Puisi: Hari Ini, 60 Tahun Silam (Karya Budiman S. Hartoyo)

Puisi "Hari Ini, 60 Tahun Silam" karya Budiman S. Hartoyo mengingatkan kita akan pentingnya menghargai dan memahami sejarah, serta menilai kembali ...
Hari Ini, 60 Tahun Silam
(Mengenang Sersan Major Moehammad Arwani
dan Kopral Moeljadi Thohir, Lasykar Hizbullah, 1945)

Hari ini, 60 tahun silam. Kutinggalkan rumah tanpa pamit pada ayah yang hari itu sakit payah, sementara ibu berkebaya kuyu cuma sempat mengusap keringat dan kasih semangat. Bersama dua teman bermain kami berlari bagai angin, menyongsong api dan mimpi. Sejentik api menyala di ubun-ubun kala usia belum 15 tahun.

Hari ini, 60 tahun silam. Sejumput mimpi tumbuh di hati, meski taruhannya mati. Tanpa bekal, tak kenal perhitungan akal. Cuma selembar celana dan baju, bersenjatakan bambu dan batu kami maju menyerbu. Jangankan sepatu dan gundu, atau buku tulis dan tas sekolah, tak kuingat lagi gadis manis tetangga sebelah rumah. Cuma dua kata berkobar membakar: "Merdeka! Allahuakbar!" - tatkala Bung Tomo menjerit ke langit, melengking berteriak tinggi lewat corong Radio Be-Pri.

Hari ini, 60 tahun silam. Kuikatkan merah putih bertorehkan darah getih, dan iman di ujung bambu runcing Parakan, setelah semalaman berzikir memantapkan takdir. Kucium punggung telapak tangan kanan Kiai Subeki, siap sudah kami berangkat mendekap kemungkinan bakal mati. Seribu wirid berkumandang ke langit, bulat sudah tekad di medan syahid.

Hari ini, 60 tahun silam. Masih kuingat ketika kuhadang konvoi Belanda di sebuah loji Kecamatan Bekonang, setelah seharian menyusun pertahanan di sebuah gua tepian Kali Dombang dan semak belukar Mojolaban. Masih terbayang betapa kami menyelinap mengendap-endap di tangga mushalla Kiai Zaini, tapi tak seorang pun kudapat handai taulan dan famili. Semalaman Desa Wonorejo lengang, penduduk dihalau jangan tanya lagi kapan pulang.

Kini, hari ini, setelah 60 tahun tinggal mimpi. Tiada lagi pestol dan bedil, tinggallah kini kenangan dongkol dalam hidup yang kerdil. Kini, hari ini, setelah 60 tahun tinggal mimpi. Mataku silau oleh gemerlap para jenderal tua berseragam berpeci, prajurit necis bersenjata lengkap rapi berbaris - di layar televisi. Kini, hari ini, setelah 60 tahun tinggal mimpi. Suaraku parau hati pun galau, tak kuasa lagi menagih janji.

Kini, hari ini, 60 tahun silam, tinggallah semua itu mimpi....

2007

Catatan:
Be-Pri (BPRI): Barisan Pemberontak Republik Indonesia, Surabaya, pimpinan Bung Tomo.
Bambu runcing Parakan: Bambu runcing yang diberi doa oleh Kiai Subeki, pengasuh Pondok Pesantren Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, sangat terkenal di kalangan para santri pejuang di awal revolusi.

Analisis Puisi:

Puisi "Hari Ini, 60 Tahun Silam" karya Budiman S. Hartoyo adalah sebuah refleksi mendalam tentang pengalaman pribadi dan kolektif dari masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Melalui puisi ini, Hartoyo membawa pembaca menyusuri kembali jejak sejarah yang penuh dengan heroisme, pengorbanan, dan perubahan.

Tema dan Pesan Puisi

  • Pengalaman Sejarah dan Kenangan Pribadi: Tema utama puisi ini adalah pengalaman sejarah dan kenangan pribadi dari masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Penulis menceritakan pengalamannya sendiri dan teman-temannya yang terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah, serta bagaimana kenangan tersebut menjadi bagian penting dari hidupnya.
  • Pengorbanan dan Kesetiaan: Puisi ini juga menyoroti pengorbanan dan kesetiaan yang ditunjukkan oleh para pejuang kemerdekaan. Dengan hanya bersenjatakan bambu dan batu, mereka maju berjuang meskipun menghadapi risiko mati. Kesetiaan terhadap negara dan kemerdekaan digambarkan dengan kuat melalui kata-kata yang penuh semangat.
  • Perubahan dan Kekecewaan: Tema perubahan dan kekecewaan juga sangat kuat dalam puisi ini. Setelah 60 tahun, penulis merasa kecewa melihat bagaimana kenyataan saat ini jauh berbeda dari apa yang diimpikannya dulu. Perubahan dari perjuangan berat menuju kehidupan yang lebih nyaman dan teratur, namun dengan perasaan kekecewaan yang mendalam.
  • Melankolis dan Refleksi: Puisi ini menyiratkan melankolis dan refleksi tentang masa lalu. Penulis merasa bahwa semua pengorbanan dan perjuangan kini hanya tersisa sebagai kenangan, dan ia merasa terasing dengan perubahan yang terjadi. Ada rasa kehilangan yang mendalam terhadap masa lalu yang penuh perjuangan dan cita-cita.

Gaya Bahasa dan Struktur

  • Narasi Pribadi dan Emosional: Gaya bahasa dalam puisi ini adalah narasi pribadi dan emosional. Penulis berbicara langsung dari perspektif pribadi, menjelaskan pengalaman dan perasaannya dengan sangat jujur dan mendalam. Penggunaan bahasa ini menciptakan kedekatan emosional antara pembaca dan penulis.
  • Metafora dan Imaji: Puisi ini menggunakan metafora dan imaji untuk memperkuat pesan yang disampaikan. Misalnya, gambaran tentang "bambu runcing Parakan" dan "sejentik api" mencerminkan semangat perjuangan dan tekad yang membara. Metafora ini membantu membangun suasana dan menambah kedalaman makna puisi.
  • Struktur Berulang dan Penekanan: Struktur puisi ini menggunakan struktur berulang dengan frasa "Hari ini, 60 tahun silam" yang diulang di setiap bait. Struktur ini memberikan ritme dan penekanan pada pergeseran waktu dan pengalaman, serta menekankan kontras antara masa lalu dan masa kini.
  • Kontras dan Ironi: Puisi ini juga menampilkan kontras dan ironi antara masa lalu dan masa kini. Penulis menggarisbawahi perbedaan antara perjuangan keras di masa lalu dan kenyataan saat ini dengan penggambaran jenderal tua dan prajurit bersenjata lengkap. Kontras ini menyoroti perasaan kekecewaan dan kehilangan yang mendalam.

Makna dan Interpretasi

  • Memori dan Warisan: Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan memori dan warisan dari masa perjuangan kemerdekaan. Kenangan akan perjuangan, pengorbanan, dan semangat perjuangan adalah bagian penting dari identitas dan sejarah bangsa.
  • Kekecewaan Terhadap Perubahan: Makna dari puisi ini juga mencerminkan kekecewaan terhadap perubahan. Penulis merasa bahwa perjuangan dan pengorbanan di masa lalu tidak sepenuhnya dihargai atau dihayati dalam kenyataan saat ini. Ada rasa kehilangan terhadap cita-cita dan impian yang dulu diperjuangkan.
  • Penilaian Terhadap Kenyataan: Puisi ini juga mengandung penilaian terhadap kenyataan saat ini. Dengan menggunakan perspektif pribadi, penulis menyampaikan perasaannya tentang bagaimana dunia telah berubah dan bagaimana kenangan masa lalu hanya tersisa sebagai mimpi.
Puisi "Hari Ini, 60 Tahun Silam" karya Budiman S. Hartoyo adalah sebuah karya yang mendalam dan penuh makna, menggabungkan narasi pribadi dengan refleksi sejarah. Melalui puisi ini, pembaca diajak untuk merenungkan kembali perjuangan kemerdekaan, pengorbanan, dan perubahan yang terjadi selama 60 tahun. Dengan gaya bahasa yang emosional dan struktur berulang, puisi ini menyampaikan pesan yang kuat tentang kenangan, kekecewaan, dan warisan sejarah. Ini adalah karya yang mengingatkan kita akan pentingnya menghargai dan memahami sejarah, serta menilai kembali bagaimana kita merayakan dan mengingat perjuangan yang telah dilalui.

Puisi Budiman S. Hartoyo
Puisi: Hari Ini, 60 Tahun Silam
Karya: Budiman S. Hartoyo

Biodata Budiman S. Hartoyo:
  • Budiman S. Hartoyo lahir pada tanggal 5 Desember 1938 di Solo.
  • Budiman S. Hartoyo meninggal dunia pada tanggal 11 Maret 2010.
  • Budiman S. Hartoyo adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.