Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Ra Mahfudz (Karya Moh. Ghufron Cholid)

Puisi "Ra Mahfudz" karya Moh. Ghufron Cholid adalah pengingat bahwa tanggung jawab adalah ujian yang harus dijalani dengan hati-hati, doa, dan ...

Ra Mahfudz

Badai PILKADA telah berlalu
Ada badai yang lebih kencang
Merawat amanah jiwa-jiwa tersayang
Semoga tak tumbang
Tetap sepanjang sajadah panjang

Junglorong, 12 Desember 2024

Analisis Puisi:

Puisi "Ra Mahfudz" karya Moh. Ghufron Cholid adalah sebuah refleksi mendalam tentang dinamika politik dan tanggung jawab moral pasca pesta demokrasi, seperti PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah). Melalui kata-kata yang sederhana namun bermakna, puisi ini menggambarkan tantangan yang muncul setelah momentum politik selesai. Karya ini sekaligus menjadi doa, harapan, dan pengingat akan pentingnya merawat kepercayaan masyarakat dengan integritas.

Badai PILKADA: Metafora Dinamika Politik

Baris pembuka, "Badai PILKADA telah berlalu" menggunakan metafora badai untuk menggambarkan suasana penuh gejolak selama PILKADA. Dalam konteks politik, masa kampanye sering kali diwarnai oleh dinamika yang intens—persaingan, konflik, bahkan manipulasi emosi masyarakat. Badai ini mencerminkan kondisi yang mengguncang baik dari segi sosial maupun emosional, melibatkan semua lapisan masyarakat.

Dengan menyatakan bahwa badai telah berlalu, puisi ini menandakan akhir dari sebuah fase yang penuh tantangan. Namun, akhir PILKADA bukanlah akhir dari perjuangan; justru inilah awal dari tantangan yang lebih besar.

Badai yang Lebih Kencang: Tanggung Jawab Pasca Kemenangan

Pada baris berikutnya: "Ada badai yang lebih kencang" penulis mengingatkan bahwa tantangan sebenarnya datang setelah kemenangan diraih. Meraih kekuasaan adalah satu hal, tetapi mempertahankan amanah dan memenuhi harapan rakyat adalah tugas yang jauh lebih berat. Badai yang lebih kencang ini menggambarkan tanggung jawab moral dan sosial yang harus diemban oleh pemimpin terpilih.

Frasa ini juga mencerminkan realitas politik, ekspektasi masyarakat sering kali lebih tinggi dibandingkan kemampuan pemimpin untuk memenuhinya. Hal ini menuntut pemimpin untuk tidak hanya cerdas secara strategi, tetapi juga memiliki kekuatan moral dan keberanian untuk menghadapi berbagai tekanan.

Merawat Amanah Jiwa-Jiwa Tersayang

Baris: "Merawat amanah jiwa-jiwa tersayang" menjadi inti dari pesan moral puisi ini. Amanah dalam konteks ini merujuk pada kepercayaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemimpin. Jiwa-jiwa tersayang menggambarkan rakyat, keluarga, dan pihak-pihak yang menggantungkan harapan pada pemimpin.

Merawat amanah berarti menjaga kepercayaan dengan bertindak jujur, adil, dan penuh tanggung jawab. Ini adalah tantangan besar bagi setiap pemimpin, terutama di tengah tekanan politik, ekonomi, dan sosial yang kompleks. Baris ini juga menegaskan pentingnya memprioritaskan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau kelompok.

Doa dan Harapan untuk Keteguhan

Bagian penutup puisi: "Semoga tak tumbang, tetap sepanjang sajadah panjang" menghadirkan suasana penuh harap dan doa. Ketakutan akan kegagalan atau penyimpangan dari amanah dijawab dengan harapan agar pemimpin tetap teguh. "Sajadah panjang" menjadi simbol ibadah, ketakwaan, dan kesabaran. Melalui metafora ini, penulis menyampaikan pesan bahwa hanya dengan menjaga integritas dan mendekatkan diri kepada Tuhan, pemimpin dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

Doa ini tidak hanya relevan untuk pemimpin politik, tetapi juga menjadi pengingat bagi siapa saja yang memegang tanggung jawab besar dalam hidupnya.

Relevansi dalam Kehidupan Politik

Puisi ini sangat relevan dengan dinamika politik di Indonesia, khususnya setelah pemilihan kepala daerah atau pemilu. Banyak pemimpin yang berhasil meraih kemenangan politik tetapi kemudian menghadapi kritik karena gagal memenuhi janji kampanye. Moh. Ghufron Cholid, melalui karya ini, mengingatkan bahwa kemenangan hanyalah awal dari perjalanan panjang yang penuh ujian.

Pesan moral dari puisi ini juga menyoroti pentingnya pemimpin untuk senantiasa berorientasi pada kesejahteraan rakyat, bukan sekadar mengejar ambisi kekuasaan. Amanah adalah tanggung jawab yang berat, dan hanya mereka yang memiliki integritas tinggi yang dapat memikulnya dengan baik.

Gaya Bahasa dan Simbolisme

Kekuatan puisi ini terletak pada penggunaan gaya bahasa yang sederhana namun penuh simbolisme:
  • Badai: Simbol tantangan dan gejolak politik.
  • Sajadah panjang: Simbol ketakwaan, kesabaran, dan kontinuitas dalam menjalankan amanah.
  • Amanah: Inti dari tanggung jawab moral seorang pemimpin.
Kesederhanaan gaya bahasa ini memungkinkan pesan moral tersampaikan dengan jelas, tanpa kehilangan kedalaman maknanya.

Pelajaran dari Puisi Ra Mahfudz

Puisi ini menyampaikan beberapa pelajaran penting:
  • Kekuasaan adalah Amanah: Pemimpin harus menyadari bahwa kekuasaan bukanlah hak, melainkan titipan dari rakyat yang harus dijaga dengan integritas.
  • Tantangan Tidak Berakhir dengan Kemenangan: Justru setelah kemenangan, tantangan yang lebih berat muncul dalam bentuk tanggung jawab dan harapan masyarakat.
  • Pentingnya Ketakwaan: Keteguhan moral dan spiritual menjadi kunci untuk menjalankan amanah dengan baik.
Puisi "Ra Mahfudz" adalah puisi yang menyentuh dan penuh makna, mengingatkan kita pada nilai-nilai penting dalam kehidupan politik dan moral. Karya Moh. Ghufron Cholid ini tidak hanya relevan untuk para pemimpin, tetapi juga bagi siapa saja yang memegang amanah dalam kehidupan sehari-hari. Pesan tentang pentingnya menjaga tanggung jawab, mendekatkan diri kepada Tuhan, dan senantiasa bertindak dengan integritas adalah pelajaran yang tak lekang oleh waktu.

Puisi ini adalah pengingat bahwa tanggung jawab adalah ujian yang harus dijalani dengan hati-hati, doa, dan komitmen untuk kebaikan bersama.

Moh. Ghufron Cholid
Puisi: Ra Mahfudz
Karya: Moh. Ghufron Cholid

Biodata Moh. Ghufron Cholid:
  • Moh. Ghufron Cholid, nama pena dari Moh. Gufron, S.Sos.I, lahir pada tanggal 7 Januari 1986 di Bangkalan.
  • Karya-karyanya tersiar di Mingguan Malaysia, Mingguan Wanita Malaysia, New Sabah Time, Utusan Borneo, Tunas Cipta Malaysia dan lain sebagainya, juga terkumpul dalam berbagai antologi bersama terbit di dalam dan luar negeri seperti Menyirat Cinta Haqiqi, Sinar Siddiq, Unggun Kebahagiaan, Ketika Gaza Penyair Membantah, Anjung Serindai (terbit di Malaysia), Epitaf Arau, Poetry-Poetry Indonesian Poets dan lain sebagainya.
© Sepenuhnya. All rights reserved.