Analisis Puisi:
Puisi "KAMUS" karya F. Rahardi menyajikan sebuah refleksi tajam tentang kondisi sosial, politik, dan eksistensial dalam kehidupan seorang narapidana. Dengan gaya bahasa yang sangat lugas, penuh makna ganda, serta penggambaran yang kasar namun puitis, puisi ini mengeksplorasi bagaimana istilah-istilah yang tercantum dalam kamus bisa merefleksikan situasi yang lebih luas di luar makna literalnya. Puisi ini tidak hanya berbicara tentang penjara fisik, tetapi juga penjara mental, budaya, dan bahkan moral yang dialami individu dalam masyarakat.
Penggunaan Kamus Sebagai Metafora
Kamus, sebagai alat yang seharusnya digunakan untuk mencari makna kata, dalam puisi ini berfungsi sebagai simbol dari pencarian akan makna dalam hidup. Saat narapidana membuka kamus, ia mencari makna istilah yang lebih dalam dari sekadar definisi. Kamus menjadi pintu untuk menggali kenyataan yang lebih luas tentang kehidupan di dalam penjara—baik secara fisik maupun sosial. Kamus bukan hanya sebuah buku teoretis, tetapi juga menjadi cermin dari realitas yang keras, di mana kata-kata berhubungan langsung dengan pengalaman sehari-hari yang penuh kontradiksi dan kekerasan.
Persepsi Tentang Penjara dan Kehidupan di Dalamnya
Pada bagian pertama, "kontol dan kitab / dipasang dekat / kawat / dekat / kubur", Rahardi menggunakan perbandingan yang menggugah dan penuh kritik sosial. Ia menggambarkan kata-kata yang ada dalam kamus yang sering kali berhubungan dengan hal-hal tabu atau kekerasan. Kata "kontol" yang disandingkan dengan "kitab," misalnya, membangkitkan rasa kontras yang tajam antara hal-hal yang dianggap suci dan hal-hal yang kasar atau tabu dalam masyarakat. Di sini, kamus menjadi alat untuk menunjukkan seberapa dekat antara kehidupan yang moral dan hal-hal yang dianggap vulgar atau hina, terutama di penjara.
Selanjutnya, "dekat kondom / dekat kampret / dekat / kangker / dan kere-kere", menggambarkan kenyataan hidup yang penuh dengan kerentanan dan kehancuran, di mana kata-kata tersebut melambangkan elemen-elemen kehidupan yang paling terpinggirkan, mulai dari penyakit, kemiskinan, hingga permasalahan sosial lainnya. Rahardi dengan cerdik menunjukkan ketegangan antara realitas keras yang dihadapi oleh narapidana dan istilah-istilah yang tak terhindarkan dari masyarakatnya.
Penyisipan kata "korupsi" dalam baris ini memperkuat kesan bahwa bahkan di dalam penjara, masalah-masalah besar dalam masyarakat tetap ada. Dalam konteks ini, korupsi menjadi sesuatu yang tak terhindarkan, meskipun berada dalam penjara sekalipun. Hal ini juga menggambarkan bagaimana sistem hukum dan penjara yang ada sering kali menciptakan keadaan yang tidak adil dan penuh dengan ketidakpastian.
Kekeliruan dan Irrelevansi dalam Kehidupan Sosial
Bagian berikutnya, "salib dan sambal / diserang sipilis / disergap / sultan / diserempet suster", melanjutkan kritik terhadap masyarakat dan kehidupan yang ada di luar penjara. Dengan kata-kata yang serba absurd dan sering kali bertentangan, Rahardi menunjukkan bagaimana bahkan simbol-simbol agama dan budaya yang dianggap sakral dan penting—seperti "salib" dan "sambal"—bertemu dengan kekerasan atau penyakit (seperti sipilis), yang menggambarkan betapa dalamnya ketegangan sosial yang ada di masyarakat. Kata "sultan" mengindikasikan pemimpin atau penguasa, yang mungkin lebih sering terlibat dalam praktik korupsi atau ketidakadilan, sedangkan "suster" menggambarkan sosok yang biasanya dianggap sebagai pengasuh atau penyembuh, namun dalam puisi ini, dia "diserempet" dan "diserang," mungkin sebagai simbol ketidakberdayaan atau kesalahan sistem.
"Disenggol semut / disengat / sepeda / dan setan-setan / minta suaka ke / surga" memperlihatkan kehidupan yang penuh dengan ketidakadilan, kekacauan, dan keresahan yang tak kunjung usai. "Setan-setan" yang "minta suaka ke surga" memperlihatkan absurditas dunia ini, di mana bahkan mereka yang dianggap jahat atau berdosa pun memiliki keinginan untuk mendapatkan pengampunan atau pembebasan, sebuah refleksi atas ketidakadilan yang tampaknya merasuki seluruh lapisan masyarakat.
Kehidupan yang Hangus dan Kehilangan Makna
Pada bagian akhir puisi, Rahardi menulis, "halaman kamus itu hangus / tersundut / lisong", yang menggambarkan bagaimana pencarian makna dan definisi yang dilakukan oleh narapidana melalui kamus berakhir dengan kehancuran. Kamus yang seharusnya menjadi alat pencari makna kini "hangus," seperti banyak hal dalam kehidupan yang akhirnya musnah atau hilang maknanya. Kehidupan narapidana, yang juga tercermin dalam kata-kata ini, tampak seperti sebuah perjalanan yang sia-sia, penuh dengan kebingungan dan kehilangan makna.
"Tak ada lagi / tikus / tak ada lagi / tulang / tak ada tungau / tak ada / tinja / tak ada / tai / tak / ada / Tuhan." Baris-baris terakhir ini semakin memperlihatkan kehancuran, di mana kata-kata yang biasanya penuh dengan makna (tikus, tulang, Tuhan) menjadi tidak ada lagi. Tuhan yang hilang dari kamus ini memperkuat pandangan tentang kehilangan makna hidup yang dalam, serta ketidakberdayaan manusia di tengah sistem yang menindas. Rahardi mengakhiri puisi ini dengan pernyataan yang mengandung pesimisme, di mana Tuhan, yang biasa menjadi simbol harapan dan penyelamat, pun tidak lagi ditemukan di tengah kekacauan ini.
Puisi "KAMUS" karya F. Rahardi adalah sebuah karya yang penuh dengan kritik sosial dan refleksi mendalam mengenai kehidupan dalam penjara dan kehidupan sosial secara umum. Dengan menggunakan kamus sebagai metafora, Rahardi menggambarkan bagaimana kata-kata dan istilah yang terkandung di dalamnya merefleksikan kenyataan sosial yang penuh dengan ketegangan, kerusakan moral, dan ketidakadilan. Puisi ini tidak hanya berbicara tentang penjara fisik, tetapi juga tentang penjara-penjara sosial dan eksistensial yang ada dalam masyarakat. Kehidupan yang terkoyak dan penuh dengan ketidakpastian tercermin jelas dalam setiap kata dan gambar yang ditulis oleh Rahardi, yang meninggalkan kesan kuat mengenai pentingnya mencari makna yang lebih dalam dalam dunia yang terkadang tampak kacau dan tanpa harapan.
