Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Perempuan (Karya Emha Ainun Nadjib)

Puisi “Perempuan” karya Emha Ainun Nadjib bercerita tentang seorang laki-laki (persona) yang mengakui bahwa ia terlalu lama memandang perempuan ...

Perempuan


ditipu oleh kecongkakan yang musti kupelihara, kupan-
        dang kamu secara amat sederhana:

        serupa kain penutup kulitku dari tatapan mata
        orang banyak serta hembusan angin yang sesak

        serupa baju kaos, yang menghisap sampai kering
        keringat tubuhku di tengah chaos

        serupa payung yang melindungiku dari hujan le-
        bat atau terik matahari — kurentangkan ia jika
        diperlukan, dan jika tidak, kusungkup dan ku-
        simpai saja di almari

lebih kuperlukan jika tubuhmu tegar menggairahkan atau
        jika mripatmu menyorotkan kelainan-kelainan
        yang mengertak mata jiwaku

        kupanggil dan kamu mendekat padaku, kujabat
        tanganmu sambil tersenyum, kubelai rambut ge-
        raimu dengan telapak tangan Nabi Jusup, kemu-
        dian kuraih, kucengkam pundakmu, kurebahkan
        dan akhirnya kureobek semua kain yang melekat
        di tubuhmu — Tuhanku, kujelajahi seluruhnya.
        kutembus gua-nya dan kuhisap seluruh pori dan
        cairan-cairannya — kusangka dengan demikian
        aku telah memperolehnya!

tidak, tidak — aku sama sekali belum menggenggam Pe-
        rempuan itu kemudian menghisap sarinya: gua-
        nya terlalu gelap dan tanganku luput menangkap
        bayang-bayang itu

        Perempuan, siapakah kamu sebenarnya? sebab
        kemulusan, kemontokan dan kegairahan tubuh
        hanyalah nina bobo yang sia-sia

datang bagai seribu burung melintas di depan mataku, ber-
        nyanyi-nyanyi nyaring dan selalu di antara nada-
        nya itu terasa denyutan-denyutan yang sejak
        lama kurindukan serta percikan-percikan yang
        bagai mengisyaratkan bayangan Tuhan!

percikan-percikan yang bagai mengisyaratkan bayangan
        Tuhan, percikan-percikan yang memberi alasan
        kepadaku untuk tetap mempertahankan hidup
        dan sedikit harapan-harapan, Perempuanku! —
        tak bisa kuusir kamu, tak bisa kuusir tenaga hi-
        dupku . . . . .

Sumber: Horison (Februari, 1979)

Analisis Puisi:

Puisi “Perempuan” karya Emha Ainun Nadjib merupakan sebuah perenungan mendalam dan kompleks tentang sosok perempuan dari sudut pandang laki-laki yang tersesat dalam pemujaan fisik dan pencarian makna batin. Dengan bahasa yang gamblang dan kontemplatif, Emha menghadirkan potret batin manusia yang berusaha memahami kedalaman eksistensi perempuan, namun berkali-kali terperangkap dalam ilusi tubuh semata. Pada akhirnya, penyair membawa pembaca menyelami makna perempuan sebagai entitas spiritual yang nyaris tak terjamah, namun menjadi sumber kehidupan, harapan, bahkan bayangan Tuhan itu sendiri.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pencarian esensi perempuan—sebuah perjalanan spiritual dan eksistensial dari sekadar tubuh menuju jiwa dan makna ilahi. Di sisi lain, puisi ini juga menyinggung tema keterasingan batin, hasrat yang menyesatkan, dan kesadaran yang datang terlambat tentang nilai sejati perempuan.

Makna Tersirat

Makna tersirat puisi ini sangat mendalam. Perempuan dalam puisi bukan hanya sosok biologis atau erotis, tetapi mewakili simbol kehidupan, energi ilahi, dan harapan yang menghidupkan jiwa manusia. Penyair menunjukkan bahwa ketika perempuan hanya dipandang sebagai objek tubuh—"kain penutup", "baju kaos", "payung"—maka manusia sedang menelantarkan substansi sejatinya. Perempuan menjadi cermin dari ketidaktahuan laki-laki tentang dirinya sendiri.

Baris-baris seperti:

“kusangka dengan demikian aku telah memperolehnya!”
“tidak, tidak — aku sama sekali belum menggenggam Perempuan itu”

mengungkapkan kegagalan pemahaman laki-laki terhadap perempuan. Bahkan saat hubungan fisik telah terjadi, jiwa dan makna batin tetap tak tergenggam. Puisi ini adalah kritik terhadap kecenderungan mereduksi perempuan menjadi sekadar objek pemuasan, tanpa memahami kedalaman batin dan spiritualitasnya.

Puisi ini bercerita tentang seorang laki-laki (persona) yang mengakui bahwa ia terlalu lama memandang perempuan dari sisi fisik dan kebutuhan pribadi, namun kemudian menyadari bahwa yang sesungguhnya ia cari adalah kekuatan spiritual, ketenangan batin, dan keindahan ilahi yang memancar dari keberadaan perempuan.

Narasi berkembang dari pemujaan raga ke keinsafan bahwa perempuan bukan sekadar tubuh, melainkan energi yang menggetarkan jiwa dan menghubungkan manusia dengan sesuatu yang lebih tinggi—yakni Tuhan.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi terasa introspektif, penuh gejolak, lalu perlahan berubah menjadi kontemplatif dan spiritual. Di awal, pembaca dibawa pada suasana yang gairah, sensual, bahkan eksploitatif, tapi seiring berjalannya puisi, nuansa itu berubah menjadi penyesalan, kekosongan, dan kesadaran batin.

Peralihan suasana ini merupakan kunci kekuatan puisi Emha: dari panas dan duniawi menuju teduh dan transenden.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini adalah bahwa perempuan bukanlah sekadar tubuh yang bisa dipakai dan diperlakukan sesuka hati, melainkan wujud ciptaan yang luhur, mengandung pesan ilahi, dan pantas dihormati sebagai cermin harapan dan sumber kehidupan. Puisi ini menekankan pentingnya melihat perempuan dengan jiwa yang murni, bukan hanya dengan hasrat.

Melalui kata-kata yang jujur dan reflektif, Emha seolah menasihati laki-laki: "Jangan kau kira telah memiliki perempuan hanya karena telah memiliki tubuhnya. Yang sejati tidak dapat dimiliki, hanya bisa direnungi, dihargai, dan dicintai dalam keheningan."

Imaji

Puisi ini penuh dengan imaji fisik dan sensual, namun tidak berhenti di sana:

Imaji tubuh:

"kurebahkan dan akhirnya kureobek semua kain yang melekat di tubuhmu"
"kutembus gua-nya dan kuhisap seluruh pori dan cairan-cairannya"

Imaji spiritual:

"datang bagai seribu burung melintas di depan mataku"
"percikan-percikan yang bagai mengisyaratkan bayangan Tuhan"

Imaji rasa dan batin:

"denyutan-denyutan yang sejak lama kurindukan"
"tenaga hidupku"

Kontras antara imaji raga dan imaji ruhani mempertegas perjalanan penyair dari nafsu ke pencarian spiritual.

Majas

Berbagai majas muncul kuat dalam puisi ini:

Metafora:
  • Perempuan sebagai “kain penutup”, “baju kaos”, “payung” menggambarkan fungsi-fungsi praktis yang melecehkan esensi perempuan.
  • “Seribu burung” melambangkan kebebasan, keindahan, dan isyarat ilahi.
Personifikasi:
  • “percikan-percikan yang memberi alasan kepadaku untuk tetap mempertahankan hidup” memberikan sifat hidup pada percikan cahaya, menggambarkan harapan yang bersifat spiritual.
Repetisi:
  • Baris “tidak, tidak — aku sama sekali belum menggenggam Perempuan itu” menegaskan keterkejutan dan kesadaran mendalam persona terhadap kebodohan dirinya.
Hiperbola:
  • “kupotong, kuiris, kusayat-sayat” — meskipun tidak hadir dalam puisi ini secara eksplisit seperti dalam puisi “Ulat”, gaya ekspresif Emha tetap terasa dramatik dan intens.
Puisi “Perempuan” karya Emha Ainun Nadjib adalah renungan eksistensial dan spiritual tentang makna sosok perempuan, yang awalnya dipahami secara sempit sebagai objek seksual dan akhirnya disadari sebagai sumber kehidupan dan ilham spiritual.

Emha menyampaikan bahwa kita terlalu sering menilai dari permukaan dan terjerumus pada kenikmatan sesaat, padahal di balik tubuh perempuan tersimpan rahasia agung—percikan Tuhan, dan sumber kekuatan hidup itu sendiri.

Puisi ini menantang pembaca—khususnya laki-laki—untuk merevisi cara pandangnya terhadap perempuan, dari sekadar nafsu menjadi pemahaman dan penghargaan spiritual yang mendalam.

Perempuan dalam puisi ini bukan sekadar tubuh, melainkan jalan menuju kesadaran: bahwa cinta, hormat, dan pemahaman hanya mungkin hadir jika kita benar-benar merendahkan hati dan mendekap makna, bukan semata bentuk.

Emha Ainun Nadjib
Puisi: Perempuan
Karya: Emha Ainun Nadjib

Biodata Emha Ainun Nadjib:
  • Muhammad Ainun Nadjib (Emha Ainun Nadjib atau kerap disapa Cak Nun atau Mbah Nun) lahir pada tanggal 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.