Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Jejak Pematang (Karya Novita Dina)

Puisi "Jejak Pematang" karya Novita Dina mengangkat tema nostalgia, kehilangan, dan perubahan yang membawa pembaca pada perjalanan batin penuh makna.

Jejak Pematang


senja di batas kota
terbenam bersama paras rapuhnya
hilang bersama buaran 
sisakan rindu kenangan malam

rindu tertinggal di rumpun bambu,
kisah anak-anak dusun
tentang kaki-kaki kecil dulu
kini besar menyusuri kota

pematang telah hilang
sawah-sawah hijau di balik mata
masakan ibu terperam pada wajah buram
tertutup tembok beton tanah ilalang

di balik kota, kusimpan senja pada jiwa
suara petani terhempas debu jalanan
kuseduh pagi dengan hiruk asing
harumnya tak sampai, terjeda angan

Jakarta-Sukabumi, 2020-2024

Analisis Puisi:

Puisi "Jejak Pematang" karya Novita Dina mengangkat tema nostalgia, kehilangan, dan perubahan yang membawa pembaca pada perjalanan batin penuh makna. Melalui larik-lariknya, Novita menggambarkan keterasingan yang dirasakan seseorang ketika terputus dari akar kehidupannya di pedesaan akibat modernisasi dan urbanisasi.

Tema Utama: Nostalgia dan Perubahan

Tema utama puisi ini adalah nostalgia yang tercampur dengan kesedihan akan perubahan. Dalam larik “senja di batas kota / terbenam bersama paras rapuhnya,” Novita Dina menggambarkan bagaimana senja, simbol keindahan alam pedesaan, kini hilang di balik kemegahan kota. Puisi ini menyiratkan perasaan kehilangan terhadap masa lalu yang sederhana namun penuh makna.

Kehilangan ini semakin jelas dalam larik “pematang telah hilang / sawah-sawah hijau di balik mata,” yang menyoroti perubahan lanskap akibat urbanisasi. Pematang sawah, simbol keterikatan pada akar desa, kini tergantikan oleh beton dan hiruk pikuk kota.

Simbolisme dalam Puisi

Puisi ini sarat dengan simbolisme yang memperkuat emosi dan pesan:
  • Senja: Melambangkan transisi antara masa lalu dan masa kini. Senja yang “hilang bersama buaran” mencerminkan hilangnya kenangan indah masa kecil akibat perubahan.
  • Rumpun Bambu: Menjadi simbol nostalgia dan kehidupan desa yang damai. Kisah “anak-anak dusun” yang tertinggal di rumpun bambu menggambarkan memori masa kecil yang berakar pada alam pedesaan.
  • Tembok Beton: Simbol urbanisasi yang menghilangkan identitas alam pedesaan. Beton yang “tertutup tanah ilalang” mengisyaratkan perlawanan kecil dari alam yang tersisa di tengah kota.
  • Harumnya Tak Sampai: Menjadi metafora tentang keterputusan emosional. Kota yang hiruk pikuk menyulitkan tokoh dalam puisi untuk merasakan kedamaian dan kehangatan seperti di masa lalu.

Konflik Batin: Menjembatani Masa Lalu dan Kini

Puisi ini memotret konflik batin seseorang yang merasa terjebak di antara nostalgia masa lalu dan kenyataan masa kini. Dalam larik “di balik kota, kusimpan senja pada jiwa,” tergambar usaha tokoh untuk menjaga kenangan masa lalu tetap hidup di tengah perubahan yang tak terhindarkan.

Namun, perubahan itu menghadirkan rasa keterasingan yang mendalam. “Kuseduh pagi dengan hiruk asing” menunjukkan bagaimana kehidupan kota, meskipun menawarkan peluang, terasa dingin dan jauh dari kehangatan pedesaan.

Kritik Sosial terhadap Urbanisasi

Melalui puisi ini, Novita Dina juga menyampaikan kritik halus terhadap urbanisasi. Hilangnya pematang sawah dan sawah hijau menjadi cerminan bagaimana modernisasi sering kali mengorbankan alam dan tradisi lokal. Masakan ibu yang “terperam pada wajah buram” melambangkan hilangnya keintiman dan kehangatan keluarga yang digantikan oleh kesibukan kota.

Suara petani yang “terhempas debu jalanan” menjadi gambaran tragis dari marginalisasi kaum agraris dalam arus modernisasi. Ini mengingatkan kita untuk menghargai akar budaya dan tradisi yang menjadi bagian dari identitas kita.

Pesan Universal: Menjaga Akar Identitas

Pesan utama puisi ini adalah pentingnya menjaga akar identitas meskipun kita berada di tengah perubahan besar. Novita Dina mengajak pembaca untuk menghargai masa lalu, seperti yang tergambar dalam larik “kusimpan senja pada jiwa.”

Puisi ini juga mengingatkan kita bahwa modernisasi tidak boleh menghapus nilai-nilai dan keindahan kehidupan sederhana yang ada di pedesaan. Meskipun fisiknya mungkin hilang, kenangan dan nilai-nilai tersebut harus tetap hidup dalam hati kita.

Gaya Bahasa dan Kekuatan Puisi

Gaya bahasa Novita Dina dalam "Jejak Pematang" memadukan kesederhanaan dengan kedalaman makna. Diksi seperti “senja,” “rumpun bambu,” dan “pematang” menciptakan suasana pedesaan yang kuat, sementara frasa seperti “hiruk asing” dan “tertutup tembok beton” menggambarkan realitas kota yang penuh keterasingan.

Struktur puisi yang tersegmentasi mencerminkan perjalanan emosional tokoh: dari kenangan indah, kehilangan, hingga upaya untuk menerima perubahan.

Puisi "Jejak Pematang" adalah puisi yang menggugah, menyentuh tema nostalgia, kehilangan, dan urbanisasi dengan penuh kedalaman. Melalui simbolisme yang kaya dan diksi yang kuat, Novita Dina berhasil menyampaikan pesan tentang pentingnya menjaga identitas dan kenangan masa lalu di tengah perubahan zaman.

Puisi ini mengajarkan kita untuk selalu menghargai akar kehidupan kita, bahkan saat kita melangkah ke dunia yang baru. Dengan cara ini, masa lalu tidak akan pernah benar-benar hilang, melainkan tetap hidup dalam jiwa kita sebagai sumber kekuatan dan inspirasi.

Novita Dina
Puisi: Jejak Pematang
Karya: Novita Dina

Biodata Novita Dina:
  • Novita Dina adalah nama pena dari Novita Sari. Perempuan pecinta buku dan puisi. Alumnus pendidikan Manajemen Keuangan ITB AD Jakarta. Pernah belajar di Asqa Imagination School (AIS). Buku kumpulan puisinya, Dear Rena terbit pada 2021. Buku keduanya kumpulan quote, Stop Being Perfect terbit pada 2024. Karyanya juga terhimpun di berbagai buku antologi bersama penulis lainnya. Karyanya juga tersebar di berbagai media online. Juara 2 dalam ajang Asqa Book Award ke-XXIV tahun 2024. Beberapa kali memenangkan lomba menulis quote dan penulis terpilih dalam lomba puisi.
© Sepenuhnya. All rights reserved.