Setelah Wafatmu, Pejuang
: Nyai Hj Makkiyah
Hujan turun
Sampaikan salam perpisahan
Sedang langit tak lagi sungkan
Menggambar kepedihan
Atas kepergianmu, pejuang
Seketika pemakamanmu
Basah doa, basah cerita
Junglorong, 12 Desember 2024
Analisis Puisi:
Puisi "Setelah Wafatmu, Pejuang" karya Moh. Ghufron Cholid adalah sebuah elegi yang penuh haru, diciptakan untuk mengenang perjuangan dan pengabdian seorang tokoh besar, Nyai Hj. Makkiyah. Dalam puisi ini, penulis menggunakan simbolisme alam dan suasana pemakaman untuk menggambarkan kesedihan mendalam sekaligus penghormatan kepada sosok pejuang yang telah wafat.
Simbolisme Alam: Hujan sebagai Penyampai Salam Perpisahan
Pada bait pertama: "Hujan turun / Sampaikan salam perpisahan" penulis menggunakan hujan sebagai metafora alam yang ikut merasakan duka atas kepergian sosok pejuang. Hujan sering kali dihubungkan dengan kesedihan, namun dalam konteks ini, hujan juga memiliki fungsi sebagai penyampai pesan. Ia membawa salam perpisahan dari orang-orang yang ditinggalkan, seolah-olah alam pun ikut berbagi rasa kehilangan.
Selain itu, hujan yang turun menciptakan suasana syahdu, memberikan ruang bagi setiap orang untuk merenungi arti kepergian sosok yang begitu berarti.
Langit sebagai Kanvas Kepedihan
Baris: "Sedang langit tak lagi sungkan / Menggambar kepedihan" menguatkan nuansa duka dalam puisi ini. Langit digambarkan sebagai sebuah kanvas yang merefleksikan emosi manusia. Langit, dalam puisi ini, bukan hanya elemen alam tetapi juga saksi bisu atas perjuangan dan kepergian Nyai Hj. Makkiyah.
Kepedihan yang digambarkan langit menunjukkan betapa mendalamnya kehilangan yang dirasakan oleh banyak orang. Sosok Nyai Hj. Makkiyah, sebagai seorang pejuang, meninggalkan jejak mendalam di hati mereka yang pernah merasakan pengaruh dan perjuangannya.
Doa dan Cerita di Pemakaman
Pada bagian berikutnya: "Seketika pemakamanmu / Basah doa, basah cerita" penulis menghadirkan gambaran suasana pemakaman yang penuh doa dan kenangan. Kata "basah" tidak hanya merujuk pada hujan, tetapi juga pada air mata yang mengalir deras dari orang-orang yang mencintai dan menghormati almarhumah.
Doa menjadi wujud penghormatan terakhir, sementara cerita yang basah menunjukkan betapa banyak kenangan dan perjuangan yang telah ditinggalkan oleh Nyai Hj. Makkiyah. Setiap orang yang hadir di pemakaman seolah-olah membawa kisahnya sendiri tentang bagaimana almarhumah telah menyentuh hidup mereka.
Sosok Nyai Hj. Makkiyah: Pejuang yang Abadi
Puisi ini secara implisit menggambarkan Nyai Hj. Makkiyah sebagai seorang pejuang yang luar biasa. Meskipun tidak dijelaskan secara rinci dalam puisi, penggunaan kata "pejuang" menunjukkan bahwa beliau adalah sosok yang mengabdikan hidupnya untuk kebaikan banyak orang.
Sebagai seorang tokoh, Nyai Hj. Makkiyah kemungkinan besar dikenal melalui perjuangannya dalam pendidikan, agama, atau sosial kemasyarakatan. Jejak langkahnya yang mendalam membuat kepergiannya dirasakan sebagai kehilangan besar oleh banyak pihak.
Gaya Bahasa yang Penuh Simbolisme
Puisi ini menggunakan gaya bahasa yang sederhana namun penuh simbolisme, seperti:
- Hujan: Melambangkan kesedihan sekaligus penyampaian pesan perpisahan.
- Langit: Simbol kesaksian atas peristiwa yang monumental.
- Basah doa, basah cerita: Menunjukkan intensitas emosi dalam doa dan kenangan tentang almarhumah.
Penggunaan simbolisme ini menciptakan suasana yang syahdu dan menyentuh hati, membuat pembaca dapat merasakan kehilangan yang dirasakan penulis dan orang-orang yang mengenang sosok pejuang ini.
Pesan Moral dari Puisi
Puisi "Setelah Wafatmu, Pejuang" mengajarkan kita untuk menghargai perjuangan dan pengabdian seseorang, bahkan setelah mereka tiada. Kepergian fisik tidak berarti kepergian sepenuhnya; kenangan, doa, dan pengaruh baik yang ditinggalkan akan tetap hidup dalam hati mereka yang mencintainya.
Selain itu, puisi ini juga mengingatkan kita akan pentingnya mendoakan mereka yang telah berpulang, sebagai wujud cinta dan penghormatan terakhir.
Relevansi Puisi dengan Kehidupan
Karya ini relevan dengan kehidupan siapa saja yang pernah kehilangan sosok yang dicintai. Melalui puisi ini, Moh. Ghufron Cholid menghadirkan sebuah ruang kontemplasi bagi pembaca untuk merenungi arti kehilangan dan bagaimana kita dapat terus menghormati mereka yang telah pergi melalui doa dan cerita yang kita bagikan.
Bagi orang-orang yang mengenal Nyai Hj. Makkiyah, puisi ini menjadi pengingat akan jasa dan dedikasi beliau. Namun, bagi pembaca umum, karya ini tetap dapat menyentuh hati sebagai sebuah elegi yang menggambarkan universalitas duka dan kehilangan.
Puisi "Setelah Wafatmu, Pejuang" adalah sebuah karya yang indah dan menyentuh, menggambarkan duka mendalam sekaligus penghormatan kepada sosok pejuang yang telah berpulang. Dengan simbolisme alam, suasana pemakaman, dan pesan moral yang kuat, puisi ini tidak hanya menjadi bentuk penghormatan kepada Nyai Hj. Makkiyah, tetapi juga inspirasi bagi kita semua untuk selalu menghargai perjuangan dan pengabdian seseorang.
Karya ini mengingatkan kita bahwa kepergian fisik bukanlah akhir; pengaruh dan kebaikan yang ditinggalkan akan terus hidup melalui doa, cerita, dan kenangan yang kita simpan.
Karya: Moh. Ghufron Cholid
Biodata Moh. Ghufron Cholid:
- Moh. Ghufron Cholid, nama pena dari Moh. Gufron, S.Sos.I, lahir pada tanggal 7 Januari 1986 di Bangkalan.
- Karya-karyanya tersiar di Mingguan Malaysia, Mingguan Wanita Malaysia, New Sabah Time, Utusan Borneo, Tunas Cipta Malaysia dan lain sebagainya, juga terkumpul dalam berbagai antologi bersama terbit di dalam dan luar negeri seperti Menyirat Cinta Haqiqi, Sinar Siddiq, Unggun Kebahagiaan, Ketika Gaza Penyair Membantah, Anjung Serindai (terbit di Malaysia), Epitaf Arau, Poetry-Poetry Indonesian Poets dan lain sebagainya.