Luruh dan Memaafkan
meruak nan kecewa
kesumat terjang atma
sesal dan benci berpadu
amarah tak terbendung
gelombang dendam
hantam jiwa rapuh
api kebencian berkobar
coba menepi tak ingin terbakar
kala hati luruh memaafkan
badai amarah reda
bisikan setan tak lagi gencar
air wudu dan istiqfar
lesapkan gejolak dengki
Surakarta Hadiningrat, 30 Oktober 2024
Analisis Puisi:
Puisi "Luruh dan Memaafkan" karya Astuti adalah eksplorasi mendalam tentang emosi manusia, khususnya bagaimana amarah, dendam, dan kebencian dapat melukai jiwa, sekaligus bagaimana memaafkan menjadi jalan untuk mencapai ketenangan dan kedamaian. Dengan bahasa yang padat dan penuh makna, puisi ini menggambarkan perjalanan emosi menuju keikhlasan yang penuh spiritualitas.
Gelombang Emosi yang Menghancurkan
Puisi ini dibuka dengan gambaran "meruak nan kecewa," yang menyiratkan perasaan kecewa yang meluap dan sulit dikendalikan. Baris ini menunjukkan bahwa emosi negatif seperti sesal, benci, dan amarah sering kali datang bersamaan, menciptakan konflik internal yang mendalam. Frasa seperti "amarah tak terbendung" dan "gelombang dendam hantam jiwa rapuh" menggambarkan intensitas perasaan tersebut, yang menyerupai badai emosi yang menghancurkan.
Astuti menggunakan metafora alam seperti gelombang dan api untuk memperkuat efek dramatis dari emosi ini. Gelombang melambangkan kekuatan yang sulit dikendalikan, sedangkan api kebencian menunjukkan betapa destruktifnya rasa dendam. Perasaan ini tidak hanya melukai hati tetapi juga menguras energi jiwa.
Usaha untuk Menepi dari Dendam
Dalam baris, "coba menepi tak ingin terbakar," terlihat usaha seseorang untuk menjauh dari kobaran kebencian. Ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa dendam tidak membawa kebaikan, melainkan memperburuk luka batin.
Keputusan untuk menepi adalah langkah awal dalam proses memaafkan. Dalam konteks ini, memaafkan bukan hanya untuk orang lain, tetapi terutama untuk diri sendiri agar terbebas dari beban emosi yang berat.
Memaafkan sebagai Proses Spiritual
Bagian kedua dari puisi ini menggambarkan transformasi dari kemarahan menuju kedamaian melalui memaafkan. "Kala hati luruh memaafkan, badai amarah reda," menekankan bagaimana memaafkan dapat menjadi obat yang menenangkan hati. Ketika seseorang memaafkan, bukan hanya emosi negatif yang hilang, tetapi juga muncul ketenangan yang menggantikan kegelisahan sebelumnya.
Astuti dengan indah menggambarkan proses spiritual ini melalui "air wudu dan istighfar." Ritual spiritual seperti wudu tidak hanya membersihkan tubuh, tetapi juga menyimbolkan penyucian jiwa. Istighfar, sebagai bentuk memohon ampun, adalah cara untuk melepaskan diri dari rasa bersalah dan kebencian. Keduanya menjadi simbol utama dalam puisi ini untuk menunjukkan bahwa kedamaian sejati hanya dapat dicapai melalui pendekatan spiritual.
Menghadapi Bisikan Setan
Puisi ini juga menyinggung bagaimana "bisikan setan" sering kali memperkeruh suasana hati, memperbesar rasa benci, dan menghalangi proses memaafkan. Namun, melalui istighfar dan kedekatan dengan Tuhan, bisikan tersebut perlahan melemah, seperti yang digambarkan dalam baris, "bisikan setan tak lagi gencar." Ini menggambarkan pentingnya iman dalam mengatasi godaan negatif yang merusak jiwa.
Makna Filosofis: Luruh dan Ikhlas
Judul puisi ini, Luruh dan Memaafkan, menyiratkan bahwa memaafkan adalah proses meluruhkan ego dan melepaskan emosi yang menahan seseorang dari kebahagiaan. Luruh berarti melepaskan, dan memaafkan berarti membuka pintu untuk berdamai dengan masa lalu.
Astuti dengan bijak menyampaikan pesan bahwa kebencian hanya akan membebani hati, sementara memaafkan adalah bentuk pelepasan yang membawa ketenangan dan kebahagiaan sejati.
Relevansi dalam Kehidupan Modern
Puisi ini relevan dengan kehidupan modern, banyak orang sering terjebak dalam lingkaran dendam dan amarah, baik karena konflik pribadi maupun sosial. Media sosial, misalnya, sering kali menjadi tempat di mana kebencian dan dendam dipupuk, membuat orang sulit untuk melepaskan. Dalam situasi seperti ini, puisi ini menjadi pengingat yang kuat akan pentingnya memaafkan untuk kesehatan mental dan spiritual.
Pesan Moral: Kekuatan Memaafkan
Pesan moral dari puisi ini sangat kuat: memaafkan bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan. Ketika seseorang mampu meluruhkan dendam, mereka tidak hanya membebaskan diri dari penderitaan, tetapi juga membuka pintu menuju kehidupan yang lebih damai. Seperti yang diungkapkan dalam puisi ini, proses memaafkan membutuhkan usaha, kesadaran, dan koneksi spiritual yang mendalam.
Puisi "Luruh dan Memaafkan" karya Astuti adalah puisi yang menginspirasi, mengingatkan kita akan kekuatan memaafkan dalam menghadapi gelombang emosi negatif. Dengan menggunakan bahasa yang puitis dan penuh metafora, Astuti membawa pembaca pada perjalanan emosional dari amarah menuju ketenangan, dari dendam menuju kedamaian.
Puisi ini mengajarkan bahwa memaafkan adalah bentuk cinta yang tertinggi, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Dalam dunia yang sering kali penuh dengan konflik dan kebencian, pesan yang disampaikan dalam puisi ini menjadi semakin penting untuk direnungkan dan diterapkan.
Karya: Astuti
Biodata Astuti:
- Sri Sugiastuti lahir pada tanggal 8 April 1961 di Semarang. Ia belajar menulis puisi sejak 2021 yang terangkum dalam sejumlah antologi. Kini aktif menulis puisi di Kelas Puisi Asqa Imagination School (AIS) #48.