Sang Diktator
Kursi empuk terlalu anarkis
Membuat manusia menjadi serakah
Bertangan besi
Kekuasaan diktator
Gelar doktor sang pemikir
Menaklukkan emosi
Meredakan keangkuhan jabatan
Hai pemimpin
Wahai junjungan
Segala yang terhormat
Penguasa jangan terlalu ambisius
Biarkan tokoh bicara
Pada generasi yang tanggap
Kuok Bangkinang, 10 Desember 2024
Analisis Puisi:
Puisi "Sang Diktator" karya Kumala Dewi Rimu adalah refleksi kritis terhadap sifat manusia yang berubah ketika diberi kekuasaan. Dalam karya ini, penyair mengangkat tema tentang bahaya kekuasaan absolut dan bagaimana ambisi dapat mengubah seorang pemimpin menjadi figur yang kehilangan esensi kemanusiaannya. Dengan gaya puitis yang lugas, puisi ini menyampaikan pesan moral kepada para pemimpin dan generasi penerus.
Kritik terhadap Kekuasaan yang Korup
Puisi ini dibuka dengan gambaran metaforis “Kursi empuk terlalu anarkis.” Frasa ini mengilustrasikan bagaimana kekuasaan dapat merusak, membuat seseorang serakah, dan menjalankan kepemimpinan dengan tangan besi. Istilah “kekuasaan diktator” menunjukkan figur pemimpin yang otoriter, mengendalikan segala sesuatu tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Kritik ini relevan dengan realitas politik, di mana ambisi sering kali menggantikan prinsip keadilan dan kemanusiaan.
Ironi Jabatan dan Gelar
Pada baris “Gelar doktor sang pemikir / Menaklukkan emosi,” penyair menunjukkan bagaimana pendidikan tinggi dan jabatan bergengsi sering kali diharapkan mampu menghasilkan pemimpin yang bijak. Namun, kenyataannya, jabatan dan gelar tidak selalu menjamin seseorang mampu meredakan “keangkuhan jabatan.” Baris ini menggambarkan ironi dalam dunia kepemimpinan: mereka yang seharusnya menjadi pemikir justru terjebak dalam godaan kekuasaan.
Seruan kepada Pemimpin
Puisi ini beralih menjadi sebuah nasihat langsung kepada pemimpin. Dengan sapaan “Hai pemimpin / Wahai junjungan,” penyair menyuarakan harapan agar mereka yang memiliki kuasa tidak terlalu ambisius. Baris ini mencerminkan kerinduan akan figur pemimpin yang rendah hati, yang mampu mendengarkan suara rakyat dan tidak terjebak dalam ambisi pribadi.
Pesan untuk Generasi Penerus
Selain kritik terhadap pemimpin saat ini, puisi ini juga membawa pesan penting untuk generasi mendatang. Penyair menekankan pentingnya memberi ruang kepada “tokoh bicara,” yaitu individu atau kelompok yang memiliki pandangan kritis dan tanggap terhadap situasi. Generasi muda diharapkan tidak hanya menjadi pengikut, tetapi juga agen perubahan yang mampu menantang kebijakan yang tidak adil.
Gaya Bahasa
Penyair menggunakan gaya bahasa yang sederhana namun penuh makna. Kata-kata seperti “anarkis,” “serakah,” dan “tangan besi” memberikan gambaran jelas tentang sifat destruktif kekuasaan. Sementara itu, frasa seperti “Biarkan tokoh bicara” menjadi ajakan untuk membuka ruang dialog dan demokrasi.
Relevansi dengan Isu Kontemporer
Puisi "Sang Diktator" tidak hanya berbicara tentang seorang pemimpin tertentu, tetapi juga mengkritisi fenomena global di mana kekuasaan sering kali disalahgunakan. Dalam konteks modern, kita melihat bagaimana berbagai pemerintahan di dunia menghadapi kritik atas otoritarianisme dan ketidakadilan. Pesan yang disampaikan Kumala Dewi Rimu mengingatkan pentingnya akuntabilitas dan kepemimpinan yang berorientasi pada kepentingan rakyat.
Puisi "Sang Diktator" adalah seruan moral yang relevan bagi siapa saja yang memegang kekuasaan. Kumala Dewi Rimu mengingatkan bahwa jabatan bukanlah alat untuk ambisi pribadi, melainkan tanggung jawab untuk menciptakan kebaikan bagi banyak orang. Karya ini juga menjadi pengingat bahwa generasi muda memiliki peran penting dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan demokratis. Dengan gaya puitis yang sederhana namun kuat, puisi ini menyampaikan pesan yang menggugah hati dan pikiran.
Karya: Kumala Dewi Rimu