Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Menyusuri Malioboro (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Menyusuri Malioboro" karya Gunoto Saparie menggambarkan perjalanan fisik sekaligus perjalanan emosional menyusuri Malioboro, sebuah jalan ....
Menyusuri Malioboro

berjalan menyusuri malioboro
setelah melintasi pasar kembang
di manakah penyair tua nan ompong
yang dulu bermimpi menembus sabana?

zaman ternyata telah berubah
tahun-tahun berlalu begitu saja
tiada lagi persahabatan dan sastra
gerimis senja memperdalam rasa pedih

umbu, warno, dan linus telah pergi
begitu juga iman, teguh, dan arwan
tahun-tahun cuma tinggal ingatan
tinggal emha dan soeparno bernyanyi

berjalan menyusuri malioboro
sebelum melintasi ruang dan waktu
apakah puisi kini hanya bisa terbaring lesu?
apakah buku-buku kini tak lagi terbaca?

2023

Analisis Puisi:

Puisi "Menyusuri Malioboro" karya Gunoto Saparie adalah sebuah puisi reflektif yang menggambarkan nostalgia dan perubahan yang terjadi seiring berjalannya waktu. Puisi ini menelusuri kenangan masa lalu dan perasaan kehilangan terhadap para penyair dan atmosfer sastra yang pernah hidup di sekitar Malioboro. Dengan bahasa yang sederhana namun penuh makna, Gunoto Saparie menggambarkan perjalanan fisik sekaligus perjalanan emosional menyusuri Malioboro, sebuah jalan ikonik di Yogyakarta.

Tema dan Makna

Tema utama dalam puisi ini adalah nostalgia dan perubahan. Penyair meratapi hilangnya masa-masa kejayaan sastra dan persahabatan di Malioboro. Puisi ini menggambarkan bagaimana waktu telah mengubah segalanya, meninggalkan hanya ingatan dan perasaan pedih. Ada juga tema kebingungan dan kekecewaan terhadap kondisi puisi dan buku-buku di masa kini, yang seakan-akan kehilangan makna dan kehidupan.

Struktur dan Gaya Bahasa

Puisi ini terdiri dari empat bait, masing-masing dengan empat baris. Struktur yang sederhana ini mencerminkan keteraturan dalam mengungkapkan perasaan yang kompleks. Gunoto Saparie menggunakan bahasa yang lugas namun puitis, dengan penggunaan simbolisme dan referensi historis untuk memperkuat pesan yang ingin disampaikan.
  • Bait pertama menggambarkan perjalanan fisik menyusuri Malioboro, dimulai dari pasar kembang. Pertanyaan retoris mengenai keberadaan penyair tua yang bermimpi menembus sabana menunjukkan kerinduan terhadap sosok penyair masa lalu yang penuh semangat dan idealisme. Penyair tua yang ompong menjadi simbol dari kejayaan masa lalu yang telah pudar.
  • Bait kedua menggambarkan perubahan zaman dan hilangnya persahabatan serta sastra yang dulu mengisi Malioboro. Gerimis senja memperdalam rasa pedih, menciptakan suasana melankolis dan kesedihan yang mendalam. Ini menekankan perasaan kehilangan dan kerinduan terhadap masa lalu yang tak mungkin kembali.
  • Bait ketiga menyebutkan nama-nama penyair yang telah pergi, meninggalkan hanya ingatan tentang mereka. Emha dan Soeparno yang masih bernyanyi menjadi simbol dari sisa-sisa kejayaan masa lalu yang masih bertahan, namun dalam konteks yang berbeda. Ini menunjukkan bagaimana hanya sedikit yang tetap bertahan dari era keemasan sastra tersebut.
  • Bait keempat kembali menggambarkan perjalanan menyusuri Malioboro, namun kali ini dengan perenungan yang lebih dalam. Pertanyaan retoris mengenai puisi yang terbaring lesu dan buku-buku yang tak lagi terbaca menunjukkan kekecewaan terhadap kondisi sastra dan literasi di masa kini. Ini mengungkapkan kekhawatiran bahwa semangat dan apresiasi terhadap sastra mungkin telah memudar.
Puisi "Menyusuri Malioboro" karya Gunoto Saparie adalah puisi yang penuh dengan nostalgia dan refleksi terhadap perubahan yang terjadi seiring berjalannya waktu. Melalui bahasa yang sederhana namun penuh makna, Gunoto menggambarkan perjalanan fisik dan emosional yang menyusuri kenangan masa lalu di Malioboro. Puisi ini menggambarkan kerinduan terhadap kejayaan masa lalu, perasaan kehilangan terhadap para penyair yang telah pergi, dan kekecewaan terhadap kondisi sastra di masa kini. Dengan demikian, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya menjaga dan menghargai warisan sastra serta persahabatan yang pernah ada.

Gunoto Saparie
Puisi: Menyusuri Malioboro
Karya: Gunoto Saparie

Biodata Gunoto Saparie:
Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Negeri Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Negeri Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, kolom, dan artikel tentang kesenian, ekonomi, politik, dan agama, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), Mendung, Kabut, dan Lain-Lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019), dan Lirik (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2020).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).

Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.

Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia pernah menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta). Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).

Saat ini Gunoto Saparie menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia ‘Satupena’ Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.