Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Catatan Bulan Mei (Karya Ook Nugroho)

Puisi "Catatan Bulan Mei" karya Ook Nugroho adalah sebuah refleksi mendalam tentang peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang diungkapkan ....
Catatan Bulan Mei

Seno sudah menuliskan
kisah itu, Sapardi telah memerasnya
menjadi puisi, dan kau telah pula
menceritakannya berkali-kali.
Ada pun aku, cuma ingin sekedar
mengenangkannya--karena
tak kupunya banyak kata.
Lagi pula, berhadapan dengan
prahara begitu dahsyatnya,
kalimat-kalimatku yang miskin
bukankah cuma akan jadi beban?

Karena itu, aku sekedar ingin
mengenang saja, hari-hari
sewaktu kita berkerumun tegang
di mulut gang itu. Menunggu
sesuatu (entah apa) yang
sepertinya bakal tiba
kapan saja, dan dari arah
mana saja. Sesuatu itu boleh
jadi adalah kenyataan yang
paling buruk dalam hidup
setiap kita. Begitu buruknya
sehingga aku pun tak ragu lagi
menukar puisiku hari-hari itu
dengan kilatan belati.

Sapardi telah meringkasnya
dengan cermat, Seno menuturkan
kisah itu seru sekali, dan kau
agaknya masih akan kembali
mengulang ceritamu. Tapi
aku cukup puas dengan sekedar
mengenangkannya saja. Hari-hari
ketika kota kita dikepung
api. Dan langit, dan langit
digantungi asap, begitu kelam
dan tebalnya, hingga
kita pun bertanya-tanya
bodoh, adakah Dia juga ikut
terbakar di dalam sana?

Analisis Puisi:

Puisi "Catatan Bulan Mei" karya Ook Nugroho adalah sebuah refleksi mendalam tentang peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang diungkapkan dengan penuh rasa kesedihan, kecemasan, dan perenungan. Melalui puisi ini, penyair menggambarkan suasana yang penuh ketegangan, ketakutan, dan perasaan kehilangan yang tercipta selama peristiwa yang penuh gejolak. Dengan memilih untuk mengenang, bukannya menulis kata-kata besar yang mungkin tidak cukup menggambarkan betapa dahsyatnya peristiwa tersebut, Ook Nugroho membawa pembaca ke dalam dunia yang penuh dengan pertanyaan, kebingungan, dan keraguan.

"Seno sudah menuliskan kisah itu, Sapardi telah memerasnya menjadi puisi..."

Puisi ini dibuka dengan kalimat "Seno sudah menuliskan kisah itu, Sapardi telah memerasnya menjadi puisi..." yang memberi penekanan pada kenyataan bahwa banyak orang sebelumnya telah mencoba untuk menggambarkan atau menulis tentang peristiwa yang sama. Seno, Sapardi, dan bahkan pihak-pihak lain telah mengabadikan cerita tersebut, namun bagi penyair, puisi ini bukan tentang menulis ulang kisah yang sudah ada, tetapi lebih pada mengenang. Dengan mengutip nama-nama besar seperti Seno dan Sapardi, penyair mengakui bahwa kisah ini sudah ditulis dengan baik oleh mereka, dan bagi dirinya, tidak ada lagi yang perlu disampaikan selain kenangan akan hari-hari yang penuh ketegangan.

"Karena tak kupunya banyak kata. Lagi pula, berhadapan dengan prahara begitu dahsyatnya, kalimat-kalimatku yang miskin bukankah cuma akan jadi beban?"

Melalui baris ini, penyair menyatakan bahwa ia merasa kata-katanya tidak akan cukup untuk menggambarkan kekuatan dan kesedihan yang terjadi. Kalimat-kalimat yang ada di dalam puisi ini adalah kalimat yang sederhana, tidak berusaha untuk mengada-ada, dan berfokus pada kenangan pribadi yang berhubungan dengan peristiwa tersebut. Kehilangan dan kesedihan begitu besar sehingga kata-kata menjadi tidak berarti; kalimat-kalimat yang biasa hanya akan menjadi beban yang tidak bisa menggambarkan besarnya dampak dari kejadian tersebut.

Penyair juga mencerminkan perasaan ketidakberdayaan saat berhadapan dengan situasi yang lebih besar dari sekadar kata-kata. Kenyataan yang kelam dan penuh dengan ketegangan tidak bisa digantikan dengan sekadar kata-kata indah atau klise yang seringkali kita temui dalam puisi. Itu adalah momen yang begitu suram dan menyakitkan sehingga kata-kata tidak cukup untuk mengungkapkan apa yang dirasakan.

"Karena itu, aku sekedar ingin mengenang saja..."

Setelah merasakan ketidakberdayaan dalam menulis, penyair memilih untuk sekadar mengenang. "Aku sekedar ingin mengenang saja..." menunjukkan bahwa ada keinginan untuk menghormati peristiwa itu, tidak dengan kata-kata besar, tetapi dengan mengenangnya dalam kesederhanaan. Kenangan menjadi alat yang lebih kuat untuk menjaga ingatan tentang hari-hari yang penuh ketegangan itu daripada kata-kata yang mungkin hanya akan mengurangi esensi perasaan yang ingin disampaikan.

Penyair lebih memilih untuk merasakan kembali suasana tersebut—hari-hari penuh kecemasan saat mereka menunggu ketidakpastian, ketika ancaman datang dari segala arah. Ini adalah saat-saat di mana hidup terasa begitu rapuh dan tak pasti, dan kenangan adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan jejak perasaan yang tidak bisa digambarkan oleh puisi biasa.

"Hari-hari sewaktu kita berkerumun tegang di mulut gang itu..."

Kalimat "Hari-hari sewaktu kita berkerumun tegang di mulut gang itu..." membawa pembaca pada gambaran fisik dan emosional yang penuh ketegangan. Suasana yang digambarkan adalah suasana yang penuh dengan ketidakpastian dan ketakutan, ketika orang-orang berkumpul di mulut gang, menunggu sesuatu yang bisa datang kapan saja dan dari arah mana saja. Ketegangan ini menggambarkan perasaan yang diliputi rasa takut akan sesuatu yang buruk yang mungkin akan terjadi, sebuah kondisi yang hampir seperti bom waktu.

Penyair tidak memberi detail tentang apa yang sedang mereka tunggu, namun ketegangan itu sudah cukup untuk menggambarkan betapa situasi tersebut penuh dengan kecemasan dan kekhawatiran. Mereka hanya menunggu dan berharap agar ancaman yang datang tidak mempengaruhi mereka.

"Sesungguhnya itu adalah kenyataan yang paling buruk dalam hidup setiap kita."

Bagian ini menyiratkan bahwa kenyataan yang dihadapi adalah sesuatu yang sangat buruk, mungkin sebuah bencana besar atau peristiwa yang mengubah segalanya dalam kehidupan mereka. Ketakutan ini begitu kuat sehingga membuat orang-orang merasa seperti berada di ambang kehancuran. Ketika kenyataan datang, itu adalah sesuatu yang begitu menakutkan dan menghancurkan sehingga tidak ada lagi ruang untuk rasa aman atau kedamaian.

"Dan langit, dan langit digantungi asap, begitu kelam dan tebalnya, hingga kita pun bertanya-tanya bodoh, adakah Dia juga ikut terbakar di dalam sana?"

Pada bagian ini, penyair menggunakan gambaran langit yang kelam dan tebal karena asap untuk menggambarkan kondisi yang mengerikan dan kacau. Asap yang tebal ini adalah metafora untuk kegelapan dan kehancuran yang melanda, yang membuat segala sesuatu menjadi tak terlihat dan penuh kebingungannya. Pertanyaan terakhir, "Adakah Dia juga ikut terbakar di dalam sana?" menunjukkan sebuah refleksi lebih dalam mengenai Tuhan dan kehadiran-Nya dalam bencana atau peristiwa yang mengerikan ini. Apakah Tuhan juga merasakan penderitaan yang sama? Pertanyaan ini tidak dijawab, namun memberi kesan bahwa dalam saat-saat seperti ini, seseorang mungkin meragukan keberadaan atau keadilan Tuhan.

Makna dan Pesan Puisi Catatan Bulan Mei

Puisi "Catatan Bulan Mei" adalah sebuah karya yang menyuarakan kenangan tentang peristiwa besar yang mengubah hidup banyak orang. Puisi ini tidak berusaha menjelaskan dengan kata-kata besar atau dramatis, melainkan menekankan pada pentingnya mengenang dan merasakan kembali perasaan yang timbul dari peristiwa tersebut. Melalui puisi ini, Ook Nugroho mengajak pembaca untuk merenung tentang ketegangan, kehilangan, dan ketidakpastian yang mengiringi suatu peristiwa bersejarah, serta tentang bagaimana kenangan dan refleksi menjadi cara untuk memahami kenyataan yang pernah terjadi.

Kesederhanaan dalam pengungkapan perasaan dan peristiwa menunjukkan bahwa kadang-kadang, untuk mengingat sesuatu yang besar, kita tidak perlu membanjiri diri dengan kata-kata atau definisi. Cukup dengan mengenang, kita dapat merasakan kembali dan menghormati masa lalu, meskipun mungkin tidak selalu mudah untuk menghadapinya.

Ook Nugroho
Puisi: Catatan Bulan Mei
Karya: Ook Nugroho

Biodata Ook Nugroho:
  • Ook Nugroho lahir pada tanggal 7 April 1960 di Jakarta, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.