KertanegaraRenungan Hari Akhir
Singosari telah terkepung dari segala penjuru Di seluruh medan perajurit-perajurit baginda Telah dilumpuhkan dan kampung-kampung porak-poranda Tak ada lagi orang yang setia kepadanya Satu per satu lenyap dari istana Para pendeta dan brahmana telah menyeberang ke kubu musuh Kertanegara tak mengira akan begitu cepat senja menggempur singgasananya Seakan tak sempat keluh bisa diratapkan bersama hujan Dan gembira tahun menggulung tikarnya perlahan-lahan Meninggalkan beribu siksaan. Tak terbayang Bahwa kemegahan hanyalah bendera yang cepat kumal Tinggi digerek ke puncak tiang dan mengibarkan kekosongan Diambilnya secawan arak, direguknya. Terasa Di balik tirai yang tercampak Kelobaannya menyerupai leak di matanya sendiri Dan lantai bumi bergetar karena goncangan keras dari bawah Tak tertahankan lagi. Hingga pasang tak sabar menanti
Dari mana datang bibit ketiadaan ini?Sekonyong-konyong menyembul tunasnyaMenjelma pokok pohon sepi, menjulang tinggiDengan daun dan buah gersang, melontarkan cemoohPada hari-hari lampauku yang keemasan. SeakanSemua hanya bualan khayal dan keisengan — kursi,Mahkota, ribuan upeti dan bintang jasaYang kuterima dan kusematkan. Kawan-kawan setiaYang menjadi musuh dan musuh yang berpura-puraJadi teman setia. Semua mengaburkan pandanganDan desir angin yang selalu melelapkan tidurkuKini penuh tenaga, mulai membongkarTiang-tiang tenda yang kukira kukuh sekaliPintu persembunyian semakin digedor-gedorDan atap mulai runtuh. Tak ada agaknyaYang harus lebih kudekatkan ke lubuk hatiSelain keluh bumi yang berat dan sekaratDitindih kebanggaan semu, kaku dan tanganYang congkak, tak mau menyayangiDan mencintai
Semua terlambat. Waktu, kehidupanYang berpacu dengan kematianSemua cepat tertinggalDan istanaku yang ditaburi tawaPiala kencana arakSerta wanita-wanita molek setengah telanjangMelebihi kayangan: Tak tahuKe mana akan melayangSeakan beribu pertanyaan yang kulupaMelepaskan panahnya tiba-tiba:
Tuhan, kepada apakah sekarangAku harus berpegang?
Kertanegara diamMerenungi ini: Ceruk kelam guaDalam dirinya sendiriBerserakan tulang belulangDan bangkaiTempat kelobaan dan kebohonganMerayakan pesta kemenangan
Tak kutahu, katanya —Arus yang tak terlihatDapat menjelmakan pasangDan kebisuan kawah yang ditekanDapat mendatangkan gempa dan keruntuhan
Pun tak kutahu: kemegahan iniKekayaan yang kutanam dan kupupuk iniHanya untuk memberi makan musuh-musuhku sendiri
Angin telah menolongkuAngin pula yang menjerumuskan akuDari mana datang bibit kekosongan ini?
Kertanegara kemudian meremas Buah dada seorang yogini Menelanjangi yang lain Mengecup seluruh tubuhnya Dan membaringkan yang lain lagi Seraya meneguk arak Terbang tinggi Lalu jatuh lagi ke bumi
Dulu aku matahariSatu-satunya matahariAku menyinari seluruh negeriAku menaklukkanDan tak pernah ditaklukkanHarimau-harimau kubekukDan nasib begitu periang padaku
Hidup terasa kekal selama iniAku merasa takkan pernah matiAku mencengkram di mana-manaMenanamkan cakar
Aku elang yang tak pernah salahMengintai dan menyergap mangsaTempatku tinggiTak dicapai pipit dan kelinci
Tapi dari mana bibit kekosongan ini datang?Seakan mencekik ruangMembuat kebisuan ingin berteriak lantang
Dari mana bibit kekosongan ini datang?Mengapa mereka yang lemah ituDapat tegak dan membuat tembok rumahku goncang?Mengapa mereka tak puas diberi makan?
Di langit mendung berarak Mengisi pikirannya yang dikosongkan tuak Dipandangnya jejak arus Dipandangnya segala yang cepat bergerak Awan, umur, rasa nikmat Di pangkuan keisengan dan mainan kanak-kanak Dibacanya buku tahun: silsilah kefanaan Dan kehancuran, serta sejarah Tempat tidur dan pandang Yang senantiasa bersimbah darah
Di situlah raja-raja bertahta, Bisik benaknya. Dan para pahlawan Mengasah senjata Seraya memahatkan nama-nama Sederet kehampaan yang disebut kemenangan Dan kemegahan
Di langit mendung berarak Dipandangnya segala yang cepat bergerak Juga kemarau di sana Kian menguak
Darimana datang bibit kekosongan ini?Mengapa aku tiba-tiba haus akan darahku sendiriMengapa keruntuhan ini sekan-akan jadi kelepasan bagiku?Mengapa membisu lebih sukar dari mengirim pasukan ke medan perang?
Ranggas kini rongga dadakuOleh kecemasan dan kebingungan yang kubalutDengan lagak dan senyumSelama bertahun-tahun
Kini aku diburuOleh liang kuburku sendiri
Aku yang berani ternyata pengecutAku yang menaklukkan kini gemetarIngin bertekuk lututNamun bukan main yang kutakutiKecuali kebencian yang tak bisa diselamatkanKepada diri sendiri
Dan terbuka akhirnyaBuku rahasiaKepada hatiku yang mulai bisa membacaHanacaraka karma dan samsaraAlifbata tamak dan dengki
Inilah ikhtisarnya: AkuAdalah sosok kebohonganDengan baju penuh hiasan indah
Aku darahYang tak pernah mencintai darahDan karenanya takkan diselamatkanOleh darah
Tikar zaman kubentang jadi gurunDan aku hangus sendiriBagai ikan di atas bara
Aku rindu air. Rindu hujanAku menengadah ke angkasa
Tuhan, mengapaAku jadi sebatangkara?
Kertanegara tercenung Lalu disepaknya kendi-kendi arak yang sudah kosong Menggelepar jiwanya Membayangkan musuh-musuhnya: Dulu mereka tak terdaya, kerabat dekat Besan dan menantu sendiri Yang entah mengapa berkhianat Barangkali keputusasaan Yang membuat mereka tiba-tiba tak gentar Dan dapat menggetarkan cakrawala Mereka adalah buku kebencian yang tak sempat kubaca
Ketika itu Tentara Jayakatwang Telah memperkuat kubu Mata-mata disebar ke seluruh penjuru Sebelum menyerbu Setiap mata pedang berkilat-kilat Haus akan isi perut dan lambung Seraya berpesta di bawah terang bulan Mereka tetapkan Arah angin dan gelombang Mereka adalah laut yang mulai pasang Mereka begitu berahi akan kemenangan
Dan di kamarnya Kertanegara memeluk seorang yogini Montok, buah dadanya rapat Dengan jepitan yang garang Dan siap telanjang Tapi Kertanegara tiba-tiba Berbisik pada diri sendiri Seraya mengecup bibir betinanya:
"Mengapa yang terasa nikmatKini terasa getir dan mencibir?Jalan yang kulaluiMenangis di lubuk hatiku?Begitu banyak darahMesti tumpah sia-siaTiada pahlawan sebenarnyaTiada rajaDan bumi, kudengarSenantiasa lapar pada buahnya sendiriPohonnya sendiriRanting rapuhnya sendiriDan seakan aku ini wayangYang dilempar sang dalangSebelum lakon usaiDan kisah pedih lain mulai
Tak ada yang perlu dibanggakanDan disombongkanDan manusiaBegitu cemar dan berbahaya."
Angin malam yang gusar Menerjang melayangkan daunan dan kelelawar Dan seluruh isi istana Gemetar mendengar raung kesunyian
Kertanegara melayang Di atas kapal oleng arak Dalam mabok Ia merasa tak berdosa Seperti anak-anak
Katanya: "Ya. Aku tak pernahMerasa berdosa seperti anak-anakAku membunuh tapi tak merasa membunuhAku membenci tapi merasa menyayangiAku menghancurkan tapi sebenarnya membangunAku loba tapi sebenarnya murah hatiKemegahan ini tidak untuk diriku sendiriWalaupun sebenarnya untuk diriku sendiri
Angin malam yang gusar Menerjang melayangkan daunan dan kelelawar Dan seluruh isi istana Patung, arca, periuk, bejana Gemetar mendengar raung kesunyian
Setelah sekali lagi Dia memeluk dan membaringkan tubuh yogini Dan meneguk dua cawan arak Tubuhnya terhuyung-huyung Jatuh dan terkulai Di atas lantai Hingga terbit fajar Dan bayang-bayang musuh Tapak-tapak kuda Lembing, pedang, tombak Kebakaran di desa-desa Ternak-ternak yang berlarian Anak-anak, orang tua, wanita bunting Yang terbirit-birit mengungsi Tergambar dalam benaknya Semuanya adalah jeritan Dan erangan yang tiba-tiba pecah Dan mulut waktu yang membisu Atau buah busuk yang berjatuhan
"Kini segalanya terangDan kumengertiMengapa mereka membalas dendamAku merasa sepi dan sebatangkaraKarena candi yang kubangunUntuk memuliakan dirikuTak bisa menolongkuPun kekuasaanYang kutimbun dan kupupukUntuk diriku sendiriAnakku, mengapa pada ketololanMesti kuabaikan diriku?
Awan beban yang sekarat iniMulai melayangBagai mendung keluh dan mimpi burukkuAku akan menjadi tangis yang pecah berderaiMendatangkan banjir di sungai-sungaiYang akan menenggelamkan kerajaanku
Maka kucabik kini kesetiaan butakuPada berhala kecongkaan dan kezalimanWalau terlambatKunista semangatku yang mudah terbiusOleh sanjungan dan puji-pujianDari lidah yang suka menjilatSebab itulah yang membuat lenganku lunglaiDan kaki jauh dari bumi
Anakku, kini kutahuKerakusanku hanya mendatangkanKelalaian dan kebodohanJika jiwa kekalSiksaan padanya juga kekal
Maka kumurkai sekali lagi lautKuaduk lumpur pada mata air hatiku yang terhentiDan pada gelombang kuhadapkan kesangsiankuNamun aku tak bisa telanjang di depan sang maut
Seakan: Angin yang pernah kutolakMengelak, kebohongan yang kutegakkanKembali berbohongSegala pegangan merapuhSetelah kurasa semakin kokohYang lemah mulai mengalahkan yang kuatDan semakin nekadSiang luruh setelah kerontangDan debu bersujudDi hadapan perubahanYang tak henti-hentiDan bumi yang bisuMulai menggerakkanGerahan-gerahannya dengan geramSebab buahya telah kunistakan
Ah, betapa sempit pilihan, Anakku!Di atas menara ini
Sebab buahnya telah kunistakanTernyata pemakan yang garang
Betapa sempit dan rumit pilihanMenyerah atau melawan
Sia-sia hidupkuSia-sia matikuSia-sia makanku yang lahapSia-sia tangankuNafsuku yang lobaSia-sia sembahyangkuYang pura-puraSia-sia riang dan gembirakuSia-sia tapa dan puasakuSia-sia pelukan gairahPada buah dada pualanSia-sia keluh dan igaku
Sia-sia rizeki dan keberuntungankuSia-sia
Dan aku ingin mencium tanahIbu jasadkuMengecup gelombangMelepaskan kefanaan bersama buihnya
Aku ingin melayangBersama jala hitam petangKe lubuk semesta yang kelam
TanangTak ingin dikenang
Aku hausPada darahku sendiriYang tertuangDi cawanPagi siang-siang
TuhanKau dekatTapi tak pernah kumengerti."
1983
Sumber: Horison (Agustus, 1989)
Puisi: Renungan Hari Akhir
Karya: Abdul Hadi WM
Biodata Abdul Hadi WM:
- Abdul Hadi WM (Abdul Hadi Widji Muthari) lahir di kota Sumenep, Madura, pada tanggal 24 Juni 1946.
- Abdul Hadi WM adalah salah satu tokoh Sastrawan Angkatan '66.