Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Ibu (Karya Shinta Miranda)

Puisi "Ibu" karya Shinta Miranda menghadirkan pengalaman puitis yang memilukan dan merenungkan tentang kehilangan seorang ibu.
Ibu


Engkau tak pernah mengajarku
Mengatupkan kedua tangan kecilku
Meski langit gelap dan kesiap hati
Membawaku ingin berlari padamu
Wajahmu dingin matamu membuang kejora
Yang pernah kulihat dulu

Di mana jemari yang dulu gemulai bermain di atas dawai benang
Menjalin lembar demi lembar kehidupan tempat kita menabur
Lalu menuai berbagai bulir bulir bernas seperti gugusan bintang?

Kemudian di hari hitam pekat
Kau pergi membawa kain kerudung
Menutupi wajah dan merentangkan kedua tanganmu
Ke atas langit
Dalam gemuruh angin menampung badai
Tiada kulihat kakimu gontai

Aku menyusulmu berlari
Namun kaki terjerat di tanah merah likat
Kupanggil engkau seperti di hari rahimmu
Menghantarku dahulu
Getar bumi bundar memaksaku menekuk
Kedua lutut dalam gemetar

Lambaian kerudung putihmu
Masih kulihat ketika air laut pasang
Semakin jauh sebuah sauh
Membawamu ke tengah lautan penuh
Dengan mata tertutup
Kukatupkan kedua tangan kecilku menyatu

17 Mei 2010

Sumber: Constance (2011)
Analisis Puisi:
Puisi "Ibu" karya Shinta Miranda menghadirkan pengalaman puitis yang memilukan dan merenungkan tentang kehilangan seorang ibu.

Pengantar Kesedihan dan Keinginan untuk Berlari Padamu: Puisi ini dibuka dengan ungkapan rindu dan keinginan untuk berlari kepada ibu, meski kehadiran ibu tak pernah mengajarkan untuk mengatupkan kedua tangan kecilnya. Langit yang gelap dan kejora yang tak terlihat lagi menciptakan suasana kesedihan yang mendalam.

Kenangan Terhadap Jemari yang Gemulai: Penyair merindukan jemari ibu yang dulu gemulai bermain di atas dawai benang, menjiplak kehidupan dengan menjalin lembar demi lembar. Metafora gugusan bintang menciptakan gambaran keindahan dan keajaiban dalam perjalanan hidup yang ditempuh bersama.

Hari Kehilangan dan Kematian Ibu: Puisi menggambarkan hari kehilangan dan kematian ibu sebagai momen penuh kesedihan dan kepergian. Kain kerudung yang menutupi wajah dan kedua tangan yang merentangkan ke atas langit menciptakan citra perpisahan yang dramatis dan memilukan.

Momen Berlari dan Tanah Merah Likat: Penyair menciptakan gambaran anak yang berusaha menyusul ibu yang telah pergi. Namun, tanah merah likat menjadi penghalang yang tak terkalahkan, menciptakan konflik antara keinginan untuk berlari dan keterikatan pada tanah dan kenangan.

Lambaian Kerudung Putih dan Masa Lalu yang Menghantui: Lambaian kerudung putih ibu yang masih terlihat ketika air laut pasang menciptakan gambaran yang mempesona dan menghantui. Saat melihat sauh semakin jauh membawa ibu ke tengah lautan, puisi menciptakan suasana perpisahan yang penuh emosi.

Getar Bumi Bundar dan Kesadaran Akan Keterikatan: Getar bumi bundar menjadi metafora untuk kesadaran akan keterikatan dan keberadaan di dunia. Keterikatan yang membuat anak tak bisa berlari begitu saja dan harus mempertimbangkan tanah yang memegangnya.

Kesatuan dalam Kepiluan: Penutup puisi menciptakan gambaran kesatuan dalam kepiluan, ketika anak mengejar ibu yang telah pergi dengan mengatupkan kedua tangan kecilnya. Kesatuan ini mencerminkan ketidakberdayaan dan kesedihan anak yang tidak dapat mencapai ibu yang telah pergi.

Puisi "Ibu" karya Shinta Miranda merangkai kata-kata dengan kepekaan dan keindahan yang menggambarkan kehilangan seorang ibu. Dengan menghadirkan gambaran tentang kenangan, perpisahan, dan keinginan untuk berlari kepada ibu, puisi ini menciptakan suasana puitis yang merenungkan dan mendalam.

Puisi
Puisi: Ibu
Karya: Shinta Miranda

Biodata Shinta Miranda:
  • Shinta Miranda lahir pada tanggal 18 Mei 1955 di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.