Ziarah Jiwa
untuk ketiga anak-anakku
Lembar demi lembar kertas kusut masai
Bertebaran di meja tulisku
Berganti hari menjadi seperti itu
Hasrat lekat kuat melebur
Dalam bentang waktu tak pernah terkubur
Angan yang satu bagai awan satu dengan langit membentang
Kuingin meniti satu demi satu kata
Seperti melangkah dalam hidup kembara
Kuingin menganyam suara hati
Menjadi permadani puisi ziarah jiwa
Tak pernah lepas dari relung-relung batu karang
Yang terhempas ombak
Bila saatnya tiba
Bila saatnya tiba
Menjadi pelita bagi gelap yang pasti
Lembar demi lembar kertas kusut masai
Menjadi pustaka hadirat diri
Dalam lintang waktu tak berbatas
Cuma ini yang aku mampu
Persembahan sudra dalam kelananya
20 Agustus 2009
Sumber: Constance (2011)
Analisis Puisi:
Puisi "Ziarah Jiwa" karya Shinta Miranda merangkai kata-kata dengan indah untuk menyampaikan keinginan penulis untuk mengekspresikan perasaan dan pemikirannya.
Metafora Lembar Kertas sebagai Hidup: Puisi ini dimulai dengan gambaran lembar demi lembar kertas yang kusut dan bertebaran di meja. Hal ini dapat diartikan sebagai metafora kehidupan yang kompleks dan terkadang tidak teratur. Lembaran kertas mencerminkan peristiwa-peristiwa dalam hidup yang datang dan pergi, bergantian di meja tulis kehidupan.
Perubahan Waktu dan Hasrat yang Melebur: Penyair menyampaikan bahwa kertas tersebut berganti hari dan hasratnya lekat kuat melebur. Ini menciptakan gambaran akan perubahan waktu dan bagaimana hasrat atau keinginan seseorang dapat terus bertransformasi. Puisi ini mencerminkan dinamika kehidupan yang terus bergerak maju.
Angan yang Menjadi Bagian dari Langit: Pernyataan "Angan yang satu bagai awan satu dengan langit membentang" memberikan kesan tentang besarnya mimpi atau angan-angan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Langit di sini mungkin mencerminkan kebebasan dan keluasan untuk bermimpi dan berangan-angan.
Proses Meniti Kata dan Hidup Kembara: Penyair menyatakan keinginannya untuk "meniti satu demi satu kata seperti melangkah dalam hidup kembara." Ini menciptakan gambaran perjalanan pencarian makna hidup dan eksplorasi dalam menghadapi tantangan serta menemukan kebenaran melalui kata-kata dan pengalaman hidup.
Menganyam Suara Hati Menjadi Puisi Ziarah Jiwa: Pernyataan "Kuingin menganyam suara hati menjadi permadani puisi ziarah jiwa" mencirikan proses penciptaan puisi sebagai upaya untuk menggabungkan suara hati dan perasaan ke dalam kata-kata yang membangun puisi sebagai ziarah jiwa. Puisi di sini dianggap sebagai sarana untuk merenung dan merayakan jiwa.
Relasi dengan Alam dan Alam Batin: Metafora batu karang yang terhempas ombak menciptakan keterkaitan dengan alam. Batu karang yang terhempas ombak mencerminkan kekuatan dan ketahanan dalam menghadapi perubahan. Dalam konteks ini, alam dijadikan cermin bagi perjalanan jiwa.
Pelita bagi Gelap yang Pasti: Pernyataan "Menjadi pelita bagi gelap yang pasti" memberikan gambaran tentang makna dan tujuan hidup. Puisi ini mencoba menjadi sumber cahaya atau pencerahan dalam situasi gelap dan tak terhindarkan.
Sudra dalam Kelananya: Puisi diakhiri dengan ungkapan "Cuma ini yang aku mampu, Persembahan sudra dalam kelananya." Istilah "sudra" mungkin merujuk pada lapisan masyarakat yang lebih rendah atau seorang yang menolong tanpa pamrih. Puisi ini mungkin mencerminkan ketidaksempurnaan manusia dan usaha sederhana untuk memberikan kontribusi pada kehidupan.
Puisi "Ziarah Jiwa" menampilkan keinginan penyair untuk menyajikan perasaan dan pemikirannya melalui proses menulis. Dengan metafora kehidupan dan penggunaan kata-kata yang indah, puisi ini menciptakan sebuah perjalanan melalui waktu, pengalaman, dan perasaan batin.
Karya: Shinta Miranda
Biodata Shinta Miranda:
- Shinta Miranda lahir pada tanggal 18 Mei 1955 di Jakarta.
