Sandiwara Kampungku
(Kepada anggota DPR Sumatera Tengah)
Setelah lampu ruangan padam
layar dan tirai pun terbuka
musik pengiring nyaring bergema
gegap gempita suara seragam.
Berkat pengantar pembawa acara
penonton berkarcis jiwa raga
duduk tertib lela bersandar
menanti acara yang dijanji benar.
Lama kata pengantar selesai sudah
sambil menunggu waktu berlalu
alunan musik telah ulang berulang
sampai di luar birama.
Penonton tertanya riuh rendah
apa musik yang palsu
atau lagu yang sumbang
atau memangnya bersandiwara.
Naskah cerita sudah benar
namun pelaku lagi bertengkar
ingin pertama di depan layar
membawa peran di luar adegan
seperti pahlawan perjuangan
yang tak dan telah kesiangan.
Lalu ada suara bertanya
dari penonton berkarcis cuma-cuma
— sudahkah tiba waktu yang pantas
untuk penonton naik pentas? —
17 Agustus 1950
Analisis Puisi:
Puisi “Sandiwara Kampungku” karya A.A. Navis adalah gambaran satir tentang kondisi sosial dan politik di masyarakat Indonesia, terutama soal kepemimpinan, pertunjukan kekuasaan, serta kegagalan para “pelaku” menjalankan perannya dengan benar. Melalui metafora pertunjukan panggung, Navis menghadirkan sindiran yang kuat tentang bagaimana kekacauan internal elite dan pejabat sering kali membuat masyarakat hanya menjadi penonton yang bingung, kecewa, atau bahkan ingin mengambil alih panggung.
Tema
Puisi ini mengangkat tema mengenai kekacauan kepemimpinan dan sandiwara sosial-politik yang diperankan oleh tokoh-tokoh yang seharusnya bertanggung jawab terhadap masyarakat. Tindakan para “pemain” yang lebih sibuk berebut peran menggambarkan kritik atas perebutan kekuasaan, egoisme, dan lemahnya moralitas publik.
Puisi ini bercerita tentang sebuah pertunjukan drama yang belum juga dimulai meski musik pembuka, pengantar acara, dan penonton sudah siap. Para penonton mulai bertanya-tanya ketika musik terus berulang dan tak ada adegan yang dimainkan. Ternyata, para pemain justru bertengkar karena berebut posisi dan ingin tampil sebagai pahlawan, walaupun tidak sesuai naskah.
Bagian terakhir yang menohok adalah ketika seorang penonton bertanya apakah sudah tiba waktunya penonton naik ke pentas, menunjukkan kekecewaan masyarakat terhadap aktor-aktor sosial yang tidak menjalankan perannya.
Makna Tersirat
Beberapa makna tersirat dalam puisi ini antara lain:
- Kepemimpinan yang kacau adalah sandiwara — Navis menyiratkan bahwa banyak tokoh publik sekadar bermain peran demi citra, bukan menjalankan tugas.
- Elite sibuk bertengkar — Pelaku yang berebut posisi di depan layar melambangkan pejabat atau pemimpin yang lebih mementingkan ambisi pribadi daripada pelayanan.
- Rakyat hanya menonton — Penonton berkarcis “jiwa raga” adalah simbol masyarakat yang membayar harga kehidupan untuk menyaksikan bagaimana pemimpin menjalankan mandatnya.
- Kekecewaan publik yang makin besar — Pertanyaan “sudahkah tiba waktu yang pantas untuk penonton naik pentas?” menyiratkan ketidakpercayaan masyarakat dan keinginan untuk mengambil alih perubahan.
- Naskah sebenarnya “sudah benar” — Aturan, hukum, atau rencana pembangunan sebenarnya ada; yang bermasalah adalah aktor-aktornya.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini memadukan:
- Kegaduhan — terlihat dari musik nyaring, suasana gegap-gempita, dan penonton riuh.
- Kebingungan — musik yang berulang-ulang menciptakan rasa menunggu yang melelahkan.
- Kritik dan kecewa — terutama pada bagian akhir ketika pertanyaan dari penonton muncul.
- Satir dan getir — Navis membungkus sindirannya dengan metafora pertunjukan sehingga terasa tajam namun tetap elegan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Puisi ini menyampaikan pesan-pesan penting:
- Jangan menjadi pemimpin yang hanya berebut peran, tetapi jalankan tugas sesuai naskah.
- Kegagalan elite akan selalu memunculkan kekecewaan rakyat.
- Jika pemimpin tak lagi mampu, masyarakat akan mengambil peran perubahan.
- Keteraturan sosial memerlukan kedewasaan, bukan egoisme.
- Kritik adalah bagian dari kepekaan masyarakat terhadap ketidakadilan.
Pesan Navis relevan bahkan hingga sekarang, terutama ketika publik sering merasa bahwa politik adalah panggung sandiwara yang jauh dari realitas rakyat.
Imaji dalam Puisi
A.A. Navis menggunakan imaji panggung yang hidup dan konkret:
- Imaji visual: lampu padam, layar terbuka, tirai tersingkap.
- Imaji auditif: musik nyaring, gegap gempita, lagu yang sumbang.
- Imaji kerumunan: penonton duduk tertib, kemudian riuh rendah.
- Imaji konflik: para pelaku bertengkar berebut posisi.
Imaji-imaji ini memperkuat kesan bahwa yang diceritakan bukan sekadar panggung seni, melainkan panggung sosial-politik yang mencerminkan kehidupan nyata.
Majas dalam Puisi
Beberapa majas yang dominan:
- Metafora: Satu panggung pertunjukan digunakan untuk menggambarkan sistem sosial dan politik kampung/negeri.
- Personifikasi: Musik, lagu, dan pertunjukan dihadirkan seolah memiliki kehendak yang “sumbang” atau “palsu”.
- Ironi: Para pelaku ingin tampil sebagai “pahlawan perjuangan”, tetapi kenyataannya malah tidak siap dan hanya membuat keributan.
- Sarkasme: Frasa “penonton berkarcis jiwa raga” menyindir bahwa rakyat mempertaruhkan segalanya, tetapi tetap hanya menjadi penonton.
Puisi “Sandiwara Kampungku” karya A.A. Navis adalah refleksi cerdas dan satir tentang betapa kacaunya para pemegang peran dalam kehidupan sosial-politik ketika mereka lupa amanah. Dengan memanfaatkan metafora pertunjukan panggung, Navis menyampaikan bahwa masyarakat sudah terlalu lama menunggu lakon yang seharusnya dimainkan dengan benar. Ketika para aktor sibuk bertengkar dan berebut tampil, penonton pun mulai bertanya: apakah waktunya rakyat mengambil alih?
Puisi: Sandiwara Kampungku
Karya: A.A. Navis
Biodata A.A. Navis:
- A.A. Navis (Haji Ali Akbar Navis) lahir di Kampung Jawa, Padang Panjang, Sumatra Barat, pada tanggal 17 November 1924.
- A.A. Navis meninggal dunia di Padang, Sumatra Barat, pada tanggal 22 Maret 2003 (pada usia 78 tahun).
- A.A. Navis adalah salah satu sastrawan angkatan 1950–1960-an.
