Wonokromo
Wonokromo adalah leher botol
Ke tembolok Surabaya melahap dan muntahan apa dan siapa saja
Tak peduli basa-basimu, sumpah serapah, protes atau acungan jempol
Bahkan sindiran atas jalan layang
Cuma sejengkal dari kontraktor atau birokrat
Leher makin menjerat simpul ketat di kerah putih tegang
Napas berat lewat pori-pori yang meregang
Wonokromo adalah hinterland, distrik udik, dulu
Trem uap dan trem listrik berhenti di halte
Seberang sungai
Kebun binatang, Darmo Boulevard, kerlap-kerlip kotaraya
Seberang sungai
Di sini kancah buangan dan mimpi orang usiran
Pencopet, pelacur, begundal, buronan
Mengendap di kampung-kampung yang tumbuh sendiri
Atau sembunyi di hutan lalang timur stasiun kereta api
Gerbong-gerbong pengusung pendatang atau calon gelandangan
Ulang-alik
pesisir-pedalaman
siang malam
"Kalau ke Wonokromo, jangan lupa belikan
jajan pasar atau ayam goreng di warung karen
Kedai sisa jilatan api dan penggalan trotoar
Sampaikan salam ke penjaga karcis
Di gedung dulu ludruk kini bioskop."
Wonokromo menampung dan menanggung mereka
bersama air bah coklat rasa gatal ulat
Seperti emak susuan tak pernah nyapih
Sampai busung cacingan ular atau naga
Siap meledak kuman-kumannya
Wonokromo adalah monumen
Pasar terbakar
1995
Sumber: Pohon Bernyanyi (2012)
Analisis Puisi:
Puisi "Wonokromo" karya Akhudiat adalah suatu penjelajahan melalui realitas urban yang keras dan hidup marginal di tengah pusat kota. Akhudiat membawa pembaca ke kawasan Wonokromo dengan bahasa yang tajam dan gambaran yang kuat, memberikan wawasan mendalam tentang kompleksitas kehidupan di tempat ini.
Wonokromo sebagai Simbol Ketidaksetaraan: Bait pertama memulai dengan menggambarkan Wonokromo sebagai "leher botol," suatu simbol ketidaksetaraan dan penindasan. Kota Surabaya, melalap dan muntahkan apa saja, menciptakan citra urban yang kejam dan tak kenal ampun terhadap siapa pun, tanpa memedulikan lapisan masyarakat.
Kisah Hinterland, Perjalanan dari Distrik Udik: Puisi terus menggambarkan perjalanan Wonokromo dari status hinterland dan distrik udik menjadi bagian dari kota Surabaya yang lebih maju. Namun, keberadaan Wonokromo tetap terikat dengan kenyataan keras, menjadi tempat berkumpulnya mereka yang terpinggirkan.
Potret Kehidupan Marginal dan Pelarian: Kehidupan di Wonokromo tercermin melalui gambaran trem, kebun binatang, dan Darmo Boulevard. Ini menciptakan citra kehidupan marginal dan pelarian di distrik ini. Pencopet, pelacur, begundal, dan buronan berkeliaran di kampung-kampung yang tumbuh sendiri atau menyembunyikan diri di hutan lalang.
Realitas Perpindahan dan Kehadiran Pengusung Pendatang: Gambarkan gerbong-gerbong pengusung pendatang atau calon gelandangan yang terus berulang-ulang mencerminkan realitas perpindahan penduduk dan kehadiran mereka di tengah-tengah kehidupan kota. Wonokromo menjadi saksi bisu siang malam, terus menanggung beban urban yang semakin berat.
Kehidupan Sehari-hari di Wonokromo: Petikan percakapan tentang jajan pasar, ayam goreng, dan sisa-sisa jilatan api menciptakan gambaran kehidupan sehari-hari di Wonokromo. Kehadiran bioskop yang dulunya ludruk menunjukkan perubahan sosial dan budaya di tengah-tengah perkembangan kota.
Monumen Pasar Terbakar: Simbol Kejatuhan dan Kekuatan: Puisi berakhir dengan menggambarkan Wonokromo sebagai monumen pasar terbakar. Pasar yang terbakar menjadi simbol kejatuhan, tetapi sekaligus menjadi monumen yang menguatkan keberanian dan ketahanan Wonokromo dalam menghadapi segala tantangan.
Melalui puisi "Wonokromo," Akhudiat memberikan gambaran tentang realitas pahit kehidupan urban dan keberanian mereka yang hidup di tepi kota. Wonokromo bukan hanya tempat, tetapi juga simbol perjuangan, daya tahan, dan kekuatan di tengah tantangan kehidupan kota modern.
Karya: Akhudiat
Biodata Akhudiat:
- Akhudiat lahir pada tanggal 5 Mei 1946 di Rogojampi, Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia.
- Akhudiat meninggal dunia pada tanggal 7 Agustus 2021 Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.
