Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Renungan Hari Akhir (Karya Abdul Hadi WM)

Puisi | Renungan Hari Akhir | Karya | Abdul Hadi WM |
Kertanegara
Renungan Hari Akhir


        Singosari telah terkepung dari segala penjuru
        Di seluruh medan perajurit-perajurit baginda
        Telah dilumpuhkan dan kampung-kampung porak-poranda
        Tak ada lagi orang yang setia kepadanya
        Satu per satu lenyap dari istana
        Para pendeta dan brahmana telah menyeberang ke kubu musuh
        Kertanegara tak mengira akan begitu cepat
        senja menggempur singgasananya
        Seakan tak sempat keluh bisa diratapkan bersama hujan
        Dan gembira tahun menggulung tikarnya perlahan-lahan
        Meninggalkan beribu siksaan. Tak terbayang
        Bahwa kemegahan hanyalah bendera yang cepat kumal
        Tinggi digerek ke puncak tiang dan mengibarkan kekosongan
        Diambilnya secawan arak, direguknya. Terasa
        Di balik tirai yang tercampak
        Kelobaannya menyerupai leak di matanya sendiri
        Dan lantai bumi bergetar karena goncangan keras dari bawah
        Tak tertahankan lagi. Hingga pasang tak sabar menanti

Dari mana datang bibit ketiadaan ini?
Sekonyong-konyong menyembul tunasnya
Menjelma pokok pohon sepi, menjulang tinggi
Dengan daun dan buah gersang, melontarkan cemooh
Pada hari-hari lampauku yang keemasan. Seakan
Semua hanya bualan khayal dan keisengan — kursi,
Mahkota, ribuan upeti dan bintang jasa
Yang kuterima dan kusematkan. Kawan-kawan setia
Yang menjadi musuh dan musuh yang berpura-pura
Jadi teman setia. Semua mengaburkan pandangan
Dan desir angin yang selalu melelapkan tidurku
Kini penuh tenaga, mulai membongkar
Tiang-tiang tenda yang kukira kukuh sekali
Pintu persembunyian semakin digedor-gedor
Dan atap mulai runtuh. Tak ada agaknya
Yang harus lebih kudekatkan ke lubuk hati
Selain keluh bumi yang berat dan sekarat
Ditindih kebanggaan semu, kaku dan tangan
Yang congkak, tak mau menyayangi
Dan mencintai

Semua terlambat. Waktu, kehidupan
Yang berpacu dengan kematian
Semua cepat tertinggal
Dan istanaku yang ditaburi tawa
Piala kencana arak
Serta wanita-wanita molek setengah telanjang
Melebihi kayangan: Tak tahu
Ke mana akan melayang
Seakan beribu pertanyaan yang kulupa
Melepaskan panahnya tiba-tiba:

Tuhan, kepada apakah sekarang
Aku harus berpegang?

Kertanegara diam
Merenungi ini: Ceruk kelam gua
Dalam dirinya sendiri
Berserakan tulang belulang
Dan bangkai
Tempat kelobaan dan kebohongan
Merayakan pesta kemenangan

Tak kutahu, katanya —
Arus yang tak terlihat
Dapat menjelmakan pasang
Dan kebisuan kawah yang ditekan
Dapat mendatangkan gempa dan keruntuhan

Pun tak kutahu: kemegahan ini
Kekayaan yang kutanam dan kupupuk ini
Hanya untuk memberi makan musuh-musuhku sendiri

Angin telah menolongku
Angin pula yang menjerumuskan aku
Dari mana datang bibit kekosongan ini?

        Kertanegara kemudian meremas
        Buah dada seorang yogini
        Menelanjangi yang lain
        Mengecup seluruh tubuhnya
        Dan membaringkan yang lain lagi
        Seraya meneguk arak
        Terbang tinggi
        Lalu jatuh lagi ke bumi

Dulu aku matahari
Satu-satunya matahari
Aku menyinari seluruh negeri
Aku menaklukkan
Dan tak pernah ditaklukkan
Harimau-harimau kubekuk
Dan nasib begitu periang padaku

Hidup terasa kekal selama ini
Aku merasa takkan pernah mati
Aku mencengkram di mana-mana
Menanamkan cakar

Aku elang yang tak pernah salah
Mengintai dan menyergap mangsa
Tempatku tinggi
Tak dicapai pipit dan kelinci

Tapi dari mana bibit kekosongan ini datang?
Seakan mencekik ruang
Membuat kebisuan ingin berteriak lantang

Dari mana bibit kekosongan ini datang?
Mengapa mereka yang lemah itu
Dapat tegak dan membuat tembok rumahku goncang?
Mengapa mereka tak puas diberi makan?

        Di langit mendung berarak
        Mengisi pikirannya yang dikosongkan tuak
        Dipandangnya jejak arus
        Dipandangnya segala yang cepat bergerak
        Awan, umur, rasa nikmat
        Di pangkuan keisengan dan mainan kanak-kanak
        Dibacanya buku tahun: silsilah kefanaan
        Dan kehancuran, serta sejarah
        Tempat tidur dan pandang
        Yang senantiasa bersimbah darah

        Di situlah raja-raja bertahta,
        Bisik benaknya. Dan para pahlawan
        Mengasah senjata
        Seraya memahatkan nama-nama
        Sederet kehampaan yang disebut kemenangan
        Dan kemegahan

        Di langit mendung berarak
        Dipandangnya segala yang cepat bergerak
        Juga kemarau di sana
        Kian menguak

Darimana datang bibit kekosongan ini?
Mengapa aku tiba-tiba haus akan darahku sendiri
Mengapa keruntuhan ini sekan-akan jadi kelepasan bagiku?
Mengapa membisu lebih sukar dari mengirim pasukan ke medan perang?

Ranggas kini rongga dadaku
Oleh kecemasan dan kebingungan yang kubalut
Dengan lagak dan senyum
Selama bertahun-tahun

Kini aku diburu
Oleh liang kuburku sendiri

Aku yang berani ternyata pengecut
Aku yang menaklukkan kini gemetar
Ingin bertekuk lutut
Namun bukan main yang kutakuti
Kecuali kebencian yang tak bisa diselamatkan
Kepada diri sendiri

Dan terbuka akhirnya
Buku rahasia
Kepada hatiku yang mulai bisa membaca
Hanacaraka karma dan samsara
Alifbata tamak dan dengki

Inilah ikhtisarnya: Aku
Adalah sosok kebohongan
Dengan baju penuh hiasan indah

Aku darah
Yang tak pernah mencintai darah
Dan karenanya takkan diselamatkan
Oleh darah

Tikar zaman kubentang jadi gurun
Dan aku hangus sendiri
Bagai ikan di atas bara

Aku rindu air. Rindu hujan
Aku menengadah ke angkasa

Tuhan, mengapa
Aku jadi sebatangkara?

        Kertanegara tercenung
        Lalu disepaknya kendi-kendi arak yang sudah kosong
        Menggelepar jiwanya
        Membayangkan musuh-musuhnya:
        Dulu mereka tak terdaya, kerabat dekat
        Besan dan menantu sendiri
        Yang entah mengapa berkhianat
        Barangkali keputusasaan
        Yang membuat mereka tiba-tiba tak gentar
        Dan dapat menggetarkan cakrawala
        Mereka adalah buku kebencian yang tak sempat kubaca

        Ketika itu
        Tentara Jayakatwang
        Telah memperkuat kubu
        Mata-mata disebar ke seluruh penjuru
        Sebelum menyerbu
        Setiap mata pedang berkilat-kilat
        Haus akan isi perut dan lambung
        Seraya berpesta di bawah terang bulan
        Mereka tetapkan
        Arah angin dan gelombang
        Mereka adalah laut yang mulai pasang
        Mereka begitu berahi akan kemenangan

        Dan di kamarnya
        Kertanegara memeluk seorang yogini
        Montok, buah dadanya rapat
        Dengan jepitan yang garang
        Dan siap telanjang
        Tapi Kertanegara tiba-tiba
        Berbisik pada diri sendiri
        Seraya mengecup bibir betinanya:

"Mengapa yang terasa nikmat
Kini terasa getir dan mencibir?
Jalan yang kulalui
Menangis di lubuk hatiku?
Begitu banyak darah
Mesti tumpah sia-sia
Tiada pahlawan sebenarnya
Tiada raja
Dan bumi, kudengar
Senantiasa lapar pada buahnya sendiri
Pohonnya sendiri
Ranting rapuhnya sendiri
Dan seakan aku ini wayang
Yang dilempar sang dalang
Sebelum lakon usai
Dan kisah pedih lain mulai

Tak ada yang perlu dibanggakan
Dan disombongkan
Dan manusia
Begitu cemar dan berbahaya."

        Angin malam yang gusar
        Menerjang melayangkan daunan dan kelelawar
        Dan seluruh isi istana
        Gemetar mendengar raung kesunyian

        Kertanegara melayang
        Di atas kapal oleng arak
        Dalam mabok
        Ia merasa tak berdosa
        Seperti anak-anak

Katanya: "Ya. Aku tak pernah
Merasa berdosa seperti anak-anak
Aku membunuh tapi tak merasa membunuh
Aku membenci tapi merasa menyayangi
Aku menghancurkan tapi sebenarnya membangun
Aku loba tapi sebenarnya murah hati
Kemegahan ini tidak untuk diriku sendiri
Walaupun sebenarnya untuk diriku sendiri

        Angin malam yang gusar
        Menerjang melayangkan daunan dan kelelawar
        Dan seluruh isi istana
        Patung, arca, periuk, bejana
        Gemetar mendengar raung kesunyian

        Setelah sekali lagi
        Dia memeluk dan membaringkan tubuh yogini
        Dan meneguk dua cawan arak
        Tubuhnya terhuyung-huyung
        Jatuh dan terkulai
        Di atas lantai
        Hingga terbit fajar
        Dan bayang-bayang musuh
        Tapak-tapak kuda
        Lembing, pedang, tombak
        Kebakaran di desa-desa
        Ternak-ternak yang berlarian
        Anak-anak, orang tua, wanita bunting
        Yang terbirit-birit mengungsi
        Tergambar dalam benaknya
        Semuanya adalah jeritan
        Dan erangan yang tiba-tiba pecah
        Dan mulut waktu yang membisu
        Atau buah busuk yang berjatuhan

"Kini segalanya terang
Dan kumengerti
Mengapa mereka membalas dendam
Aku merasa sepi dan sebatangkara
Karena candi yang kubangun
Untuk memuliakan diriku
Tak bisa menolongku
Pun kekuasaan
Yang kutimbun dan kupupuk
Untuk diriku sendiri
Anakku, mengapa pada ketololan
Mesti kuabaikan diriku?

Awan beban yang sekarat ini
Mulai melayang
Bagai mendung keluh dan mimpi burukku
Aku akan menjadi tangis yang pecah berderai
Mendatangkan banjir di sungai-sungai
Yang akan menenggelamkan kerajaanku

Maka kucabik kini kesetiaan butaku
Pada berhala kecongkaan dan kezaliman
Walau terlambat
Kunista semangatku yang mudah terbius
Oleh sanjungan dan puji-pujian
Dari lidah yang suka menjilat
Sebab itulah yang membuat lenganku lunglai
Dan kaki jauh dari bumi

Anakku, kini kutahu
Kerakusanku hanya mendatangkan
Kelalaian dan kebodohan
Jika jiwa kekal
Siksaan padanya juga kekal

Maka kumurkai sekali lagi laut
Kuaduk lumpur pada mata air hatiku yang terhenti
Dan pada gelombang kuhadapkan kesangsianku
Namun aku tak bisa telanjang di depan sang maut

Seakan: Angin yang pernah kutolak
Mengelak, kebohongan yang kutegakkan
Kembali berbohong
Segala pegangan merapuh
Setelah kurasa semakin kokoh
Yang lemah mulai mengalahkan yang kuat
Dan semakin nekad
Siang luruh setelah kerontang
Dan debu bersujud
Di hadapan perubahan
Yang tak henti-henti
Dan bumi yang bisu
Mulai menggerakkan
Gerahan-gerahannya dengan geram
Sebab buahya telah kunistakan

Ah, betapa sempit pilihan, Anakku!
Di atas menara ini

Sebab buahnya telah kunistakan
Ternyata pemakan yang garang

Betapa sempit dan rumit pilihan
Menyerah atau melawan

Sia-sia hidupku
Sia-sia matiku
Sia-sia makanku yang lahap
Sia-sia tanganku
Nafsuku yang loba
Sia-sia sembahyangku
Yang pura-pura
Sia-sia riang dan gembiraku
Sia-sia tapa dan puasaku
Sia-sia pelukan gairah
Pada buah dada pualan
Sia-sia keluh dan igaku

Sia-sia rizeki dan keberuntunganku
Sia-sia

Dan aku ingin mencium tanah
Ibu jasadku
Mengecup gelombang
Melepaskan kefanaan bersama buihnya

Aku ingin melayang
Bersama jala hitam petang
Ke lubuk semesta yang kelam

Tanang
Tak ingin dikenang

Aku haus
Pada darahku sendiri
Yang tertuang
Di cawan
Pagi siang-siang

Tuhan
Kau dekat
Tapi tak pernah kumengerti."


1983

Sumber: Horison (Agustus, 1989)

Puisi Renungan Hari Akhir
Puisi: Renungan Hari Akhir
Karya: Abdul Hadi WM

Biodata Abdul Hadi WM:
  • Abdul Hadi WM (Abdul Hadi Widji Muthari) lahir di kota Sumenep, Madura, pada tanggal 24 Juni 1946.
  • Abdul Hadi WM adalah salah satu tokoh Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.