Analisis Puisi:
Puisi "Persatuan" karya J. E. Tatengkeng adalah sebuah karya yang mengungkapkan kedalaman emosi, khususnya kerinduan dan kecintaan, serta keinginan untuk bersatu dengan orang yang dicintai dalam ikatan spiritual dan emosional. Melalui puisi ini, Tatengkeng mengeksplorasi tema persatuan dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan dan antar sesama, serta bagaimana cinta dan kerinduan mempengaruhi jiwa.
Struktur dan Makna Puisi
Puisi ini terdiri dari lima bait yang masing-masing menyampaikan aspek berbeda dari tema persatuan dan kerinduan. Tatengkeng menggunakan bahasa yang penuh perasaan dan simbolik untuk mengungkapkan kedalaman emosinya.
Kerinduan dan Kelemahan Hati
Puisi dimulai dengan perasaan kerinduan yang mendalam dan kelemahan hati:
"Dada debar penuh kerinduan,
akan Kekasih yang jauh masih, Hati lemah, mengundang percintaan."
Bagian ini menggambarkan keadaan emosional yang kuat di mana "dada debar" dan "kerinduan" menunjukkan betapa mendalamnya perasaan yang dirasakan. "Kekasih" yang jauh menjadi simbol dari sesuatu yang diinginkan atau dicintai namun tidak dapat dicapai secara fisik. Kelemahan hati menandakan kerentanan dalam merindukan sesuatu atau seseorang yang jauh.
Hasrat dan Kepiluan
Pada bagian selanjutnya, Tatengkeng menggambarkan bagaimana hasrat tumbuh di tengah kepiluan:
"Hasrat tumbuh membawa kepiluan, Sudah di hati Serasa mati, Merindu adindaku di jauhan."
Di sini, hasrat yang tumbuh menyertai perasaan kepiluan. "Serasa mati" mengungkapkan betapa mendalamnya kerinduan yang dialami, sementara "adindaku di jauhan" menunjukkan bahwa kerinduan tersebut ditujukan pada seseorang yang jauh dari jangkauan.
Angan-Angan dan Keinginan Bersama
Puisi ini kemudian beralih ke tema angan-angan dan keinginan untuk bersatu:
"Selalu hatiku berangan-angan, Kiranya sukma Tetap bersama, Bercerai, berpisah, adinda jangan!"
Tatengkeng menyatakan keinginan untuk tetap bersama meskipun terpisah secara fisik. "Hatiku berangan-angan" menandakan harapan dan impian untuk selalu bersatu dalam segala keadaan. "Adinda jangan" merupakan permohonan agar hubungan tetap utuh dan tidak terpisah.
Penghiburan dalam Persatuan
Bagian terakhir dari puisi ini mengungkapkan bagaimana persatuan memberikan penghiburan:
"Di sinilah kudapat penghiburan: Kita bersatu Setiap waktu, Dalam cinta, kata dan pikiran."
Tatengkeng menemukan penghiburan dalam persatuan dengan orang yang dicintai, dan ini dicapai melalui "cinta, kata dan pikiran." Persatuan ini memberi kekuatan dan kedamaian, meskipun mungkin ada jarak fisik atau perpisahan.
Hasrat dan Persatuan dalam Cinta
Puisi diakhiri dengan penegasan tentang hasrat dan persatuan yang berkelimpahan:
"Hasrat tumbuh berkelimpahan, Yang terutama Kita bersama Dalam cinta, adinda, akan Tuhan!"
Tatengkeng menekankan bahwa hasrat yang berkelimpahan adalah hasil dari persatuan dalam cinta, tidak hanya antara manusia tetapi juga dalam hubungan dengan Tuhan. Persatuan ini dianggap sebagai bentuk cinta yang paling mendalam dan spiritual.
Emosional
Puisi "Persatuan" mencerminkan kedalaman emosional yang besar, terutama dalam hal kerinduan, kecintaan, dan hasrat. Tatengkeng menggunakan bahasa yang penuh perasaan dan simbolik untuk mengungkapkan betapa pentingnya persatuan dan cinta dalam kehidupan spiritual dan emosional. Metafora dan ungkapan seperti "Kekasih" dan "adindaku" memberikan makna yang lebih dalam tentang hubungan dan pengharapan akan kebersamaan yang abadi.
Puisi "Persatuan" karya J. E. Tatengkeng adalah puisi yang menggambarkan perjuangan batin dan kerinduan mendalam untuk persatuan dan cinta. Melalui bahasa yang puitis dan simbolik, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan nilai persatuan dan hubungan emosional yang mendalam dalam konteks spiritual dan manusiawi. Puisi ini menggarisbawahi betapa pentingnya cinta dan kebersamaan dalam memberikan penghiburan dan kekuatan, baik dalam hubungan antar sesama maupun dalam hubungan dengan Tuhan.
Puisi: Persatuan
Karya: J. E. Tatengkeng
Biodata J. E. Tatengkeng:
- J. E. Tatengkeng (Jan Engelbert Tatengkeng) adalah salah satu penyair Angkatan Pujangga Baru. Nama panggilan sehari-harinya adalah Om Jan.
- J. E. Tatengkeng lahir di Kolongan, Sangihe, Sulawesi Utara, 19 Oktober 1907.
- J. E. Tatengkeng meninggal dunia di Makassar, 6 Maret 1968 (pada umur 60 tahun).