam gerimis, kalimat ini menggambarkan bagaimana perasaan yang kompleks, seperti dendam dan kerinduan, mengkristal menjadi sebuah bentuk yang bisa diungkapkan dalam kata-kata. Penyair tidak hanya menulis tentang kenyataan, tetapi juga tentang perasaan yang mengalir, yang kadang kala sulit untuk dijelaskan secara rasional.
Subuh yang bangkit dalam gerimis mungkin mewakili sebuah harapan yang muncul di tengah kesulitan atau kesedihan. Ini mencerminkan bahwa dalam puisi, seringkali ada kebanggaan dalam penderitaan, sebuah keindahan yang muncul dari momen-momen kelam yang menggugah perasaan pembaca.
Ilham dan Kesendirian sebagai Sumber Kreativitas
Di bagian puisi ini, benarkah penyair hanya memanggil-manggil ilham dan kesepian gembala di desa? Gunoto Saparie kembali memperkenalkan elemen kesepian yang menjadi inspirasi kreatif bagi seorang penyair. Penyair digambarkan sebagai individu yang berusaha menyelami alam bawah sadar, memanggil ilham di tengah kesendirian. Kesepian ini bukanlah kesendirian yang suram, melainkan sebuah ruang untuk merenung dan mendapatkan inspirasi.
Penyair dalam puisi ini tidak hanya menulis untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk bangsa. Penyair hanya mengetik bait demi bait darah dan air mata bangsa ini. Kalimat ini menunjukkan bahwa puisi juga dapat menjadi bentuk refleksi sosial dan budaya, mencatat perasaan kolektif masyarakat. Penyair menggoreskan kata-kata yang berisi perjuangan, penderitaan, dan harapan yang tumbuh dalam hati setiap individu.
Penyair dan Tanggung Jawab Sosial
Di dalam puisi ini, penyair tidak hanya berkutat dengan kata-kata yang indah, tetapi juga berhadapan dengan tanggung jawab sosial. Ketika misteri semesta tersibak sendiri, ketika ada seberkas cahaya terlambat, mengisyaratkan bahwa puisi bisa menjadi jalan bagi penyair untuk mengungkapkan hal-hal yang lebih besar dari dirinya sendiri, sebuah respons terhadap kejadian-kejadian yang terjadi di dunia ini.
Dalam konteks ini, penyair bukan hanya seorang pengamat, tetapi juga seorang pelapor yang mengungkapkan realitas dunia dengan segala paradoks dan kenyataannya. Seperti halnya seberkas cahaya yang terlambat, puisi adalah usaha untuk memberikan pencerahan, meski kadang terlambat datangnya.
Kesendirian dan Keindahan dalam Puisi
Akhirnya, puisi ini mengingatkan kita akan esensi seorang penyair: penyair hanya menari dalam sepi. Kesendirian bukanlah hal yang menakutkan, melainkan bagian dari proses penciptaan. Dalam kesendirian, penyair menari dengan kata-kata, menulis dengan hati yang penuh emosi, dan merayakan kebebasan berekspresi. Ini adalah salah satu inti dari karya seni: untuk merenung, mencipta, dan menemukan keindahan dalam kesendirian dan keheningan.
Puisi "Kata-Kata Bersayap" karya Gunoto Saparie adalah sebuah refleksi mendalam tentang kehidupan seorang penyair, yang tidak hanya menulis untuk diri sendiri, tetapi juga untuk mencatat perasaan dan pengalaman kolektif. Dalam puisi ini, kata-kata yang bersayap melambangkan pencarian makna yang tak terbatas dan keindahan yang terungkap melalui kesendirian dan kesunyian. Penyair dalam karya ini tidak hanya mencatat sejarah, tetapi juga menggali lapisan-lapisan emosi yang terkubur dalam kehidupan sehari-hari. Melalui puisi ini, Gunoto Saparie mengajak pembaca untuk lebih menghargai kata-kata dan melihat keindahan di balik setiap makna yang tersembunyi.
Karya: Gunoto Saparie
Biodata Gunoto Saparie:
Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Negeri Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Negeri Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.
Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, kolom, dan artikel tentang kesenian, ekonomi, politik, dan agama, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), Mendung, Kabut, dan Lain-Lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019), dan Lirik (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2020).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).
Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.
Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia pernah menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta). Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).
Saat ini Gunoto Saparie menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia ‘Satupena’ Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.
Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.
