Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Melewati Jembatan Kesunyian (Karya Ahmad Nurullah)

Puisi “Melewati Jembatan Kesunyian” karya Ahmad Nurullah bercerita tentang pergulatan batin seorang ayah yang menziarahi kenangan atau kepergian ...
Melewati Jembatan Kesunyian

Melewati jembatan kesunyian yang kubangun dengan
seribu helai nafas
Kudatangi anakku terbaring di sungai sumsum
Lelah tenggelam di dalam jeram penyatuan

Di tepi sungai yang tergenang
Dan pelabuhan langit sebatang perahu berlabuh perlahan
Sarat dengan muatan tanah angin api dan air serta
tunas-tunas mimpi. Perlahan anakku menyelusup ke dalam
Bagai seutas benang memasuki batang lilin

Kutanyakan: "Nak, kapan kau berangkat?
Belum kutabung susu buat dikau
Pada sepasang tetek Layla yang menyala dalam khayalan".
Dalam gemuyur doa seribu malaikat
Anakku perlahan lenyap berlayar ke tengah sungai senyap

Melewati jembatan kesunyian yang kubangun dengan
seribu helai nafas
Kukembali pergi terjerat ke jemaring waktu
Duh, betapa gersang warna kemarau
Betapa bising lolong anjing di seberang jalan
Betapa busuk genangan comberan di jantung-jantung Layla jalang
Adakah kausiap berangkat, anakku?

Sumber: Horison (Oktober, 1989)

Analisis Puisi:

Dalam puisi “Melewati Jembatan Kesunyian”, Ahmad Nurullah menciptakan lanskap batin yang hening namun penuh gejolak emosional. Ia tidak hanya bercerita, tetapi juga menyuarakan kegelisahan, cinta, dan kesadaran eksistensial dalam bahasa puitis yang kaya imaji dan penuh simbolisme.

Puisi ini bercerita tentang pergulatan batin seorang ayah yang menziarahi kenangan atau kepergian anaknya, entah secara fisik (kematian) atau secara spiritual. Ada kesan bahwa si anak tengah “berangkat” ke suatu dunia lain, atau mungkin melambangkan transisi kehidupan menuju kematian. Sang ayah, yang menjadi sosok aku-liris, tampak berada dalam kerinduan dan keterikatan yang mendalam.

Perjalanan melewati “jembatan kesunyian” adalah metafora untuk menapaki ruang hening dalam diri, tempat di mana kenangan, kehilangan, dan doa saling berkelindan.

Tema dalam Puisi

Tema utama puisi ini adalah kehilangan dan pencarian makna di balik kesunyian. Ahmad Nurullah menyoroti bagaimana seseorang, khususnya seorang ayah, menghadapi kehilangan dengan membangun jembatan spiritual yang menyambungkan dirinya dengan sang anak. Tema lainnya yang mengiringi adalah kesunyian eksistensial, kematian, kerinduan, dan keinginan akan keabadian cinta dalam doa.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa hidup dan kematian bukanlah dua hal yang saling meniadakan, melainkan saling menyelusup seperti benang dan lilin. Dalam kehilangan, manusia membangun jembatan kesunyian bukan untuk kembali, tetapi untuk menyambung rasa dan makna. Sosok anak di sini bisa pula dimaknai sebagai harapan, cita-cita, atau jiwa muda yang perlahan pergi meninggalkan dunia realitas menuju dunia lain—entah itu kematian, dunia dewasa, atau dunia spiritual.

Jembatan yang dibangun dari “seribu helai nafas” adalah simbol dari usaha spiritual yang melelahkan namun penuh cinta, dan “tunas-tunas mimpi” menunjukkan bahwa dalam kehilangan pun masih ada harapan kecil yang tumbuh.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang tercipta dalam puisi ini adalah melankolis, sunyi, dan kontemplatif. Ada kesan duka yang tidak meledak-ledak, melainkan mengalir tenang namun dalam. Puisi ini tidak meraung, melainkan berdoa dalam hening, dalam gumam hati yang pilu namun pasrah. Gemuruh doa, bau comberan, lolong anjing, dan sepi pelabuhan menambah kedalaman suasana batin yang suram namun penuh makna.

Imaji dalam Puisi

Puisi ini menyuguhkan banyak imaji kuat yang menyentuh indera maupun jiwa, di antaranya:
  • “jembatan kesunyian yang kubangun dengan seribu helai nafas” → imaji hening, spiritual, dan berat.
  • “anakku terbaring di sungai sumsum” → imaji tubuh dan kesakitan, atau mungkin lambang keterbaringan menjelang kematian.
  • “perahu berlabuh perlahan / sarat dengan muatan tanah angin api dan air” → imaji unsur-unsur alam yang melambangkan kehidupan dan kematian.
  • “bagai seutas benang memasuki batang lilin” → imaji halus yang menandai penyusupan jiwa dalam tubuh atau pertemuan lembut antara dua realitas.
  • “gemuyur doa seribu malaikat” → imaji religius, spiritual, dan agung.
  • “betapa busuk genangan comberan di jantung-jantung Layla jalang” → imaji kontras antara spiritualitas dan kerusakan dunia.

Majas dalam Puisi

Puisi ini kaya akan majas simbolik dan metaforis, di antaranya:
  • Metafora: “jembatan kesunyian”, “sungai sumsum”, “batang lilin”, dan “perahu sarat muatan” adalah metafora dari perjalanan spiritual, tubuh manusia, serta kematian dan kehidupan.
  • Personifikasi: Waktu dan alam dipersonifikasikan sebagai entitas yang menyambut atau menjebak manusia dalam perjalanannya.
  • Simbolisme: “Tetek Layla”, “seribu helai nafas”, “perahu”, dan “tunas-tunas mimpi” adalah simbol-simbol yang membuka banyak lapisan makna tentang tubuh, kehidupan, harapan, dan sensualitas yang dikritik atau dikenang.
  • Pertanyaan retoris: “Adakah kausiap berangkat, anakku?” memperdalam renungan eksistensial dan perpisahan yang tak terelakkan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat utama dari puisi ini adalah bahwa kehilangan bukanlah akhir dari relasi, tetapi transformasi bentuk cinta. Dalam kesunyian pun, manusia bisa membangun jembatan spiritual untuk tetap terhubung dengan yang telah pergi. Ahmad Nurullah seakan menyampaikan bahwa doa, kenangan, dan harapan adalah bagian penting dalam merawat kehilangan, sekaligus sarana untuk memaknai hidup yang terus berjalan meski diliputi kekosongan.

Puisi ini juga menyentil kerasnya dunia, simbolisasi lewat Layla jalang dan comberan, sebagai realitas yang tidak suci, yang harus dihadapi bahkan ketika hati sedang luka dan sunyi.

Melintasi Batas dengan Bahasa Sunyi

Puisi “Melewati Jembatan Kesunyian” adalah salah satu contoh puisi kontemporer Indonesia yang berhasil memadukan lirisisme mendalam dengan perenungan eksistensial. Ahmad Nurullah tidak hanya menulis puisi tentang kehilangan, tetapi juga mengajarkan cara menyikapi kesedihan dengan perenungan dan spiritualitas. Ia menciptakan ruang sunyi dalam bait-baitnya—tempat di mana kita bisa mendengar gema cinta, doa, dan perpisahan dengan cara yang paling jujur.

Pada akhirnya, puisi ini mengajak kita semua untuk bertanya kepada diri sendiri: Sudahkah kita siap berangkat—meninggalkan, ditinggalkan, atau bahkan sekadar menyusuri jembatan kesunyian yang dibangun dari nafas dan harapan?

Ahmad Nurullah
Puisi: Melewati Jembatan Kesunyian
Karya: Ahmad Nurullah

Biodata Ahmad Nurullah:
  • Ahmad Nurullah (penulis puisi, cerpen, esai, dan kritik sastra) lahir pada tanggal 10 November 1964 di Sumenep, Madura, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.