Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Tepi Sebuah Telaga (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Di Tepi Sebuah Telaga" karya Gunoto Saparie menggambarkan perenungan mendalam terhadap diri sendiri dan perasaan cinta di tengah kesunyian ....
Di Tepi Sebuah Telaga

dalam hening dan bening telaga
ada bisik suara angin kemarau
bercermin wajah dan sukmaku
ada bayang-bayang penuh rahasia

sebelum dedaunan kering jatuh
isyarat rindu dendam pun bisa fana
ada jejak dan saksi pertemuan kita 
ada degup denyar cinta yang jauh

dalam sepi dan sunyi telaga
ketika senja muram pun bisu
ketika aku mendadak berkaca:
benarkah, tuan, benarkah ini parasku?

2023

Analisis Puisi:

Puisi "Di Tepi Sebuah Telaga" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya yang menggambarkan perenungan mendalam terhadap diri sendiri dan perasaan cinta di tengah kesunyian alam. Dengan menggunakan simbolisme alam seperti telaga, angin kemarau, dan dedaunan, puisi ini mengajak pembaca untuk meresapi keheningan dan merenungkan makna cinta serta identitas diri.

Tema dan Makna

Tema utama dari puisi ini adalah introspeksi diri dan perasaan cinta yang mendalam. Puisi ini mengisahkan tentang seseorang yang merenung di tepi sebuah telaga, memikirkan tentang cinta dan keberadaan dirinya sendiri. Telaga sebagai simbol ketenangan dan refleksi digunakan untuk menggambarkan proses perenungan ini.

Struktur dan Gaya Bahasa

Puisi ini terdiri dari tiga bait, masing-masing berisi empat baris. Strukturnya yang teratur mencerminkan ketenangan dan keteraturan suasana di tepi telaga. Gunoto Saparie menggunakan bahasa yang puitis dan simbolik, dengan banyak rujukan pada alam untuk menggambarkan perasaan dan pikiran si penyair.
  1. Pada bait pertama, telaga digambarkan sebagai tempat yang hening dan bening, mencerminkan kedamaian dan kejernihan pikiran. Bisikan angin kemarau menambahkan elemen alam yang memperkuat suasana sunyi. "Bercermin wajah dan sukmaku" mengindikasikan bahwa telaga ini tidak hanya mencerminkan fisik tetapi juga jiwa si penyair, menunjukkan kedalaman introspeksi yang sedang berlangsung. Bayang-bayang yang penuh rahasia melambangkan hal-hal tersembunyi dalam diri yang mungkin belum terungkap.
  2. Bait kedua membawa pembaca pada musim kemarau, ketika dedaunan mulai kering dan jatuh. Ini bisa diartikan sebagai lambang kefanaan dan ketidakabadian. Rindu dan dendam pun dianggap bisa menjadi fana, menggambarkan perasaan yang datang dan pergi. Jejak pertemuan dan degup cinta yang jauh menggambarkan memori cinta yang mungkin sudah lama berlalu namun masih terasa jauh di dalam hati.
  3. Pada bait ketiga, suasana semakin sunyi dan sepi. Senja yang muram dan bisu menambah nuansa melankolis. Ketika si penyair berkaca di telaga, muncul keraguan tentang identitas diri: "Benarkah, tuan, benarkah ini parasku?" Ini menunjukkan perenungan mendalam tentang siapa dirinya sebenarnya, sebuah pencarian jati diri yang dihadapi dalam keheningan alam.
Puisi "Di Tepi Sebuah Telaga" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya yang memadukan elemen alam dan perasaan manusia dalam sebuah perenungan yang mendalam. Melalui simbolisme telaga, angin, dan dedaunan, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang cinta, rindu, dan identitas diri. Gunoto Saparie berhasil menangkap esensi dari introspeksi dan kedalaman perasaan dengan bahasa yang puitis dan simbolik, menjadikan puisi ini sebuah karya yang menyentuh dan menggugah pemikiran.

Gunoto Saparie
Puisi: Di Tepi Sebuah Telaga
Karya: Gunoto Saparie

Biodata Gunoto Saparie:
Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Negeri Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Negeri Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, kolom, dan artikel tentang kesenian, ekonomi, politik, dan agama, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), Mendung, Kabut, dan Lain-Lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019), dan Lirik (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2020).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).

Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.

Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia pernah menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta). Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).

Saat ini Gunoto Saparie menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia ‘Satupena’ Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.