Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Gending Pulebahasan (Karya Badruddin Emce)

Puisi "Gending Pulebahasan" karya Badruddin Emce mengajak pembaca untuk merenungkan tentang makna kehidupan, perjuangan, dan pentingnya keteguhan ...
Gending Pulebahasan (1)
(Daryono Yunani)

Suaramu teramat keras, Saudara! –

Tiada lain besi bekas
ditempa nada-nada orang tandang
menagih hutang.

Pukulanmu tak kalah keras,
Saudara! –

Si muka bopeng,
turunan kawincampur Gombong-Ambal,
musti bikin jago lain terjungkal.

Atau surut bersama air laut
sebelum sempat mendengar
kluruk tantangan yang kauajarkan.

Maka sepanjang hayat,
si surut tak pernah ngambah
kalangan lemah-pasir celah bakau Tritih Kulon.

Gending Pulebahasan (2)

Saudara, kayu tabuh tak juga kaulepas! –

Kresna Triwikrama,
lukisan nuntut lek-lekan dua bulan itu,
masih tergantung di ruang tamu.

Lantas para juragan
yang ingin dibilang dekat rakyat,
kapan bisa memiliki?

Sederhana saja, Saudara!
Tahun ini putrimu kembali naik kelas.
Tas sekolah, buku dan sepeda baru
kiranya perlu sebagai hadiah.

Gending Pulebahasan (3)

"Tidak begitu!" –
tiba-tiba engkau bangkit.

– Semua akan baik, jika yakin akan baik!
Percaya saja, seiring waktu
bersamaku kelak anak ini tahu!

Garis dan warna-warna ini
telah kupersembahkan
bagi juragan yang berani nglakoni
gembira-duka pohon besar Nusakambangan :

Pulebahas!


Gending Pulebahasan (4)

 
Kini juraganku menjadi biji buah pahit.
Entah bagaimana burung berparuh ceroboh
meninggalkannya di ceruk batu,
di sebuah dasar jurang tak terjangkau
terang tangan siang.

Hiduppun seperti tidur yang disusupi mimpi.

Kadang melelahkan.
Tak jarang menakutkan.


Gending Pulebahasan (5)


Bagaimana hidup yang sia-sia
jadi bertampang hebat?
Menjadi biji buah pahit,
dengan akar dan tunas pertamanya,
juraganku coba meraihsentuh
sesungguhnya hujan.

O, air. Betapa saat melintas angkasa,
lalu tanah,
berusaha tetap jadi diri sejati.
Maka meski hanya biji buah pahit,
juraganku tetap gemetar.
Butuh sandaran.
Nafas kekasih di siang juga malam.

Entah seperti apa.
Tak perlu bernama Ciptarasa,
sosok gemulai bagai dari angkasa.
Terpenting bisa mengikuti-memahami.

Tetapi di antara rumput,
siapa akan nanggap?
Tetap saja, juraganku dianggap gampang tercerabut.

Gending Pulebahasan (6)

Entah bagaimana, menjadi biji buah pahit
yang tak digadang, justru membuat juraganku
leluasa mencaritentukan harga kebersamaan :

Pohon besar tidak akan merebut
apa yang jadi bagian rumput.
Dengan akar musti mencari
yang lebih tersembunyi
sekaligus tak gampang hanyut.

Sedangkan dahan, musti jadi tangkringan
semua canda,
meski di antara tawa ada yang berbisa.


Gending Pulebahasan (7)


Mungkin belajar jadi pohon besar
yang berabad menjaga kedalaman jurang
dan ketinggian tebing menghadang.

Sejak disentuh kegembiraan,
juraganku suka mengundang celeng
dan harimau, tidur dalam satu lubang.

Kadang mempertemukan
cahaya dengan gelapnya di bawah rimbun pandan.

Gending Pulebahasan (8)

Jika juragan-juragan seberang sampai tahu,
sungguh itu laku sembrana!
Dan cepat atau lambat semua pasti tahu.

Dan untuk tahu lebih dalam
Kamandaka akhirnya menyamar jadi kegelapan.
Dimakhkotai bintang,
diiring jerit kera-kera ketakutan,
memasuki malam juraganku.

Saudara, aku tak ragu,
begitu yang dihadapi juraganmu.

Selalu begitu yang dihadapi para juragan?

Gending Pulebahasan (9)

Bait demi bait, syair yang engkau nyanyikan
meninggalkan sebuah titik malam.
Meninggalkan sesuatu yang dipatok :

sosok buas titisan dewa memenuhi kanvas!

Bait demi bait
berjalan ke timur.

Tetapi di sana,
di pagi yang hujan,
putrimu berangkat sekolah dengan payung tetangga.

Kroya, 2010

Analisis Puisi:

Puisi "Gending Pulebahasan" karya Badruddin Emce merupakan rangkaian puisi panjang yang kaya dengan metafora, simbolisme, dan kritik sosial. Karya ini terdiri dari sembilan bagian, yang masing-masing menawarkan pandangan yang mendalam tentang kondisi kehidupan, perjuangan, dan filosofi hidup yang dihadapi oleh seorang "juragan" (pemimpin atau orang penting) dalam konteks budaya Jawa. Puisi ini menggambarkan perjalanan emosional dan spiritual seorang individu yang mencoba mencari makna di tengah kehidupan yang penuh dengan tantangan dan kontradiksi.

Bagian 1: Suara dan Perjuangan

Puisi ini dibuka dengan gambaran seorang "Saudara" yang suaranya keras seperti "besi bekas ditempa" — ini adalah metafora untuk kekuatan dan ketegasan dalam menghadapi hidup. Suara ini bisa diartikan sebagai seruan untuk perjuangan atau penegasan diri di hadapan dunia yang penuh tantangan.

"Tiada lain besi bekas / ditempa nada-nada orang tandang menagih hutang."

Kiasan "besi bekas" ini menggambarkan kekerasan suara dan semangat yang ada dalam diri "Saudara," mungkin mewakili semangat perjuangan atau tekad keras dalam menghadapi kehidupan.

"Maka sepanjang hayat, / si surut tak pernah ngambah / kalangan lemah-pasir celah bakau Tritih Kulon."

Bagian ini mengisyaratkan bahwa orang yang lemah atau menyerah tak akan bertahan di lingkungan yang keras, yang diibaratkan sebagai "lemah-pasir celah bakau Tritih Kulon."

Bagian 2: Kayu Tabuh dan Nilai Kehidupan

Pada bagian kedua, penulis menggambarkan "kayumu tabuh tak juga kaulepas," yang mencerminkan seseorang yang tetap bertahan pada prinsip atau keyakinan, meski di tengah godaan materi. Lukisan Kresna Triwikrama, simbol dari perjuangan dan pertahanan diri, tetap tergantung di ruang tamu.

"Tahun ini putrimu kembali naik kelas. / Tas sekolah, buku, dan sepeda baru / kiranya perlu sebagai hadiah."

Bait ini menunjukkan kebutuhan sehari-hari dan bagaimana hidup yang sederhana dijalani dengan harapan dan perjuangan.

Bagian 3: Keyakinan dalam Kehidupan

Bagian ini berfokus pada keyakinan dan optimisme. Tokoh utama dengan tegas berkata, "Semua akan baik, jika yakin akan baik!" Ini adalah refleksi dari filosofi hidup yang positif, di mana keyakinan menjadi kekuatan utama dalam menghadapi segala tantangan.

"Garis dan warna-warna ini / telah kupersembahkan / bagi juragan yang berani nglakoni / gembira-duka pohon besar Nusakambangan : Pulebahas!"

Pohon "Pulebahas" menjadi simbol ketangguhan dan kebijaksanaan dalam menghadapi segala keadaan hidup, baik suka maupun duka.

Bagian 4 hingga 6: Pohon Besar dan Kebijaksanaan

Bagian-bagian ini menggambarkan perjalanan spiritual dan pencarian kebijaksanaan. Pohon besar yang digambarkan dalam puisi ini melambangkan keabadian, keteguhan, dan kedalaman pemahaman. Ada juga perumpamaan tentang "biji buah pahit" yang berusaha mencari "harga kebersamaan," menekankan pentingnya keseimbangan dan kerjasama.

"Entah bagaimana, menjadi biji buah pahit / yang tak digadang, justru membuat juraganku / leluasa mencaritentukan harga kebersamaan."

Ini menyoroti bahwa keadaan yang tidak diharapkan (biji buah pahit) justru dapat memberikan kebebasan untuk mencari dan menentukan nilai kebersamaan yang sejati.

Bagian 7 hingga 9: Pergulatan dengan Realitas dan Harapan

Bagian akhir puisi ini menggambarkan bagaimana juragan atau pemimpin hidupnya adalah pergulatan antara terang dan gelap, antara harapan dan kenyataan. Ada penggambaran bagaimana juragan ini menavigasi tantangan dan tetap berusaha untuk memahami kehidupan.

"Mungkin belajar jadi pohon besar / yang berabad menjaga kedalaman jurang / dan ketinggian tebing menghadang."

Pohon besar di sini melambangkan seorang pemimpin yang bijaksana yang tahu bagaimana menjaga keseimbangan antara kekuatan dan kelemahan.

"Tetapi di sana, / di pagi yang hujan, / putrimu berangkat sekolah dengan payung tetangga."

Akhir puisi ini mengingatkan kita akan realitas hidup yang seringkali tidak sesuai dengan harapan. Meski demikian, ada pesan tentang keteguhan dan harapan untuk masa depan.

Puisi "Gending Pulebahasan" karya Badruddin Emce adalah puisi yang penuh dengan filosofi hidup, simbolisme, dan kritik sosial. Melalui gambaran alam, sosok "juragan," dan dinamika sosial, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang makna kehidupan, perjuangan, dan pentingnya keteguhan hati serta kebijaksanaan. Puisi ini juga menyoroti keseimbangan antara harapan dan kenyataan, antara kekuatan dan kerentanan dalam menghadapi kehidupan.

Badruddin Emce
Puisi: Gending Pulebahasan
Karya: Badruddin Emce

Biodata Badruddin Emce:
  • Badruddin Emce lahir di Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, pada tanggal 5 Juli 1962.
© Sepenuhnya. All rights reserved.